Pengurus Nasional Majelis Sinergi Kalam (Masika) Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dan Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara menggelar diskusi kebudayaan bertemakan “La Galigo, Pintasan Saksi Zaman Pra dan Masuknya Islam di Sulawesi Selatan”, Sabtu (30/01). Acara yang berlangsung melalui Zoom dan halaman Facebook Masika ICMI ini dihadiri lebih dari 100 partisipan.
Dimoderatori oleh Supratman PhD, diskusi tersebut menghadirkan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas, Prof Dr Nurhayati Rahman, Wakil Ketua Umum Masika ICMI, Ismail Suardi Wekke, PhD, Dewan Pembina Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara (YALN), serta Andi Alifian Mallarangeng PhD. Pada kesempatannya, Nurhayati menyampaikan kebanggaannya menjadi orang Bugis.
“Kita mewarisi tulisan Lontaraq, dengan tulisan ini kita bisa mewarisi La Galigo, karya pra-Islam yang diakui oleh para ahli,” ucap Nurhayati.
Menurutnya, proses merekonstruksi kehidupan orang Bugis pra-Islam secara utuh perlu merujuk pada La Galigo. “Salah satu pendapat ahli mengataan, La Galigo ialah ensiklopedia orang Bugis,” ujar Nurhayati.
Lebih lanjut, ia menyinggung nilai-nilai lokal masyarakat Bugis yang kini tergerus zaman. “La Galigo tidak seperti image yang digambarkan oleh orang di luar Sulawesi Selatan. Mereka menganggap kultur itu suka bertengkar, namun nyatanya mereka justru tidak memahaminya,” tegas Nurhayati.
Sesi selanjutnya, Ismail menjelaskan hubungan antara Islam dan budaya Bugis. “Perlu diketahui, raja pertama yang menerima Islam di Gowa ialah Sultan Alauddin, kini namanya diabadikan menjadi salah satu nama perguran tinggi,” jelasnya.
Kemudian, ia memaparkan, budaya Bugis pada awal masuknya Islam digunakan sebagai sarana dakwah ulama. Berkat hal tersebut, perkembangan islam pesat hingga saat ini.
“Tidak ada penafian dalam Islam terhadap budaya lokal suatu suku bangsa, bahkan adat itu juga bisa menjadi instrumen hukum dalam kaitan keagamaan kita itu,” papar Ismail.
Sesi terakhir, Alifian mengkomparasikan budaya Bugis dan Jawa. Ia memaparkan, Islam lebih dulu masuk ke tanah Jawa. Kendati demikian, proses masuknya Islam ke kedua suku bangsa tersebut memiliki kemiripan.
“Seni panggung orang Sulawesi Selatan (Sulsel) nampaknya tidak sepesat di Jawa. Tetapi, proses akulturasi islam itu masuk melalui contoh-contoh teladan dan pepatah orang tua kepada anak,” jelas Alifian.
M112