Korupsi dana desa mulai merebak. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melaporkan sepanjang 2016 sedikitnya ada 932 laporan masyarakat terhadap penyelewengan penggunaan dana desa. Di tahun yang sama ICW menyebut korupsi di desa tempati posisi ke tiga.
Data di atas adalah fenomena baru yang muncul di desa pasca ditetapkannya UU No. 6 Tahun 2014 tentang desa yang salah satunya mengatur alokasi dana desa. Tidak hanya itu, aliran dana ke desa yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, yang pada tahun 2017 dialokasikan sebesar 60 triliun atau kisaran 800 juta rupiah untuk setiap desa tiap tahunnya, membuat sulit untuk menihilkan tindak pidana korupsi di desa.
Meskipun modus korupsi yang dilakukan para pejabat desa masih modus dasar, belum secanggih dan sebesar korupsi pejabat legislatif, misalnya penggunaan dana untuk pembelian kendaraan pribadi, pembangunan pagar rumah kepala desa maupun pembangunan lapangan olahraga pribadi, tetapi sudah harus ada upaya sistematis untuk mencegah tindakan-tindakan korupsi pada tahap mendasar tersebut. Jika tidak demikian, kita akan menantikan transmigrasi korupsi besar-besaran (kasus) dari kota ke desa dengan modus yang akan berevolusi menjadi lebih canggih mengingat euforia dana desa.
Kendala Pencegahan dan Penindakan
Harus diakui bahwa pengawasan pengelolaan dana desa masih sangat lemah, sehingga bukan hanya upaya penindakan yang sulit dilakukan tetapi juga upaya pencegahan. Untuk itu, di samping membuat kebijakan yang secara spesifik mengatur sanksi yang akan diberikan bagi pelaku penyelewengan, perlu ada sistem yang dibangun untuk memudahkan pengawasan penggunaan dana desa. Saat ini sudah banyak kasus penyelewengan penggunaan dana desa, tetapi nilainya tidaklah signifikan sehingga apabila diperkarakan lewat pengadilan dengan asas kebermanfaatan, tidaklah efisien dan justru berpotensi merugikan negara, sebab biaya perkara bisa jauh lebih besar daripada dana negara yang bisa diselamatkan atas tindak pidana tersebut.
Presiden Joko Widodo beberapa saat yang lalu membenarkan adanya kelemahan dalam penanganan masalah pengawasan dana desa. Menurutnya, laporannya bertumpuk-tumpuk, tetapi duit dana desa hilang juga. Olehnya itu, presiden menyarankan agar dibangun sistem aplikasi keuangan desa yang sederhana untuk memudahkan pengawasan dana desa. Prinsipnya sederhana, mudah diawasi, dan dikontrol. Hanya saja, tidak semua desa memiliki fasilitas yang sama untuk menerapkan saran presiden kita itu.
Menjaga Entitas Desa dalam Mengelolah Dana Desa
Terlepas dari hitungan untung rugi akibat adanya dana desa yang dikorupsi oleh para pejabat desa, satu hal yang tidak boleh abai dari penjagaan kita adalah entitas desa sebagai suatu tempat yang penuh kedamaian, tempat nilai-nilai lokalitas dijaga dan dijunjung tinggi, tempat dimana modal sosial terbangun begitu kental dengan semangat musyawarah dan gotong royong. Kehadiran dana desa sejatinya bukanlah untuk merusak tatanan yang sudah sedemikian rapi tertata dan terjaga di desa selama ini.
Pemerintah perlu belajar sejarah perkembangan desa di Indonesia agar dampak buruk dari penetapan kebijakan yang menyasar desa dapat diminimalisir. Sebab sejarah telah menuliskan tidak sedikit kebijakan yang diterapkan di desa menimbulkan dampak buruk. Pada era orde lama, ketika kontestasi ideologi (nasionalisme, komunisme, agama) berlangsung di desa, tidak sedikit masyarakat desa menjadi korban atas kontestasi ideologi-ideologi tersebut. Tidak hanya itu, pada era orde baru, saat pengetahuan dengan pendekatan otoriter (revolusi hijau) dikontestasikan di desa di balik pencapaiannya yang kita rayakan sebagai swasembada beras, ternyata telah meninggalkan luka di desa. Matinya komoditas-komoditas lokal yang menjadi makanan pokok di desa, ketergantungan masyarakat desa pada usahatani berbasis modernitas, adalah contoh dampak buruk dari kebijakan di desa pada era sebelumnya.
Kini, entah apa yang akan terjadi di desa saat yang dikontestasikan di sana adalah uang (dana desa), sesuatu yang tidak begitu akrab dengan masyarakat desa. Uang tidak boleh menjadi penyebab kekacauan (chaos) di desa. Untuk itu, para pejabat desa yang diberikan kewenangan mengelola dana desa, haruslah arif dan bijaksana. Dana desa tidak boleh dikelola dengan pendekatan kuasa (kewenangan), tentang siapa yang paling berkuasa mengelola dana tersebut, sebab apabila pendekatan kuasa yang digunakan, maka korupsi sangat mudah terjadi. Dana desa haruslah dikelola bersama. Dimulai dengan pelibatan seluruh elemen masyarakat dalam penyusunan rencana penggunaannya, keterbukaan atas penggunaan dana desa. Dengan demikian, dana desa justru akan mempererat kembali budaya musyawarah yang kental di desa. Intinya, kesejahteraan masyarakat dan asas kebersamaan harus menjadi panglima dalam pengelolaan dana desa.
Penulis : Semuel
Mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Unhas,
Angkatan 2014