Judul Film : Lamun Sumelang
Sutradara : Ludy Oji Prastama
Tayang Perdana : 21 November 2019
Durasi : 18 Menit
Apa jadinya ketika kamu dihadapkan dengan pilihan sulit? Bahkan meski diberi kesempatan untuk memilih, seringnya pilihan yang tersedia seakan tak memberikan solusi atas beratnya situasi yang kamu hadapi. Khawatir, gundah, was-was adalah reaksi wajar akan ketakutan memilih pilihan yang salah, menyesal pun tak ada gunanya. Seperti dalam film pendek berjudul Lamun Sumelang, kamu akan melihat potongan kecil kisah yang membuat situasi seseorang berada pada dilema.
Lamun Sumelang, secara harfiah diartikan dari bahasa Jawa yakni lamun berarti “jika” dan “sumelang” berarti khawatir. Rangkaian kata tersebut sebenarnya telah menggambarkan garis kecil dari isi filmnya. Dalam filmnya, seorang pria paruh baya yang digambarkan sebagai seorang ayah sekaligus suami berada di kondisi pelik. Raut takut dan khawatir tak luput dari wajah pria itu, sebut saja ia Agus.
Dalam ceritanya, Agus yang diperankan oleh Freddy Roterdam terlihat dipenuhi berbagai pikiran di sebuah sawah sembari menunggu akan datangnya ‘sesuatu’. Tak sampai semenit, sebuah cahaya melintas membuat Agus beranjak dari posisinya dan segera berlari mengejar cahaya itu.
Sekilas terlihat mengherankan, penonton sepertinya akan menganggap ia akan menyampaikan permohonan pada cahaya yang jatuh itu, namun sangat mengejutkan pada scene ketika Agus menemukan orang yang hendak gantung diri lantas meraih leher orang tersebut lebih awal dengan seutas tali. Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apa yang sedang ia lakukan?
Lantas kebingungan saya terjawab ketika muncul berbagai roh dengan wajah dan sekujur tubuh yang pucat berada banyak di sekitar Agus. Kebingungan saya lambat laun terjawab. Bersamaan dengan raut muka Agus yang terlihat semakin kosong dan dipenuhi perasaan hampa.
Dikisahkan, Agus memiliki putri bernama Ningsih dan sang istri bernama Marni. Malangnya, Agus dan sekeluarga dilingkupi dengan kemiskinan hingga makanan yang layak pun susah ia dapatkan. Ditambah, sang putri, Ningsih mengalami sakit yang membuat tubuhnya semakin rentan.
Sebagai solusi atas penyakit Ningsih, ia memilih untuk mengambil jalan pintas menggunakan jasa dukun untuk menyembuhkan sakit sang putri. Kemiskinan yang menggerogoti Agus membuat aksesnya terhadap fasilitas kesehatan dibatasi. Sebut saja, sang Dukun memberikan sebuah syarat agar Ningsih sembuh yaitu dengan memberikan tumbal yang berjumlah tujuh orang. Dunia perdukunan memang kerap kali menjadi alternatif masyarakat desa untuk berobat jika mengalami kesulitan finansial, bahkan cara kotor terkadang ditawarkan oleh dukun dalam menyelesaikan masalah pasiennya.
Tak hanya itu, kemiskinan juga merupakan isu yang tak terpisahkan dari lapisan terbawah masyarakat. Di pedesaan, sudah hal yang lazim jika makanan pokok yang umumnya berupa nasi digantikan dengan alternatif berupa biji-bijian. Dalam film ini, juga digambarkan salah satu isu yang eksis di pedesaan perihal anak yang tak kunjung pulang setelah berada di perantauan. Bagi orang yang lahir dan tumbuh di pedesaan, akan merasa tak asing dengan berbagai permasalahan tersebut.
Film yang berdurasi 18 menit, akan semakin menarik penontonnya untuk menebak cerita selanjutnya sehingga penonton tidak akan bosan mulai dari awal hingga akhir film. Gaya bahasa yang dipertunjukkan dalam film ini menggunakan bahasa jawa halus. Penonton yang bukan orang jawa akan tetap mengerti dialog dalam film karena telah dilengkapi dengan takarir Bahasa Indonesia. Salah satu percakapan antara Agus dan Ningsi “Pak, pingin mangan sego pak”, ucap Ningsih. Secara gamblang jika diartikan yakni, Ningsih ingin makan nasi. Sangat tergambarkan bahwa Ningsi saat itu terlihat kurang makanan.
Dalam film yang beralur maju ini tergambar keadaan Agus yang sangat terkekang dengan keadaannya. Ia ingin melihat anaknya sembuh dari penyakit, di lain sisi ia harus membunuh dan menjadikan orang lain sebagai tumbal yang mana menentang norma yang berlaku di masyarakat.
Begitu pula sang istri, tak hanya Agus yang lelah akan peliknya situasi yang ia hadapi. Sejalan dengan representasi kata sumelang, ia dan sang istri dilingkupi perasaan cemas dan khawatir akan putrinya yang semakin hari menderita.
Hingga pada puncaknya, dilema akan keputusan yang harus ia pilih membawa plot film ini menuju klimaks yakni saat Agus mendapati istrinya hendak bunuh diri dan menjadi tumbal.
Apakah Ningsih telah sembuh? Bagaimana dengan sang istri, Marni? Akan lebih baik, jika kamu menonton sendiri film pendek yang telah rilis perdana di saluran YouTube Ravacana Films.
Film ini sangat direkomendasikan untuk kamu, alih-alih terburu-buru menyelesaikan film, alurnya cukup lambat untuk kamu dapat cepat menyadari situasi sebenarnya. Bukan penyakit kronis, lantas penyakit yang membuat Ningsih tak dapat beranjak dari kasurnya ialah malnutrisi, plot twist? Tentu saja. Film ini juga dikemas dengan sinematografi yang apik sehingga tak heran jika film ini meraih penghargaan Piala Maya untuk Film Cerita Pendek Terpilih. Lantas, apakah kamu telah tertarik untuk menyaksikan keseluruhan cerita?
Muhammad Alif M.