Beras merupakan makanan pokok yang paling sering dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia, termasuk ibu menyusui. Kebutuhan gizi ibu menyusui membutuhkan 500 hingga 1000 kalori lebih banyak daripada ibu yang tidak menyusui.
Nasi merupakan sumber karbohidrat bagi tubuh. Sesungguhnya masih banyak sumber pangan yang dapat dijadikan sebagai alternatif sumber kabohidrat seperti ubi kayu, sagu, jagung, ubi jalar dan lain sebagainya.
Untuk menjawab kebutuhan akan nutrisi pada ibu menyusui serta menanggulangi ketergantungan terhadap padi, Guru Besar bidang Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP), Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Dr Ir Meta Mahendradatta melakukan penelitian pada September hingga Desember 2020 bersama mahasiswa S1 dan S2 dari ITP Unhas meneliti kandungan gizi beras analog terhadap kebutuhan nutrisi pada ibu menyusui.
Beras analog adalah produk menyerupai beras, namun dibuat dari bahan non padi yakni dengan tepung lokal atau tepung beras yang kandungan karbohidratnya mendekati atau bahkan melebihi beras pada umumnya.
Dalam wawancaranya secara kolektif bersama Reporter Identitas Unhas, Muhammad Nur Ilham ia menceritakan bahwa awal penelitiannya sesungguhnya bukanlah hal yang baru.
“Sudah diteliti sejak 10 tahun yang lalu. Dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap beras, dibuatlah produk yang menyerupai bulir beras tapi dari bahan non-padi yaitu serealia lainnya, kacang-kacangan, umbi-umbian. Hal ini juga untuk mengangkat bahan pangan lokal lainnya sebagai bahan pangan pokok,” tutur Prof Meta, sapaan akrabnya.
Bahan baku yang digunakan pada pembuatan beras analog dipilih sedemikian rupa sehingga sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu menyiapkan sumber pangan alternatif berupa beras analog dari singkong dan kacang hijau dengan penambahan daun katuk untuk memenuhi kebutuhan ibu menyusui.
“Beras analog ini mengandung komponen aktif dari bahan daun katuk yang dapat memacu pembentukan ASI, tapi ini juga masih dalam proses penelitian berjalan,” ujarnya.
Berdasarkan jurnal yang diterima oleh tim identitas, bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung singkong, tepung kacang hijau dan penambahan daun katuk. Dari ketiga bahan tersebut, dilakukan uji coba dengan rasio bahan baku yang berbeda-beda.
Perbedaan beras analog dengan beras pada umumnya dari segi konsumsi sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, Prof Meta mengatakan perbedaannya diketahui dari kandungan gizi pada berasnya, sehingga diharapkan kandungan gizi pada beras analog lebih lengkap dibanding beras pada umumnya.

“Kandungan karbohidrat bisa dikurangi jika menggunakan bahan-bahan lain misalnya umbi-umbian. Selain karbohidrat juga mengandung komponen aktif (fitokimia) yang memiliki manfaat Kesehatan, misalnya sebagai antioksidan.” ungkap Prof Meta.
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama menganalisa sifat fisik beras yang meliputi karakteristik beras ketika dimasak, daya serap air, dan lain sebagainya. Tahap kedua, yaitu uji sensorik atau uji organoleptik yang di mana melibatkan penginderaan manusia untuk menilai produk pangan.
Penginderaan manusia dalam perihal peniliaian produk pangan seperti bagaimana saat melihat warna dan bentuk, merasakan aroma suatu produk pangan, meraba tekstur produk pangan, mencicipi rasa atau kelezatan produk pangan, dan bagaimana kerenyahan suatu produk pangan terdengar. Uji organoleptik metode hedonik menekankan pada penliaian berdasarkan kesukaan terhadap sebuah produk pangan di setiap individu.
Penelitian ini melibatkan 25 orang ibu menyusui sebagai panelis. Dalam jurnal penelitiannya, formulasi beras analog perpaduan tepung singkong dan tepung kecambah (60% : 40%) adalah formulasi yang paling disukai oleh panelis penelitian.
Prof Meta menjelaskan, bahwa mengonsumsi beras biasa tetap bisa dilakukan. “Karena selera seseorang tentu berbeda-beda dan dapat divariasikan,” ujarnya.
Penelitian ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk dipresentasikan pada seminar internasional. Selain itu, untuk menghasilkan produk yang dapat dipasarkan. Tetapi, Prof Meta menambahkan bahwa peneliti ini belum dikaji lebih lanjut terkait biaya produksi serta harga jual karena masih dalam proses penelitian.
Ia berharap bahwa penelitian ini dapat terealisasikan secara komersial. “Memang masih ada beberapa langkah untuk sampai pada tahap komersialisasi. Semoga ke depannya bisa terealisasi,” tutup Prof Meta.
Muhammad Nur Ilham