Sejak disahkanya Undang Undang MPR DPD DPR DPRD (UU MD3) pada 12 Februari 2018, memunculkan kontroversi dari berbagai pihak. Begitupun dengan sivitas akademika Unhas yang berada dalam lingkup akademisi. Mahasiswa Unhas bahkan telah melakukan demonstrasi penolakan revisi UU MD3 pada tanggal 7 dan 29 Maret 2018.
Ketua Senat Fakultas Teknik, Hafiz Al-Iman, mengungkapkan ketidaksetujuaanya. Ia menganggap bahwa UU MD3 melanggar demokrasi, yang berarti kekuasaan tertinggi berada pada tangan rakyat.
“Saya jelas tidak setuju, DPR seolah-olah kebal dengan kritikan dan secara demokrasi ini tidak bisa,” ujarnya.
Sejalan dengan hal tersebut ketua BEM Hukum Unhas, Didi Muslim Sekutu mengharapkan Persiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan pemerintah mencabut UU kontroversial tersebut.
“Kami mendoakan Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah penganti undang-undang dan kami berharap proses judicial review di Mahkamah Konstitusi bisa diterima dan dikabulkan kemudian pasal-pasal yang bertentangan bisa dinyatakan inkonstitusional,” Harapnya.
Adanya UU MD3 juga memancing BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengtahuan Alam (FMIPA) untuk yang mengeluarkan surat pernyataan sikap menolak UU tersebut. Pada surat pernyataan tersebut, BEM FMIPA secara tegas mengkritisi beberapa pasal yang dianggap merugikan masyarakat dan hanya menguntungkan kepentingan DPR. Seperti yang dikutip dari surat pernyataan BEM FMIPA berikut ini:
“Kami BEM FMIPA Unhas menyatakan sikap, menolak segala bentuk pelemahan menyampaikan pendapat di muka umum dan kritik terhadap pejabat negara, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Mendesak DPR untuk merevisi kembali UU tentang perubahan atas UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 tertanggal 12 Februari 2018 terutama pasal 73, 122 dan 245 yang berpotensi menghianati amanat demokrasi. Mengajak masyarakat, aktifis, mahasiswa untuk ikut mengkritisi dan mendesak DPR untuk merevisi pasal terkait UU MD3 2018.”
Setali tiga uang, Dosen Fakultas Hukum Unhas, Fajlurahman Jurdi SH MH juga mengungkapkan ketidaksetujuan atas disahkannya revisi UU MD3. Menurutnya, hal ini bukan hanya mengancam demokrasi tapi mencabut kebebasan sipil secara luas.
“Ini lebih parah dari orde baru, ini undang-undang kolonial. Pasal ini pasal kolonial, baca historis ceritanya penjajahan Inggris di India, bahwa siapa yang mengkritik kekuasaan kolonial maka akan ditangkap. Untuk apa memilih republik dan demokrasi kalau begitu. Kita memilih demokrasi berarti kita siap untuk berbeda pendapat dalam berbagai konteks,” tegasnya.
Fajlu menambahkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu jabatan public, sehingga sangat wajar untuk mendapatkan kritikan dan masukan dari berbagai kalangan. Namun pada beberapa pasal UU MD3, DPR seolah enggan menerima kritik bahkan akan mempidanakan orang yang dianggap merendahkan kehormatan DPR.
Pasal 122 huruf K yang menyebutkan bahwa “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR”. Pada pasal tersebut terdapat kata yang dapat menimbulkan multitafsir serta sangat subjektif sehingga mengarahkan pada tindakan sewenang-wenang.
“Yang jadi soal kalau dia mudah tersinggung dan selalu merasa bahwa apa yang disampaikan bukan kritik namun hinaan, bagaimana kita bisa mengukur perasaan. Jadi ini pasal kolonial, dulu kalau raja merasa tersinggung, maka akan ditangkap,” tambahnya.
Reporter: Norhafizah