Diabetes melitus (DM) merupakan permasalahan kesehatan dunia yang sudah seharusnya diatasi. Data dari International Diabetes Federation menunjukkan bahwa sebanyak 536,6 juta penduduk di dunia menderita DM. Di Indonesia sendiri penderita DM sejumlah 19,5 juta kasus dan 95% merupakan penderita diabetes melitus tipe 2 (DMT2).
Salah satu pengobatan diabetes yang populer adalah penggunaan obat metmorfin. Pengobatan ini terbukti efektif menurunkan kadar glukosa darah. Namun, pemberian metformin dalam bentuk tablet memiliki efek samping seperti mual, muntah, konstipasi, kram perut, hingga masuk angin. Tak hanya itu, penggunaan terus-menerus dapat menyebabkan kadar gula darah berada di bawah angka normal.
Untuk itu, mahasiswa yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) mengusulkan sebuah pemecahan masalah ini dengan inovasi metformin sebagai partikel mikro yang dihantarkan melalui kulit. Terapi ini efektif untuk mengobati Diabetes Melitus Tipe 2.
Tim PKM tersebut terdiri dari Nur Syafika, Sumayya Binti Abd. Azis, Hanin Azka Qonita, Ahmad Abizart, Tiara Resky Anugrah Mahmud. Didampingi oleh Dosen dari Fakultas Farmasi, Andi Dian Permana, S. Si., M.Si., Ph.D., Apt, ide ini berhasil meraih medali perak pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) Kelas PKM RE-1.
Ketua Tim, Nur Syafika menjelaskan bahwa inovasi mereka ini akan mengurangi efek samping dari gangguan saluran pencernaan. Karena obat diberikan melalui kulit, sehingga tidak perlu diproses di pencernaan. Selain itu, Nur dan tim menggunakan komponen phenylboronic acid (PBA) sebagai respon glukosa, sehingga pelepasan metmorfin disesuaikan berdasarkan kadar glukosa darah atau sesuai dengan kebutuhan tubuh.
“Metformin yang dihantarkan melalui kulit memiliki keunggulan lebih dari metformin yang dikonsumsi dalam bentuk tablet karena dapat menghindari efek samping pada saluran pencernaan,” jelasnya.
Salah satu pengaplikasian melalui kulit dapat dilakukan dengan jarum mikro atau microneedle. Umumnya, jarum mikro ini tersedia dalam bentuk plester atau gel tapi beda tipe. Setelah studi literatur dan banyak berdiskusi dengan dosen pembimbing, Nur memutuskan untuk membuat microneedle yang lebih efektif dan ramah lingkungan, yaitu dissolvable microneedle yang langsung larut setelah diaplikasikan.
Pembuatan inovasi ini melalui proses yang panjang. Mulai dari mencari formula terbaik metformin dan respon glukosa, lalu uji karakterisasi secara fisika maupun kimia. Formula ini kemudian dikombinasikan dalam bentuk dissolvable microneedle dengan bentuk sediaan mikro. Berbagai pengujian kembali dilakukan hingga dapat disimpulkan seberapa banyak kandungan obat paling pas dalam satu dosis pemberian. Tidak berhenti sampai di situ, pengujian dilanjutkan lagi dengan menghitung waktu terlarut obat agar diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan microneedle larut di kulit. Banyak tahapan yang harus dilewati hingga didapatkan hasil bahwa inovasi ini memenuhi persyaratan sebagai obat yang tidak berpotensi toksik.
Nur Syafika mengungkapkan bahwa selama penelitian berlangsung, sulitnya mencari literatur menjadi kendala yang dialami, apalagi studi mengenai microneedle belum umum pada penelitian S1.
Menurut Nur, hasil penelitiannya bersama tim menunjukkan hasil yang diharapkan, karena formula yang mereka buat dapat melepaskan metmorfin sesuai dengan kebutuhan dan minim risiko. Dari penelitian ini pula mereka berhasil mempublikasikan dua jurnal pada 2022 dan 2023.
Di akhir kesempatan, Nur berharap semoga penelitian ini bisa dilanjutkan karena masih banyak tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mengembangkan inovasi ini hingga dapat memberikan banyak manfaat kepada masyarakat khususnya masyarakat penderita diabetes melitus.
Zakia Safitri Sijaya