Selama 43 tahun, Lembaga Kemahasiswaan (Lema) Universitas Hasanuddin (Unhas) kerap berganti nama dan pemimpin. Lantas siapa sajakah para pemimpin yang pernah menahkodai lembaga universitas itu?
Pada 1975, Dewan Mahasiswa (Dema) yang saat itu dipimpin Syafri Guricci dengan masa jabatan 1975-1976 digantikan oleh Andi Husni Tanra. Husni terpilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu) yang diadakan saat itu. Yosep Tikupadang dan Husein Badawing adalah rivalnya.
Selanjutnya, terdapat lima pasangan calon ketua Dema bersama wakilnya yang dipilih melalui Pemilu 1976. Pasangan tersebut ialah Taslim Arifin (FE) dan Untung Surapati (Faperta), Andi Mattalatta (FH) dan Idrus Paturusi (FK), Tajuddin Nur Said (FT) dan A Majid Sallatu (FE), Idrus Buyung (FH) dan Nunding Ram (Sastra), terakhir pasangan Andi Palenggi (FIPPA) bersama Samuel Z (FK). Kala itu, pasangan yang terpilih ialah Tajuddin Nur Said dan A Majid Sallatu.
Di tahun berikutnya, tak lagi berpasang-pasangan, hanya ada satu calon yang akan dipilih melalui Pemilu. Dengan sistem baru tersebut Taslim Arifin terpilih menjadi ketua Dema. Ia memperoleh 1.834 suara mengungguli suara yang diraih Idrus Patturusi dan Mahmud Hamundu. Akan tetapi, kericuhan yang didasari rasa curiga sempat terjadi saat Taslim terpilih. Meski begitu, segala pihak yang terkait tetap menerima hasil Pemilu dengan lapang dada.
Selang dua tahun, terbitnya Surat Keputusan pembekuan Dewan dan Senat mahasiswa pada 21 Januari 1978 oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo membuat mahasiswa Unhas membentuk BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa). Meski mengalami pro dan kontra, Pemilu tetap diadakan di tahun 1978.
Kemudian, saat terjadi Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), pada 1978 hingga 1981 muncul beberapa tokoh mahasiswa yang menjadi simbol tidak redupnya semangat berorganisasi mahasiswa. Mereka adalah Maasba Magassing, Ketua Senat Mahasiswa Unhas, A Muin Fahal, Ketua BPM Bidang Hukum, Oedhien Mangung, Ketua Senat Fisbud, M Idrus Hafid, Ketua Senat, empat ketua BPM Rivai Cawung, M Yasin HG, Armyn Nurdin, dan Betmal Karuseng. Juga, Muhlis Amat, Ketua Senat dan Teknologi, serta Sofyan Hasdam, Ketua Senat Mahasiswa.
Di tahun berikutnya, mahasiswa terus melakukan usaha pengkoreksian NKK/BKK. Kebijakan NKK/BKK ini bertujuan membatasi kegiatan politik mahasiswa di kampus. Meski demikian, Pemilu tetap berjalan dengan terpilihnya enam ketua senat dan enam ketua BPM. Sayangnya, hingga tahun 1990, lembaga mahasiswa Unhas tak kunjung terbentuk.
Bosan setelah sepuluh tahun bersama BPM, pada 1991, terbentuk Senat Mahasiswa Unhas (SM-UH) yang menyatukan seluruh mahasiswa Unhas. Setelah proses panjang, Yangkin Padjalangi, Mahasiswa Fakultas MIPA, menjadi ketua pertama SM-UH mengalahkan lawannya, Nikmatullah. Di akhir masa kepemimpinan Yangkin, terjadi pembenahan organisasi.
Aminuddin Syam yang selanjutnya memimpin SM-UH periode 1992/1993. Selepas kepemimpinan Aminuddin di SM-UH, nasib SM-UH kembali kelabu. Hal itu disebabkan karena Thamrin Halide yang terpilih masa itu, tak diakui oleh beberapa fungsionaris lembaga. Pada periode 1993/1994, diadakan Pemilu raya hingga terbentuklah Majelis Perwakilan Mahasiswa.
Selain itu, lika-liku pemilihan ketua di lembaga mahasiswa tingkat universitas tersebut juga diwarnai hilangnya kotak suara yang raib pada Pemilu raya Keluarga Mahasiswa (Kema) tahun 1995. Kejadian itu membuat tiga calon kandidat yakni, Wahyuddin Djalil (FH), Muhammad Lukman (FIKP), dan Sawedi Muhammad batal berkompetisi dalam Pemilu raya tersebut. Hal itu berimbas pada tidak dilakukannya pemilihan ketua senat yang membuat SM-UH jalan di tempat.
Setelah tiga tahun, memasuki era reformasi, terbit pedoman umum organisasi kemahasiswaan. Terbitan itu berakibat pada lembaga mahasiswa yang mengalami berbagai perubahan termasuk bergantinya Sema menjadi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM).
Pada 5-7 Juli 2000, diadakan lagi Pemilu raya. Pemilu itu dimenangkan oleh Heryanto. Saat itu, perjalanan lembaga tingkat universitas makin terseok-seok hingga kemudian dibredel oleh Parlemen Mahasiswa yang dipimpin Muhammad Ramli.
Kejadian itu berujung di skorsingnya Heryanto selama sepuluh hari oleh parlemen mahasiswa. Dia diskorsing akibat dari kinerja kepemimpinan yang buruk mulai dari kurangnya sosisalisasi BEM Universitas ke mahasiswa, anggota kabinet yang kocar kacir, hingga banyak program kerja mandek. Terhitung sejak 2006, BEM Universitas vakum karena beberapa perwakilan fakultas menyatakan mundur saat akan diadakan Pemilu.
Pada 2013, dari 14 fakultas yang ada, terdapat empat fakultas yang menolak pembentukan Lema sebagai organ tertinggi di Unhas, dibentuk dengan tujuan membangun pergerakan secara sentralistik. Empat fakultas tersebut ialah BEM FMIPA, Sastra, Ekonomi, dan Senat Kelautan. Sementara yang setuju ialah BEM Hukum, Farmasi, Kedokteran, Kedokteran Gigi, Pertanian, dan Teknik. Sisanya belum menyatakan sikap.
Begitulah sekelumit perjalanan dalam pemilihan ketua-ketua yang memimpin lembaga kemahasiswaan tingkat universitas di zaman dulu. Setelah lama vakum, tahun ini riak-riak pembentukan lembaga kemahasiswaan tingkat universitas atau yang kini dikenal dengan sebutan BEM-U makin terdengar. Lantas, bagaimana dan siapa yang akan duduk di tampuk kekuasaan itu nanti? Mari tunggu dan saksikan.
Madeline Yudith