Di tahun 2017 lalu, terjadi kasus Kejadian Luar Biasa (KLB) di Suku Asmat Papua. Betapa tidak, dilaporkan 72 anak meninggal dunia akibat Campak dan Gizi Buruk.
Drg Dhirham Tenrisau, alumni Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unhas, menyempatkan diri menjadi tenaga medis sukarelawan memberikan bantuan dan pertolongan di tempat itu. Menariknya, Tesa (Tenri Sau) –-begitu panggilan akrabnya–, justru menerbitkan buku dalam mengabadikan setiap bait perjalanannya di sana. Buku dengan judul “ASMAT Mutiara Timur yang Tersisih”, merupakan rangkuman dari catatan hariannya.
Tesa menulis di waktu-waktu luangnya selama ia menjalankan tugasnya di Asmat, Papua. Baginya, menulis merupakan aktivitas terapi bagi dirinya sendiri. Ia gunakan menulis sebagai ajang untuk merefleksi apa saja yang telah ia lakukan.
“Saya tidak pernah mengklaim diri saya sebagai penulis. Menulis bukan sesuatu yang saya harus targetkan, walaupun memang dalam beberapa kondisi ada yang saya targetkan dalam hal menulis. Tapi menulis di sini lebih menjadi sarana saya untuk menyampaikan,” jelas Tesa.
Tesa menerangkan, misi pendampingan kasus KLB Campak dan Gizi Buruk di Asmat merupakan penugasan dari tempatnya bekerja, Dompet Dhuafa. Di mana komunitas ini merupakan lembaga filantropi Islam yang melakukan pemberdayaan masyarakat dhuafa melalui kegiatan kemanusiaan dan kewirausahaan.
Hanya saja, Tesa mengakui, kedatangannya ke pedalaman Suku Asmat Papua, bukanlah sekadar melaksanakan tugas semata. “Sebenarnya pergi ke Papua, merupakan salah satu mimpi yang saya tulis dalam bucketlist milik saya. Dompet Dhuafa memfasilitasi saya untuk mewujudkannya,” ungkapnya.
Dalam misi pendampingan ini, Tesa berperan menjadi fasilitator yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Ketika ada masyarakat yang mempunyai masalah, ia akan mendampingi untuk mengidentifikasi apa akar masalahnya dan membantu untuk menemukan solusinya. Dengan catatan, masyarakat itu sendiri yang harus menyelesaikan masalahnya, fasilitator hanya merangsang mereka.
Selain menjadi fasilitator, Tesa juga banyak melakukan kegiatan kemanusiaan. Di antaranya memberi asupan anak-anak dan Ibu hamil setiap harinya dan memberikan pelatihan kepada ibu-ibu di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Tesa mengakui, dalam misi pendampingan ini ia menghadapi beberapa tantangan. Salah satu yang paling sulit adalah perbedaan budaya khususnya bahasa, karena logika bahasa mereka agak berbeda dengan apa yang sering digunakan. Mau tidak mau, Tesa harus menyesuaikan budayanya.
Selain itu, Tesa juga cukup kesulitan untuk beradaptasi dengan keadaan di lingkungan pedalaman. “Di sana sulit mendapatkan sinyal, pun listrik sangat terbatas. Ini membuat kita kerepotan yang sudah terbiasa dengan segala fasilitas modern, utamanya listrik. Di pedalaman suku Asmat yang tergolong masyarakat tertinggal, segala fasilitas itu tidak tersedia,” ungkapnya.
Hal lain diakui Tesa, soal mengakses data. Misalnya, saat ia ingin mengakses data terkait kesehatan, ia merasa berat untuk memperolehnya. Puskesmas yang ada di Asmat diketahui belum menggunakan sistem digital. Mereka masih mengandalkan catatan-catatan yang tertulis di kertas, tentu data akan rentan hilang jika tidak disimpan dengan baik.
“Mungkin karena enggak ada internet ya, jadi akses datanya masih lewat catatan di kertas-kertas. Yang kadang hilang karena pegawai puskesmasnya lupa menaruhnya di mana,” tutur Tesa.
Namun, di balik sekian masalah tersebut, Tesa menyadari banyak pengalaman serta pengetahuan baru yang bisa ia dapatkan setiap harinya. “Yang paling menarik perhatian saya, saat mengetahui bahwa masyarakat menganggap bahwa kondisi fisik yang terlalu kurus, yang bahkan tulang rusuknya kelihatan, itu masih sehat-sehat dan baik-baik saja. Selain itu, ada budaya di mana para ibu meninggalkan rumahnya selama berbulan-bulan membawa anaknya ke hutan untuk mencari bahan makanan yang nantinya akan dijual. Dari situ banyak anak-anak yang meninggal di perjalanan karena kondisi kesehatan anak tidak diperhatikan sang Ibu,” bebernya.
Tesa mengatakan, isu-isu Asmat sudah banyak digaungkan di media sosial, walaupun topiknya lebih umum dan tidak spesifik ke KLB Campak dan Gizi Buruk. Ia menilai kepekaan terhadap persoalan di Papua memanglah penting.
“Pesan saya kepada masyarakat, harus tetap memberi perhatian dan bantuan kepada suku Asmat. Sebenarnya mereka tidak butuh bantuan fisik seperti bantuan uang, infrastruktur, bahan makanan, dan sebagainya. Namun, suku Asmat lebih butuh orang-orang yang mau mendedikasikan diri ke sana, mau melatih masyarakat dan mau mencerdaskan masyarakat di sana,” imbuh Tesa.
Putri Firsati Ronia