Belakangan ini kita sering menyaksikan sebuah fenomena eksistensial berupa perubahan tata berbusana pada sebagian kaum muslimin di sekitaran kita, pada idola artis kesayangan kita atau justru pada diri kita sendiri. Dari yang tadinya berpakaian ketat, kini telah menutup aurat. Dari yang tadinya masih menampakkan uraian rambut blonde-nya, kini telah tertutupi oleh sanggulan hijab keluaran terbaru. Dan untuk level hijrah (busana) tingkat tertinggi yakni dari yang tadinya telah berhijab kini telah ber-niqab (bercadar).
Selain busana, transformasi perubahan juga menyasar pada penggunaan bahasa. Dari yang tadinya ia menggunakan kata “kita/kau” berubah menjadi “antum”, dari menggunakan kata “iye” berubah menjadi “na’am”. Bahkan yang sebelumnya nama lengkapnya katakanlah “Supriadi” kini berubah juga menjadi “Abu Jahal al Makassari”. Dari nama sebelumnya “Salma” kini berubah menjadi “Ummu Salamah”. Deretan fenomena ini sering (mereka) disebut sebagai proses berhijrah.
Sebelum lebih jauh, ada perlunya kita menyingkap hakikat hijrah itu sendiri. Dalam konteks sirah nabawi, hijrah menggambarkan sebuah momen historis perpindahan (migrasi) kaum muhajirin dari Mekkah menuju Madinah. Sementara hijrah dalam konteks amalan perbuatan, ia dipahami sebagai proses perubahan sikap dan perilaku sang individu dari kebiasaan yang buruk menuju kebiasaan yang baik. Konkretnya adalah meninggalkan perkara kemaksiatan menuju perkara ketaatan disertai komitmen dalam diri untuk tidak kembali ke masa lalu yang kelam.
Pada dasarnya hijrah adalah tindakan yang mulia sebab individu hendak melepas segala perbuatan dosa yang selama ini membelenggu laku kehidupannya. Dan tentunya hakikat hijrah tidak berakhir manis di ujung lisan semata, tetapi ia harus diejawantahkan dalam wujud tata laku yang mulia (akhlakul kharimah). Dengan kata lain, seorang individu yang telah berikrar untuk berhijrah maka harus siap menempuh jalan terjal istiqamah.
Hijrah Perbuatan atau Hijrah Cara Berpakaian ?
Hijrah dan hidayah adalah sebuah entitas yang tak terpisahkan. Sang individu yang hendak berhijrah dengan kesungguhan hatinya niscaya ditopang oleh cahaya hidayah dari Sang Pencipta. Namun sontak menjadi perhatian tatkala momen hijrah belakangan ini menjadi masif dilakukan khususnya kalangan anak muda. Apakah fenomena hijrah ini sungguh – sungguh murni terjadi karena cahaya hidayah atau malah bentuk lain dari kelatahan beragama yang bersembunyi di balik istilah hijrah ?.
Hal paling mendasar untuk dikemukakan adalah apa yang paling pertama harus dicapai dalam proses berhijrah ini ? Apakah mengubah perbuatan ataukah mengubah tata berpakaian ?. Tentu hal ini menjadi penting, mengingat kedua hal tersebut adalah komponen hijrah yang harus terpenuhi. Namun faktualnya, jamak dari saudara kita yang hendak berhijrah masih sukar memahami hakikat hijrah itu sendiri. Terlebih fenomena hijrah hari ini lebih kepada “ikut- ikutan” ketimbang lahir dari proses perenungan yang mendalam.
Betapa banyak saudara kita yang telah mendeklarasikan diri telah berhijrah namun hanya berputar – putar pada proses perbaikan tata busana. Untuk kaum hawa misalnya, yang tadinya belum berhijab kini telah berhijab atau yang tadinya telah berhijab kini naik level dengan ber-niqab. Hal ini tentunya baik dan mulia karena ia telah menjalankan salah satu anjuran agama untuk berpakaian yang sesuai tuntunan agama. Tetapi apakah hal demikian yang menjadi subtansi hijrah ?
Pentingnya Hijrah Subtansial daripada Eksistensial
Kecendrungan saudara kita hari ini telah menganggap selesai proses hijrahnya tatkala telah berbusana syar’i atau telah fasih menggunakan istilah – istilah arab dalam proses berinteraksi. Alih – alih proses hijrahnya digiring kedalam proses kontemplasi hakikat kehidupan, malah sebagian justru terjebak pada kubangan penyakit sosial baru bernama narsisme dan konsumerisme. Dua penyakit sosial yang tengah mewabah dalam tubuh masyarakat (perkotaan) modern hari ini.
Tak absah rasanya jika telah berhijrah tanpa mengunggah foto diri dengan berbusana syar’i. Ada semacam tuntutan psikologis yang harus segera dipenuhi agar “aku yang berhijrah” dapat diketahui oleh teman sejawat. Kemudian tak maksimal raganya, jika tak membeli produk busana muslim keluaran terbaru. Seolah – olah hendak ditegaskan bahwa terdapat tuntutan spiritual antara “aku yang berhijrah” dengan pakaian syar’i terbaru.
Hijrah tata perilaku memang membutuhkan proses waktu yang panjang sebab ia menyangkut transformasi kesadaran yang berkelindan dengan nilai – nilai yang hendak dilembagakan. Orang yang terbiasa membuang sampah sembarangan misalnya, tidak sekonyong konyong langsung berubah menjadi pribadi yang cinta kebersihan, meskipun ia telah menggunakan gamis dan kopiah setiap hari. Orang yang terbiasa marah sejak kecil misalnya, tidak ujub langsung berubah menjadi pribadi yang ramah. Semuanya butuh proses.
Maka sebagai catatan akhir, perubahan diri (hijrah) yang subtansial sepatutnya lebih dikedepankan ketimbang yang eksistensial. Apa guna telah berpakaian syar’i jika orang sekitarnya tidak aman dari lidahnya ?. Apa guna telah berpakaian syar’i jika ia asing dengan tetangganya ?. Bukankah Gus Dur pernah berpesan kepada kita bahwa “jika kau bisa berbuat baik kepada orang lain, orang tidak akan bertanya apa agamamu”.
penulis : Achmad faizal,
Kordinator Kajian Strategis KAMMI Makassar
Tahun 2017 – 2019