Sudah 15 tahun berlalu sejak banjir bandang yang pernah melanda Sulawesi Selatan pada 20 Juni 2006 lalu. Berdasarkan laporan Program Rehabilitasi Bencana Banjir Provinsi Sulawesi Selatan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Direktorat Jenderal (Ditjen) Cipta Karya, daerah-daerah yang terdampak Banjir antara lain Kabupaten Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, dan Bone.
Kerusakan parah hampir merata, terutama di Kabupaten Sinjai. Banjir bandang tersebut menelan hingga ratusan korban jiwa serta puluhan orang luka berat dan hilang, ditambah pengungsi yang mencapai delapan ribu orang.
Dilansir dari berita news.detik.com pada 23 Juni 2006 mengenai kisah korban yang selamat, banjir terjadi diluar dugaan masyarakat setempat. Hal ini karena daerah tersebut belum pernah dilanda banjir dan waktu terjadinya malam hari Ketika warga sedang beristirahat.
Hal tersebut menginisiasi Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Unhas, Dr Amran Rahim SSi MSi untuk merancang suatu sistem pencegahan dini banjir bandang.
Sistem tersebut dirangkum dalam paper yang ditulis bersama timnya dengan judul “Spatio‑Temporal Model of Extreme Rainfall Data in the Province of South Sulawesi for a Flood Early Warning System” yang diterbitkan di tahun 2021.
Amran menjelaskan mengenai cerita awalnya ingin melakukan penelitian ini. “Saat banjir di Sinjai terjadi, tidak ada informasi awal dari hulu sehingga mereka tidak dapat mempersiapkan diri. Jadi kita di tim berpikir bahwa penyebabnya adalah tidak adanya informasi awal yang memberi tanda-tanda ke mereka bahwa akan ada banjir sehingga ada waktu walaupun singkat,” tuturnya saat diwawancarai oleh reporter PK identitas Unhas di Ruangan Kepala Program Studi (Kaprodi) Ilmu Aktuaria.
Selain itu, ini menjadi suatu tantangan untuk menerapkan bidang keilmuannya tentang data science dengan membuat suatu sistem. Sehingga ia berkolaborasi dengan ahli di bidang Teknologi Informasi yang membuat web untuk simulasinya.
Sistem ini bekerja dengan mengandalkan data curah hujan harian 60 lokasi di 21 daerah di Sulawesi Selatan dari satelit Jepang bernama Global Satellite Mapping of Pre‑cipitation or GSMaP (ftp://hokusai.eorc.jaxa.jp) yang mengambil data curah hujan yang bersifat global. Kemudian data tersebut dikombinasikan dengan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang mengambil data curah hujan yang bersifat lokal.
Banjir terjadi apabila saluran air tidak dapat lagi menampung banyaknya air yang mengalir dari hulu ke hilir. Amran juga menjelaskan secara sederhana mengenai cara sistemnya bekerja.
“Nah, berdasarkan inputan dari data satelit global dan lokal inilah yang kami simulasikan. Melihat berapa curah hujan di hulu kemudian mengalir ke sungai sampai akhirnya sungai bisa meluap. Jadi nanti akan ada peringatan yang diklasifikasikan seperti aman, siap-siap, dan bahaya,” ujarnya.
Tingginya tingkat curah hujan dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di wilayah terdekatnya dan menyelediki bahwa ada tiga fenomena yang dikaitkan dengan curah hujan tinggi yang dapat menyebabkan banjir, yaitu El Nino South Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole Mode (IOD), dan Madden–Julian Oscillation (MJO).
Ditemukan bahwa diantara ketiga fenomena yang terjadi di laut tersebut, yang mempengaruhi curah hujan di Sulawesi Selatan adalah fenomena IOD dan MJO yang datang dari Samudera Hindia ketika angin muson barat berlangsung. Angin muson barat sendiri terjadi sekitar bulan Oktober hingga April.
Selama penelitian, terdapat beberapa masalah yang harus dihadapi, salah satunya adalah pandemi covid-19 yang melanda Indonesia dari tahun 2020 sehingga menyebabkan beberapa anggota timnya terpapar covid-19 dan membutuhkan waktu yang cukup lama.
Penelitian ini masih menjadi penelitian dasar yang nantinya akan berlanjut ke terapannya. Kedepannya, dia dan tim berencana untuk menerapkan teknologi Computer Vision pada penelitian terapannya dibandingkan menggunakan sensor secara langsung.
Teknologi ini dinilai lebih efisien dan efektif karena menggunakan sistem pemantauan jarak jauh. Sensor biasa yang ditempatkan langsung di sungai kurang efisien karena memiliki kemungkinan kerusakan yang tinggi jika skala banjirnya sangat dahsyat.
Dalam penelitiannya, dia dan timnya memiliki upaya untuk menyelesaikan sistem dalam bentuk prototype terlebih dahulu. Sistem ini selanjutnya digunakan untuk membuat simulasi dari beberapa skenario curah hujan yang dapat terjadi di waktu akan datang.
“Konsepnya sudah jelas, jadi pada saat terapan kita tinggal finishing. Sekarang tim sudah masuk tahap penelitian terapan, jadi kita berharap sistem ini dapat diujicobakan” pungkasnya.
Ia berpesan bagi masyarakat yang tinggal di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk tetap waspada, “Walaupun tidak pernah banjir di daerah tersebut, tolong perhatikan keberadaan badai. Jika badai terjadi entah di Australia, Jepang, atau di Samudera Hindia, itu bisa menjadi pemicu,” ujarnya.
Kemudian, dia juga berharap adanya jalinan komunikasi antara masyarakat yang tinggal di hulu dan hilir. Sehingga apabila terjadi hal-hal seperti hujan deras di daerah hulu, hendaknya melakukan komunikasi kepada masyarakat hilir agar masyarakat hilir dapat melakukan persiapan.
Muhammad Mukram Mustamin