Bagi banyak orang, sampah menjadi salah satu momok masalah terbesar. Penggerak sosial di bidang lingkungan bahkan banyak yang lahir dari keprihatinan melihat isu sampah. Tak jarang sampah membuat orang gundah merana. Sampah menjadi salah satu isu lingkungan yang amat serius bagi bangsa.
Tahun 2016 Indonesia dinobatkan sebagai salah satu negara penyumbang sampah terbesar kedua di dunia (khususnya sampah plastik ke laut) setelah Cina. Lamb, et.al (2018) dalam penelitiannya yang berjudul Plastic Waste Associated with Disease on Coral Reefs menunjukkan bahwa sampah plastik paling banyak ditemukan di Indonesia, yakni 25,6 bagian per 100 m2 terumbu karang di lautan.
Hasil riset Greeneration, sebuah organisasi non-pemerintah yang 10 tahun mengikuti isu sampah. Tempo.co mengemukakan bahwa satu orang di Indonesia rata-rata menghasilkan 700 kantong plastik per tahun. Secara umum Indonesia menghasilkan sampah sebanyak 175.000 ton per hari.
Persolan selanjutnya yang muncul adalah, banyaknya produksi sampah tersebut tidak diikuti dengan pengelolaannya yang tepat. Mojok.co menjelaskan pada tahun 2012 beberapa studi mengenai sampah telah dilakukan. Hasilnya adalah sampah yang diproduksi ditindaklanjuti tanpa dikelola (7%), dibakar (5%) dikompos dan didaur ulang (7%), dikubur (10%), dan yang paling besar ditimbun di TPA (69%).
Diam atau Bergerak
Pengelolaan sampah di Indonesia telah diatur dalam UU No. 18 tahun 2008. Dalam upaya untuk menanggulangi permasalah sampah, Indonesia bahkan menargetkan untuk mengurangi sampah di lautan sebesar 70 persen pada tahun 2025. Rencana tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri, Jose Antonio Morato Tavares pada East Asia Summit (EAS) Conference on Combating Marine Plastic Debris yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 6-7 September 2017.
Upaya untuk menekan produksi sampah hingga 70 persen tahun 2025 sejatinya tidak menjadi agenda sektoral. Implementasinya mesti menyentuh hingga ranah lintas sektoral. Mulai dari upaya mengatasi isu lingkungan hingga untuk peningkatan ekonomi. Selain itu, sasaran yang mesti digerakkan mesti menyentuh pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Kita mesti mengubah pemikiran untuk melihat sampah sebagai sesuatu yang tak berguna, menjadi sebuah potensi yang dapat meningkatkan taraf ekonomi keluarga. Upaya daur ulang adalah salah satu langkah yang sering diterapkan baik oleh pemerintah ataupun komunitas yang bergerak di bidang lingkungan. Namun, upaya ini masih memiliki beberapa kelemahan yang tidak bertahan lama. Bahkan muaranya terkadang berakhir pada tumpukan sampah.
Sabtu 21 Juli 2018, aku sedang mengikuti rangkaian Great Indonesian Leader Summit (GILS) 2018. Dalam rangkaian acaranya, aku yang bergabung dalam chamber no poverty mengikuti Batu Engagement. Kegiatan tersebut mengantar kami turun langsung ke salah satu titik di Kota Batu yang telah mengimplementasikan pemecahan masalah sampah. Kami mengunjungi Kelompok Pengolahan Sampah Mandiri (KPSM) Kota Batu.
Selama di sana, mata dan telinga benar-benar dibuat takjub. Aku menyaksikan dan mendengar sebuah kisah kemandirian masyarakat untuk mengatasi masalah sampah. Sebut saja, Pak Wawan seorang penggerak yang telah membentuk kurang lebih 80 titik Kelompok Bank Sampah Mandiri di bawah naungan KPSM.
Namun, dari sekian banyaknya kelompok Bank Sampah, mereka masih terfokus pada masalah mengatasi isu lingkungan dengan menggerakkan masyarakat. Mereka belum terpikirkan untuk menjadikan sampah untuk menambah penghasilan. Padahal dengan kita mengolah sampah kita bisa meningkatkan penghasilan keluarga. Ibarat berenang sambil minum air.
Bahkan masih banyak tumpukan sampah di pusat penampungan karena hasil daur ulang belum laris di pasar. Tidak adanya standar hasil olahan menyebabkan minimnya kemauan masyarakat untuk membeli produk daur ulang. Inilah yang perlu diperhatikan selanjutnya dalam upaya pengurangan sampah. Yakni mau dikemanakan hasil daur ulang yang sudah ada.
Tanggal 22 Juli kami kemudian mengikuti coaching idea oleh Kak Vania, founder Startic. ia membagikan tips kepada kami, ketika ingin memulai sebuah projek sosial mulai dari hal kecil. Munculkan empati, pahami masalah, dan berikan solusi. Yang terpenting adalah kenali kemampuan diri. Dihadapkan pada masalah sampah, perlu kita pahami sampah sabagai masalah yang bisa menjadi potensi peningkatan ekonomi.
Oleh karena itu salah satu upaya yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda yakni lewat GELORA (gerakan kelompok kreatif). Sebuah upaya pendampingan masyarakat untuk mempertemukan pelaku bisnis, pemerintah dan masyarakat. Pendampingan untuk mengubah sampah menjadi produk bermanfaat yang bernilai ekonomis, lewat integrasi tiga sektor dengan peran masing-masing. Masyarakat membentuk kelompok pengolahan sampah dengan standar yang jelas, pemerintah mesti membantu dengan sertifikasi standar mutu hasil produk, kemudian pelaku bisnis sebagai distributor ataupun konsumen. Dengan begitu sampah bukan sekedar masalah melainkan sumber penghasilan.
Mari berkolaborasi karya untuk wujudkan rencana pemerintah. Mengurangi sampah 70 persen tahun 2025. Mari mengubah pikiran yang awalnya sampah hanya isu lingkungan menjadi isu ekonomi dan sosial. Akhir kata, sampah hilang miskin berkurang.
Penulis: Abdul Masli,
Departemen Antropologi, FISIP Unhas
Angkatan 2015.