“Terkadang saat engkau berhenti mencari, engkau akan menemukan.”
Salah satu kutipan dialog dari buku dongeng petualangan Si Kembar Tree Top yang menjadi pengantar tidur sang anak, alumnus Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas), Muhammad Mubarak Aziz Malinggi menemukan sebuah makna hidup.
Kadang-kadang, ketika kita terlalu keras mencari jawaban atas suatu hal, kita terjebak dalam pemikiran sempit atau ekspektasi tertentu. Namun, ketika membiarkan diri lebih santai dan terbuka, kita mungkin menemukan perspektif baru yang lebih mendalam dan bermakna.
Barak, demikian sapaan akrabnya, bercerita tentang perjalanannya yang terjebak di dunia lingkungan dan kebudayaan ketika berkuliah di Unhas dulu. Lewat penyisiran pulau-pulau ketika praktik lapangan, bergaul dengan para pegiat budaya, hingga aktif berkomunitas membuatnya jatuh cinta untuk mengeksplorasi interaksi ruang hidup masyarakat yang berkenaan dengan alam dan budaya.
Sejak 2005, Barak mulai aktif bergabung di Komunitas Ininnawa yang merupakan sebuah ‘payung’ bersama mahasiswa, penulis, musisi, pelukis, peneliti, hingga praktisi budaya yang berupaya menciptakan transformasi sosial melalui pemberdayaan masyarakat.
“Awalnya saya kuliah di FIKP itu karena dipilihkan sama kakak, kemudian lulus dan terjebak disitu. Tapi, karena itu saya justru jadi tertarik sama lingkungan dan kebudayaan dari orang-orang yang saya temui ketika praktik lapangan dan bergabung di komunitas. Pada akhirnya saya terjebak untuk banyak beraktivitas di sana,” gurau Barak.
Barak menyebut ia mulai memantapkan dirinya sebagai pegiat lingkungan dan kebudayaan pada 2013 lalu ketika bekerja di Rakata Alam Terbuka, Jakarta. Sebuah perusahaan dengan inisiatif promosi dan pengakomodasian aktivitas outdoor dan budaya, yang mengorganisir sejumlah kegiatan yang bertujuan mengembangkan wisata alam terbuka di sejumlah tempat.
Selama perjalannya, Barak juga mengungkapkan sempat melakukan Ekspedisi Cengkeh yang diselenggarakan oleh Layar Nusa di Sulawesi Utara dan Maluku. Ia bercerita perjalanan ini membawanya menemukan banyak hal dalam menelusuri salah komoditas unggulan Indonesia dan bertemu dengan banyak petani cengkeh lokal nusantara kala itu.
Pria kelahiran Makale ini juga banyak terlibat sebagai fasilitator. Salah satunya di tahun 2011, ia sempat menjadi Fasilitator Lapangan Restoring Coastal Livelihood, OXFAM dengan melakukan pendampingan-pendampingan kepada kelompok perempuan di Pulau Tanakeke, Takalar, Sulsel.
Tak hanya itu, 2014 lalu dari relasinya ia bekerjasama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia dalam melaksanakan Program Pendampingan dan Pengembangan Energi Alternatif Berbasis Masyarakat di Pulau-Pulau Kecil Terluar, Pulau Kolepon, Kec. Kimaam, Kab. Merauke, Provinsi Papua.
Tidak hanya tertarik dengan Alam, dirinya juga memiliki kecintaan yang lebih terhadap kebudayaan. Barak juga turut serta dalam berbagai publikasi karya dan buku-buku seputar kebudayaan yang berpengaruh dalam literasi budaya sulawesi selatan.
Dirinya menciptakan titik temu antara alam dan budaya. Kini, Mubarak aktif di Riwanua Karya Bersama melakukan penelitian sejumlah isu sosial, budaya, ekonomi, serta politik di Sulsel yang memproduksi dan menyebarkan pengalaman dan pengetahuan melalui berbagai cara.
“Di Riwanua kita lebih banyak bergerak di bidang kebudayaan kontemporer, kita sedari awal memang fokus melakukan kolaborasi dengan multi disiplin. Kita juga sudah buat perpustakaan, melakukan pendokumentasian dan pengarsipan, pemutaran film, diskusi, penelitian, dan masih banyak program-program lainnya kedepannya,” jelas Barak.
Baginya, keseimbangan hubungan sesama manusia, antar budaya, hingga dengan alam menjadi aspek yang penting untuk terus diselaraskan. Jejak kaki Mubarak dalam bidang ini menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk bisa lebih berkontribusi menghadapi persoalan lingkungan dan pelestarian kebudayaan yang mulai menjadi sebuah krisis di hari ini.
Nur Muthmainah