Aku sudah menjadi hantu sekarang. Besar inginku untuk datang menemuinya yang jauh di sana. Kira-kira apa yang akan dia katakan padaku? Pasti dia akan terkejut setengah mati.
Aku sudah mati, jelas-jelas sudah mati. Apalagi yang bisa kuharapkan sekarang? Aku akan mencoba mengunjunginya. Sekarang aku sedang berjalan di tepi jalanan kota, di mana orang-orang sibuk berlalu-lalang dan tidak satupun memerhatikanku.
Aku benar-benar sudah mati. Satu-satunya yang ingin kulakukan adalah menemuinya. Aku ingat ada hal yang harus kusampaikan padanya, tapi aku lupa. Yang penting adalah aku harus menemuinya. Mungkin setelah aku melihatnya, aku akan ingat semuanya.
Aku benar-benar sudah mati. Tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa mati. Aku tidak ingat banyak hal, yang pasti aku harus menemuinya. Aku berjalan dengan setelan jas menempel di badanku. Terik matahari harusnya panas, tapi aku tidak merasakannya sedikitpun.
Apa yang terjadi sebelum aku mati? Apakah aku baru saja menghadiri acara resmi, atau bagaimana? Aku tidak ingat. Aku berjalan di trotoar sebelah kanan. Gedung-gedung tinggi melindungiku dari terik matahari, meskipun itu tidak ada gunanya lagi.
Aku teringat akan dirinya. Aku teringat bahwa aku punya seorang kekasih yang selalu ceria. Namun, sekarang bahkan aku lupa wajahnya. Aku hanya perlu mencarinya. Berharap ketika aku menemuinya aku akan ingat semua jawaban dari ssegala pertanyaanku.
Aku rindu momen ketika kami duduk berdua di sebuah undakan di tepi pantai. Dibisiknya kalimat, ” Aku ingin sehidup dan semati denganmu.” Bagaimana sekarang? Aku berharap ia tidak menyusulku. Tunggu saja aku di sana, aku akan datang membawa pesan terakhirku. Tapi pesan apa?
Aku harus menemuimu. Aku benar-benar harus menemuimu. Aku berjalan di atas aspal basah di bawah terik mentari. Tapi itu bukanlah air, fatamorgana membuat aspalnya terlihat basah. Aku berjalan tanpa alas kaki. Tapi tidak perlu khawatir, tidak kurasakan rasa panas sedikitpun.
Sudah berjam-jam aku berjalan, kakiku sudah mulai lelah berjalan. Tapi aku bahkan ragu apakah aku masih punya kaki. Kurasa masih ada, tapi rasanya tidak lagi sama dengan saat aku masih hidup. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya berjalan di atas trotoar panas tanpa alas kaki.
Aku berjalan sangat lama, benar-benar sudah sangat jauh. Kakiku mulai lelah berjalan, tapi tetap kupaksakan berjalan. Mungkin tidak ada salahnya istirahat. Hantu juga dibolehkan istirahat kan?
Aku duduk di sebuah halte yang dicat merah. Enam bocah berlarian di depanku, salah satunya menembusku. Empat laki-laki dan dua perempuan. Dipimpin oleh seorang bocah laki-laki bertopi merah, penuh semangat ingin menunjukkan sesuatu pada temannya. Salah seorang yang paling kecil di antara mereka memandangku.
Apakah ia bisa melihatku? Ia berlalu tanpa mengalihkan pandangannya dariku dengan wajah heran. Hingga di ujung halte, ia harus lari, menyusul teman-temannya yang lain. Aku pernah kecil seperti mereka. Aku juga pernah punya teman-teman seperti mereka. Tapi aku lupa semuanya.
Aku memandang langit biru yang indah, awan mengambang menurut arah angin. Aku sadar betapa indahnya pemandangan itu. Kuharap ia juga melihatnya. Aku harus menemuinya!
Aku melanjutkan perjalanku, perjalanan yang sudah sangat panjang. Telah kuhabiskan entah berapa siang dan malam untuk terus berjalan. Aku bahkan tidak tahu belokan mana yang benar, jalan mana yang benar, dan masih berapa jauh lagi. Bahkan aku tidak punya peta yang bisa menuntunku.
Aku hanya mengikuti kemana kakiku melangkah. Akupun ragu apakah kakiku masih bisa disebut kaki. Semua kendaraan sibuk berlalu-lalang. Tidak ada satupun yang menghiraukanku, mereka tetap melaju.
Mereka punya kendaraan, mereka punya arah dan tujuan. Sampai tanda tanya besar muncul di benakku, kenapa aku berjalan? Aku ingat pernah punya mobil favoritku. Mobil berwarna biru seperti langit, yang sering aku pakai untuk menjemputnya. Kami sering bernyanyi di dalam mobil, aku sangat ingat momen itu. Tapi lagu apa yang kami nyanyikan?
Aku benar-benar harus menemuinya. Terlalu banyak pertanyaan yang harus kuajukan padanya. Aku tetap berjalan meskipun sudah lama sekali tidak makan atau minum.
Hantu tidak lagi butuh itu. Aku ingat pernah makan malam romantis bersamanya, kami bercerita tentang kehidupan di masa depan. Tapi aku tidak ingat apa yang kami makan saat itu, masa depan apa yang kami bahas saat itu. Memandang setelan jas dengan dasi hitamku, apakah aku mati di hari pernikahanku dengannya?
Aku berjalan sendirian, benar-benar sendirian. Tidak ada seorangpun yang menyapaku, bahkan tidak ada yang bisa melihatku. Aku ingat ada orang-orang yang sangat gemar menyapaku, meskipun aku tidak ingat siapa orang-orang itu.
Tepat di bawah sebuah pohon trambesi di depanku, berlindung dari terik mentari, seorang gadis cantik berusia 17 tahun dengan kostum onepiece melekat di tubuhnya. Ia bisa melihatku, bisa kupastikan itu. Kudekati ia yang mulai malu-malu, bertanya ada apa gerangan.
” Apa yang kau lakukan di sini?”
” Aku sedang menunggu kekasihku, dia bilang akan menjemputku di sini. Tapi sudah hampir satu tahun aku menunggu di sini, ia tidak pernah datang. Akupun tidak tahu jalan pulang.” jelasnya.
Ia sama sepertiku, sudah mati. Benar-benar sudah mati. Aku tidak bisa membantunya, jadi kulanjutkan saja perjalananku.
” Aku pergi dulu!” dibalasnya dengan anggukan.
Aku sudah hampir sampai. Benar-benar hampir sampai, firasatku berkata demikian. Aku mempercepat langkahku, mengubahnya menjadi larian kecil.
Aku mulai ingat jalan yang ini, jalanan yang selalu kulalui ketika pulang ke rumah. Ingatanku perlahan mulai kembali. Aku berhenti di sebuah pemakaman yang nampak sangat sepi. Tidak ada orang kecuali seorang gadis berambut panjang yang berdiri di sisi sebuah nisan.
Betapa senangnya diriku. Itu dia, benar-benar dia. Tidak salah lagi, dialah kekasihku yang selama ini kucari. Dia berdiri di sana, menatap sebuah nisan dengan wajah kosong.
Aku berlari kearahnya, kebahagiaanku benar-benar meluap. Aku ingat semua pertanyaan yang harus kuajukan padanya, aku ingat semua hal tentangnya. Aku ingat betapa ia mencintaiku, dan betapa aku mencintainya.
Pesan terakhirku adalah, aku ingin meminta maaf karena meninggalkannya sendirian, aku harus mengucapkan kata cinta terakhir beserta selamat tinggal. Aku berhenti tepat di sampinya. Air matanya jatuh tak terhitung, menimpa gundukan tanah yang bertabur bunga warna-warni. Tertulis namaku di nisan itu, aku benar-benar sudah mati.
Aku tersenyum padanya, air mataku sudah tidak tertahankan lagi. Kubayangkan hariku tanpanya, dan harinya tanpaku. Kami akan sangat merindu satu sama lain. Tapi ia harus tetap hidup. Ia harus bangkit dari kesedihan atas kehilangan diriku. Kudekatkan bibirku ketelinganya, kubisikkan pesan terakhir yang harus kusampaikan padanya dengan sangat-sangat lembut.
” Maaf, aku harus pergi meninggalkanmu sendirian. Terima kasih sudah menemaniku selama ini, tetaplah hidup. Tolong jangan lupakan aku, ” tangisku pecah, hatiku benar-benar sakit. Ku kuatkan diriku untuk mengucapkan kalimat terkhir,
“… Aku mencintaimu, Hana.”
Ia terkesiap, seakan menyadari perkataanku. Aku merasa lega, perjuanganku akhirnya membuahkan hasil. Aku berhasil menemukannya. Tapi jawaban yang kuperoleh dari banyaknya pertanyaanku itu, semua sama. Dia tidak bisa melihatku.
bersambung…
Penulis : Risman Amala Fitra
Jurusan Sastra Jepang,
Fakultas Ilmu Budaya,
Angkatan 2019.