Sistem Pembelajaran Student Centered Learning (SCL) atau pembelajaran yang berpusat pada siswa diartikan sebagai subjek pembelajaran, bukan lagi menjadi objek. Sistem ini sudah banyak diterapkan di berbagai perguruan tinggi, termasuk Universitas Hasanuddin (Unhas).
Saat Rektor Unhas berganti, arah dan rencana strategis (Renstra) juga turut berubah pada 2006. Terbitan identitas September 2008 menyebutkan, para dosen dan mahasiswa saat itu didorong untuk menerapkan SCL pada proses perkuliahan. Meskipun SCL mulai diterapkan pada saat itu, beberapa dosen senior lebih mempertahankan metode lama, yakni metode teaching center learning (TCL).
SCL mendorong mahasiswa untuk dapat berkreasi, serta berpikir kritis dan kreatif dalam kelas. Adapun dosen hanya berperan sebagai fasilitator. Demi menerapkan SCL, Unhas menyelenggarakan berbagai pelatihan kepada para dosen. Namun tidak meratanya pelatihan pada waktu itu menjadi batu sandungan dalam penerapan SCL.
Antara lain dari keunggulan SCL adalah, penilaian akhir mahasiswa tidak hanya ditinjau dari hasil ujian akhir dan ujian tengah semester, sisi keaktifan dan proses mahasiswa saat melaksanakan perkuliahan turut menjadi bahan tinjauan.
Pada November 2009, identitas mencatatkan transformasi sistem pembelajaran menuju SCL sempat terhambat dari sisi kesiapan sumber daya manusia (SDM), kurikulum, hingga pengorganisasian.
Melihat hal tersebut, Unhas mengambil sikap dengan memberangkatkan sejumlah Pembantu Dekan I (PD I) untuk mempelajari penerapan SCL di Universitas Utrecht, Belanda. Kunjungan itu bertujuan untuk meninjau dan membandingkan langsung metode SCL sekaligus mempertimbangkan untuk diterapkan sepenuhnya di Unhas.
Langkah itu adalah yang terbaik bagi Unhas, karena Universitas Utrecht dikenal sebagai salah satu universitas yang berhasil menerapkan sistem pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa.
Universitas Utrecht juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang menunjang dan mahasiswa Universitas Utrecht juga dapat memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Tentu hal tersebut berbeda dengan Unhas yang ingin memanfaatkan fasilitas, akan tetapi penunjang saja tidak tersedia di saat itu.
PD I Fakultas Pertanian kala itu, Prof Dr Ir Yunus Musa mengakui banyak hal yang dapat ditiru yang menjadi hambatan atau faktor melemahnya sistem SCL di Unhas, seperti kultur budaya mahasiswa yang cenderung rajin, disiplin dan etos kerja yang tinggi di Belanda.
“Mahasiswa disana memiliki semangat belajar yang tinggi. Jika ada sesuatu yang tidak mereka ketahui, mereka cari hingga dapat. Hal ini berbeda dengan Unhas yang sudah terbiasa disuap bahkan ada yang cuek dengan ilmu pengetahuan, yah… walaupun ada paling segelintir orang yang peduli,” ungkapnya pasca kunjungan ke Universitas Utrecht.
Penerapan SCL tak luput dari kritikan mahasiswa kepada PD I pasca kunjungan. Ketua BEM FMIPA Unhas saat itu, Ibnuh Qudamah mengatakan, keberangkatan sejumlah PD 1 terbilang sulit untuk mengubah metode pembelajaran (dalam hal ini menerapkan metode SCL) di Unhas secara signifikan.
“Justru agenda itu malah (terkesan) sia-sia, seharusnya anggaran yang digunakan itu diperuntukkan untuk memperbaiki fasilitas di Unhas sebagai penunjang mahasiswa” tandasnya.
Ada juga menyatakan bahwa SCL menjadi alasan untuk dosen bermalas-malasan. Akhir Oktober 2010, identitas mengungkap penerapan SCL yang tak luput dari berbagai masalah dan ada sejumlah dosen yang justru memanfaatkan metode itu sebagai peluang meninggalkan tanggung jawab.
Marnia (nama samaran) dari Fakultas Hukum (FH) memiliki cerita lain dari SCL yang ia alami. Menurutnya, dosen hanya menjelaskan materi selama 15 menit, dan sisa waktu dimanfaatkan utntuk dosen, setelah itu sesi kuliah ditutup.
“Kini proses perkuliahan sangat singkat dari 120 menit menjadi 30 menit, padahal masih ada waktu 90 menit,” ungkapnya pada Oktober 2010 silam.
Berbagai masalah menerpa dan SCL akhirnya tidak berjalan efektif, adanya segelintir dosen yang mengingkari tanggung jawabnya juga memicu kegagalan penerapan SCL di Unhas. Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Pendidikan, Prof Dr Ir Lellah Rahim MSc, menanggapi fenomena tersebut. Ia mengatakan, bisa saja ada dosen yang hanya menjadi SCL sebagai dalih untuk melakukan rutinitas lain, di luar tanggung jawabnya.
“Tapi, saya berharap SCL dapat diterapkan secara dua arah antara dosen dan mahasiswa dan semoga dosen dapat memaknai peraturan, melalui garis besar rancangan pembelajaran dan beberapa kerja dosen. Sehingga dapat melaksanakan tugasnya dengan baik,” harapnya pada terbitan identitas Akhir Oktober 2010 lalu.
Drs Patrice Lumumba, dosen pada departemen Hubungan Internasional Unhas menentang penerapan SCL pada 2018 lalu. Berbicara kepada identitas, ia menerangkan satu mata kuliah diisi oleh dua hingga tiga pengajar, namun di antara tiga pengajar itu belum tentu ada kemampuan menyampaikan ilmu kepada mahasiswa.
“Dengan adanya SCL, seolah-olah mahasiswa itu dianggap sudah mumpuni (qualified). Banyak dosen memanfaatkan secara keliru penggunaan SCL ini. Dosen seakan-akan bebas dari beban kewajiban ilmu.” kata Patrice.
Terpisah, Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Unhas, Prof drg Muhammad Ruslin MKes PhD SpBM(K) menyatakan SCL telah berjalan dengan semestinya. Ia melanjutkan penerapan SCL telah terlaksana dengan baik di beberapa fakultas dalam medikal kompleks, seperti Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) serta Fakultas Keperawatan (FKEP).
Mantan Dekan FKG periode 2019-2022 itu juga berharap SCL di fakultas lain dapat diterapkan sama baiknya dan turut menegaskan pengawasan penerapan SCL kini diperketat. “Kita akan pantau dan evaluasi, karena itu adalah bagian dari penilaian indikator kerja universitas (IKU). Jika belum terlaksana (penerapan SCL), itu akan menjadi bahan evaluasi kami,” tandasnya pasca penutupan PKKMB Fakultas Teknik Unhas 2024, Rabu, (14/08).
Oleh karena itu, komitmen dosen sangat dibutuhkan dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Penerapan SCL harus diawasi dengan ketat di setiap fakultas agar peralihan metode TCL menuju SCL dapat berjalan sesuai harapan.
Ismail Basri