Sering kali pengabdian di daerah pelosok memainkan narasi keterbelakangan, bahkan paling kejam memandang orang di sana kurang maju dan perlu diperkenalkan kemodernan. Namun perlu diingat, masyarakat yang jauh dari kota kadang kala dapat menjadi guru bagi kita akan nilai-nilai kemanusiaan.
Pertengahan Februari 2020, aku bersama 15 anak muda Majene mengikuti kegiatan mengajar selama tiga hari di Rattetarring, Majene. Sebuah program mengabdi di bidang pendidikan untuk daerah pelosok oleh komunitas gerakan sosial bernama Tho Mandar Institute (TMI).
Kami yang menjadi relawan dikenal dengan istilah pesulo. Pesulo berarti penerang layaknya sebuah pelita. Pelita yang akan memberi cahaya kehidupan bagi adik-adik yang membutuhkan bantuan untuk masa depan lebih cerah. Sebuah istilah yang diadopsi dari bahasa Mandar.
Perjalanan menuju Rattetarring cukup melelahkan namun begitu mengesankan. Kami berangkat dari pusat Kota Majene mengendarai mobil pick up selama satu jam. Setelah tiba di Desa Manyamba untuk istirahat dan menyiapkan perbekalan sebelum berjalan kaki. Tiga jam kemudian di bawah derasnya hujan, kami menelusuri jalan menuju lokasi pengabdian.

BACA JUGA : Seni Pembuatan Kapal Phinisi sebagai Warisan Budaya Dunia
Berangkat dari jam setengah tiga sore, kami pun akhirnya tiba di lokasi ketika waktu memasuki setengah enam. Suara mengaji dari surau menjadi penanda magrib akan segera tiba. Kami seluruh pesulo segera masuk ke rumah penduduk lokal, yang menjadi tempat menginap sementara. Setelah menganti pakaian basah, kami bertemu dengan beberapa warga
Saat kami tiba di Rattetarring, selain sambutan yang begitu hangat. Kami turut diantar pada sebuah tradisi mambaca pateha sebelum beraktivitas lebih banyak. Apalagi kami berencana akan mendirikan tenda di lapangan dekat pekuburan. Menurut kepercayaan setempat, kami mesti izin terlebih dahulu agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Warga setempat menyebutnya peta’gorang.

Mambaca pateha dipimpin oleh tetua kampung di tempat kami tinggal malam itu. Prosesinya terbilang sederhana, nasi dihidangkan dalam piring lengkap dengan lauk pauknya. Sesungguhnya mambaca pateha ini adalah sebuah doa. Kata yang orang yang dituakan, tradisi mambaca pateha adalah sebuah bentuk doa memohon keselamatan kepada Tuhan.
Menjadi pesulo mengantar diri menjemput senyum, melepas resah, membangun persaudaraan, mengenali diri, dan tentunya menguatkan rasa untuk belajar dan terus belajar. Membuka mata bahwa di luar sana, masih banyak pengetahuan, walaupun menganggap berbeda dengan diri. Sebab tidak percaya bukan berarti berhak untuk tidak menghormati.

BACA JUGA : Julukan Unhas, dari Kampus Merah hingga Humaniversity
Menyambut hari kedua, kami seluruh pesulo dimenangkan hatinya dengan sambutan hangat pihak sekolah dan tawa ceria dari siswa SDN No. 49 Inpres Rattetarring. Segala rasa lelah perjalanan kemarin sirna sudah, yang ada hanya kagum dan syukur atas segala kesempatan bisa menyaksikan kondisi penduduk di pelosok.
Turut merasakan semangat belajar dari adik-adik. Bahkan ingin kusampaikan hari itu, kami tidak mengajar tapi justru sebaliknya banyak belajar dari mereka. Sebab semua orang adalah guru.

Upacara bendera yang dilaksanakan setiap hari senin menjadi pembuka interaksi langsung kami dengan sekolah. Sebagai pesulo juga turut serta, ikut berdiri di barisan belakang para peserat didik. Setelah itu, dilanjutkan dengan sesi perkenalan dari TMI yang diwakili oleh Kak Asdin sekaligus penyerahan cenderamata.
Setelah penyambutan, kami dipersilahkan masuk ke ruang guru, menerima jamuan sederhana dari pihak sekolah. Sekitar jam setengah sembilan pagi proses pengenalan, mengajarkan tentang literasi, budaya, pahlawan, profesi dan monitoring kepada peserta didik dalam kelas pun dimulai.
Kegiatan Majene Mengajar dalam tiga hari menyadarkan perjalanan kali ini bukan sekedar menguras tenaga, tapi juga perjalanan melibatkan rasa. Aku sadar, niat baik saja tak cukup, mesti berani mengambil inisiatif lebih untuk bertindak guna melahirkan manfaat yang lebih luas. Majene Mengajar dari TMI mewujudkan hal itu, mengumpulkan puluhan energi anak muda dalam kolaborasi, kemudian menebar benih kebermanfaatan bagi sesama.
Penulis : Abdul Masli
Mahasiswa Departemen Antropologi,
FISIP Unhas,
Angkatan 2015.