Feri Irawan, seorang karyawan swasta ditemukan tewas gantung diri di ruang kamar apartemennya. Kondisinya kaku dan nyaris membusuk, diperkirakan ia telah tewas sejak tiga hari yang lalu. Pria berusia 32 tahun itu baru ditemukan oleh tetangganya setelah curiga dengan aroma bangkai yang merayap di sepanjang lorong. Di tempat kejadian perkara juga tidak ditemukan sesuatu yang mencurigakan sehingga untuk sementara kematian Feri dianggap sebagai murni bunuh diri. Kini jasad Feri sedang divisum untuk mencari petunjuk lebih banyak.
Seperti itulah kasus pertamaku yang baru saja ditugaskan bekerja di bagian investigasi kematian tidak wajar, mendampingi Pak Arman, seorang penyidik senior yang telah menangani berbagai macam kasus kematian dan pembunuhan. Pria paruh baya berbadan atletis itu sangat lihai memecahkan misteri kematian. Lima tahun terakhir saja dia telah memecahkan 42 kasus. Seorang pemula sepertiku sangat beruntung bisa bekerja bersama beliau.
“Siapa saja yang akan kita periksa hari ini?” tanyaku sambil berusaha menyamai langkahnya.
“Ibunya, atasannya, dan psikiaternya. Berdasarkan pemeriksaan yang kita temukan di ponselnya, ketiganya adalah orang yang paling sering berinteraksi dengan Feri.” Pak Arman membenahi dari biru tuanya sambil terus berjalan menuju ruang pemeriksaan. Derap langkah kaki dari sepatu pantofelnya menggema di sepanjang lorong, beradu dengan sibuknya suasana sibuk staf menjelang berakhirnya waktu istirahat.
Kami tiba di sebuah ruangan yang hanya berisi sebuah meja persegi panjang dan dua buah kursi. Di langit-langit tergantung sebuah bohlam berpijar kekuningan yang sedikit terayun. Pak Arman duduk sambil menyalakan laptop abu-abunya yang akan digunakan untuk mencatat informasi yang diperoleh dari pemeriksaan. Ia membaca sekilas berkas kasus berdasarkan data yang kami temui di tempat kejadian perkara.
“Sepertinya ibunya sudah menunggu di luar, antar dia masuk,” pinta Pak Arman. Tanpa basa-basi, aku segera keluar dari ruangan, mendorong pintu kayu diiringi suara decitan. Ibu Feri memasuki ruangan dengan wajah sangat terpukul. Kuminta ia duduk di depan Pak Arman, sembari aku hanya berdiri di samping bahu pria itu, menunggu perintah beliau selanjutnya.
“Ibu Teti, saya Arman penyidik yang bertugas untuk mengungkap kronologis kematian anak Ibu. Kami ingin membantu Ibu mencari tahu alasan Feri bunuh diri, jadi kami mohon agar Anda dapat menjawab pertanyaan saya dengan jujur dan apa adanya,” jelasnya.
“Baik Pak,” jawab wanita berambut coklat cerah sebahu itu dengan suara parau.
“Kapan terakhir kali Ibu bertemu atau menghubungi Feri?”
“Sekitar sepuluh hari yang lalu, Feri menjenguk saya di rumah. Seperti biasa Feri memberi saya uang untuk keperluan sehari-hari dan kebutuhan adiknya sekitar 70 juta. Itu membuat saya terkejut, biasanya hanya tiga juta setiap bulan. Ia bilang kalau itu bonus dari perusahaan karena proyeknya berjalan lancar. Kami merayakannya dengan makan daging sapi panggang,” paparnya dengan raut wajah sedih menahan air matanya yang nyaris jatuh bercucuran.
“Apakah Feri terlihat tertekan saat itu?” Pak Arman mulai antusias.
“Tidak, dia terlihat biasa saja. Biasanya ia selalu mengeluh stres dan frustasi karena pekerjaannya, tapi malam itu ia seperti kehilangan bebannya. Sekali ia bercerita kalau ia punya rencana menikahi wanita yang disukainya dan berjanji akan mengenalkannya kepada saya. Tapi setelah saya tanyakan lagi malam itu, ia langsung murung. Saya memang sering memintanya segera beristri, sepertinya itu jadi beban pikirannya.” Air mata Ibu Teti luruh sepenuhnya.
“Feri sepertinya sering berkonsultasi dengan psikiater, apakah Anda tahu kalau dia punya masalah mental?”
Dahi Ibu Teti mengerut, wajahnya terkejut bepadu bingung. “Tidak, dia tidak pernah cerita tentang itu. Dia anak yang baik, dia selalu cerita semuanya kalau menjenguk saya. Tapi saya yakin, seberat apapun kesulitan yang dihadapi, dia tidak akan bunuh diri. Dua tahun lalu, mendiang suami saya bunuh diri karena terlilit hutang. Saya selalu mengajar Feri untuk tidak bunuh diri karena itu adalah tindakan pengecut. Saya yakin dia tidak bunuh diri. Tolong selidiki baik-baik, Pak”
Setelah berbagai pertanyaan lain dijawab, Pak Arman memintaku mengantar Ibu Teti keluar. Tidak berselang lama, Pak Ikong — atasan Feri tiba memenuhi panggilan. Ia orang yang kedua yang akan kami periksa hari ini.
Pria bertubuh jangkung itu berjalan perlahan dengan langkah lamban. Wajah keriputnya terlihat ragu, mata bolanya mengedip lebih cepat seakan mencoba menyusun kalimat yang akan dikatakan.
“Pak Ikong, kami mendengar informasi bahwa Feri sempat merasa frustasi dengan pekerjaannya sebagai karyawan bapak, apakah itu benar?” pria berambut tipis klimis yang disemir hitam itu menarik napas panjang.
“Saya rasa itu benar. Bulan lalu kami merencanakan proyek pembukaan cabang baru di beberapa kota sekaligus, proyek yang cukup besar dan saya memberi Feri kesempatan untuk memimpin proyek itu. Saya sering memintanya untuk bekerja lebih keras menyusun rencana yang ideal untuk proyek kami, tetapi rancangan yang harusnya sudah selesai dalam satu minggu itu tidak kunjung selesai. Saya bahkan sering menekan bahkan menakut-nakutinya kalau proyek ini bisa saja batal karena dia. Sejak itu ia selalu terlihat frustasi,” jelas Pak Ikong dengan penuh rasa bersalah.
“Jadi apakah proyek itu sudah selesai?”
“Tidak, saya baru saja menunjuk ketua proyek baru untuk meneruskannya.” Sejenak Pak Arman menghela napas lalu menyanggah dagunya dengan kedua tangan.
“Apakah ada tanda-tanda kalau Feri akan bunuh diri?”
“Saya rasa ada. Feri sering melamun, rekannya bahkan ada yang sering memergokinya menangis di toilet. Ia sering mematahkan barang-barangnya sendiri seperti kacamata, pensil, pulpen, sampai gunting kertas. Saya merasa sangat bersalah telah menjadi penyebab ia memilih pilihan yang mengerikan ini.” Wajah Pak Ikong murung, pandangannya jatuh, bukti sesal atasi perbuatannya.
“Apakah Feri mendapatkan bonus dari kantor beberapa waktu belakangan?” tanya Pak Arman memiringkan kepala.
“Tidak. Bulan ini kinerjanya menurun, saya bahkan memotong gajinya bulan ini karena ia sering terlambat masuk kerja.” Pak Ikong terdiam sejenak, seperti teringat sesuatu. “Saya ingat, dia pernah bilang di kantor kalau dia menjual propertinya dengan harga murah. Ia sempat izin pulang lebih awal untuk mencairkan uangnya di bank. Mungkin ia punya kebutuhan mendesak.”
“Properti?” Pak Arman membenarkan posisi kepalanya.
“Iya, Pak. Sepertinya satu unit rumah. Nilainya sekitar 300 juta, tapi dijual jauh lebih murah.” Pak Arman menulis informasi yang didapatkannya di laptopnya. Instingnya mungkin mengatakan kalau informasi tentang properti itu bisa jadi petunjuk yang penting. Setelah beberapa pertanyaan lain dijawab, Pak Ikong akhirnya selesai diperiksa.
“Dedi, antar Pak Ikong. Jika tepat waktu, harusnya Dokter Anggi sudah menunggu di luar,” pintanya sambil memeriksa pesan yang masuk di gawainya.
“Baik pak,” ucapku sambil mengantar Pak Ikong keluar dari ruangan.
Dengan langkah lamban sedikit gemetar, seorang perempuan tinggi berambut hitam kecoklatan perlahan duduk di depan Pak Arman. Tatapannya sayu, kulitnya putih hampir menandingi jas snelli yang masih membalut badannya yang proporsional. Beberapa kali ia mengganti posisi duduknya dan menghela napas panjang seakan akan berbicara banyak.
“Baik, Dokter Anggun. Kami memperoleh informasi bahwa Feri adalah pasien Anda, apakah benar begitu?” tanya Pak Arman membuka pembicaraan.
“Iya benar, dia pernah jadi pasien saya hampir enam bulan. Tapi sejak dua minggu terakhir, Pak Feri sudah tidak berobat di klinik saya.”
“Penyakit apa sebenarnya yang diderita Feri dan bagaimana Anda memberikan pengobatan?”
“Pak Feri menderita gangguan kecemasan, Bipolar. Berdasarkan pengamatan saya dan pengakuan dari dia, bipolarnya disebabkan karena trauma akibat kematian ayahnya dua tahun lalu, dan stres karena pekerjaannya yang selalu menuntut kesempurnaan. Saya hanya melakukan pengobatan sesuai protokol untuk bipolar fase sedang seperti konsultasi rutin dan terapi obat antidepresan.”
“Apakah ada indikasi Feri akan melakukan bunuh diri?” Pak Arman bersandar ke sandaran kursi.
“Iya, penderita bipolar selalu merasa mau mati ketika sedang depresi, ada juga yang selalu cemas dan takut mati. Tapi saya rasa, saya bisa memberikan sedikit informasi tambahan. Sebenarnya sangat tidak baik membocorkan rahasia pasien saya, tapi ini juga menyangkut saya secara pribadi.” Tatapan Anggun berubah tajam.
“Pribadi?” timpalku yang sedari tadi hanya berdiri diam.
“Iya. Tiga bulan pertama pengobatannya berlangsung lancar, bahkan menunjukkan kemajuan yang sangat positif. Saya kemudian merekomendasikan untuk mengurangi dosis obat dan sesi konsultasi, tapi seminggu kemudian dia mengaku bipolarnya semakin memburuk. Dia kemudian meminta memperbanyak sesi konsultasi, awalnya sekali seminggu, lalu dua kali seminggu, lalu beberapa konsultasi mendadak. Menurut saya konsultasi itu sama sekali tidak diperlukan, malah hanya menghabiskan biaya,” Jelas Anggun mengungkap kerisauannya.
“Berapa banyak uang yang dia habiskan untuk pengobatan?” Pak Arman bangkit dari sandarannya.
“Sekitar 12 juta lebih. Setelah saya memberitahunya kalau konsultasi itu tidak perlu, dia mengerti dan menjalankan konsultasi rutin seperti biasa. Sampai hari terakhir dia konsultasi, mungkin dia tidak sengaja melihat undangan pernikahan saya di atas meja. Saat itu dia terdiam cukup lama, seperti memendam amarah kemudian melanjutkan sesi konsultasi seperti biasa.” Anggun mengusap wajahnya yang terlihat letih.
“Jadi ada kemungkinan kalau Feri jatuh hati pada Anda?” tebakku.
“Iya, dari sikapnya bisa saja begitu. Beberapa kali dia mengajak saya jalan-jalan ke mall sehabis konsultasi, tapi saya menolak karena sibuk. Ini sangat membebani saya. Jika dia bunuh diri karena saya, apakah saya bersalah atas kematiannya?” Anggun memajukan badannya, dahinya mengerut seakan menunggu salah satu dari kami mengatakan tidak.
“Jika apa yang Anda ceritakan benar, kemungkinannya kecil tersangkut pidana tapi-”
“Tentu saja benar. Saya tidak melakukan hal yang salah,” teriaknya dengan nada sedikit panik, berusaha membela diri.
“Iya. Tenanglah. Anda hanya melakukan tugas sebagai psikiaternya dengan baik,” ucapku menenangkannya.
“Satu lagi. saya sempat menelponnya minggu lalu untuk memastikan kalau dia benar-benar sudah tidak memerlukan konsultasi lagi. Dia bilang begini ‘saya sudah dapat obat luar biasa, meskipun harganya puluhan juta tapi sangat mujarab’. Saya bertanya-tanya apakah memang ada obat seperti itu? Asumsi saya hanya narkoba atau semacamnya.”
Anggun meninggalkan ruangan dengan sedikit lega. Keringat di wajahnya bercucuran seiring langkahnya yang kian menjauh. Pak Arman mencatat informasi yang diperolehnya dari Anggun, kemudian sejenak merenung. Ia menaruh kedua tangan di tengkuknya sembari sedikit melakukan peregangan. “Bagaimana menurutmu?”
Nampaknya ini murni bunuh diri karena depresi, Pak.” Pak Arman mengayunkan pandangannya ke arahku yang masih berdiri di sebelah bahunya.
“Kita belum bisa memastikan itu.”
“Maksud Anda, ada kemungkinan pembunuhan?” ucapku sedikit terkejut.
“Bisa saja. Saya baru saja menerima hasil visum dari bagian patologi forensik,” ungkapnya sambil memeriksa gawainya cukup lama. “Berdasarkan pola livor mortis di leher Feri, tim forensik menyimpulkan ia mati dicekik. Ditambah lagi kita baru saja menemukan bukti baru kalau pemeliharaan jaringan yang membuat cctv tidak berfungsi dilakukan tidak sesuai dengan jadwal. Siapapun pelakunya, sepertinya ia cukup berpengalaman,” ucapnya sembari menyimpan gawainya di atas meja.
Bekerja bersama Pak Arman membuatku belajar untuk tidak terburu-buru dalam menyimpulkan sesuatu. Untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa manusia itu sangat mudah mati. Aku mungkin saja mati beberapa menit ke depan. Bila itu terjadi, kuharap aku tahu alasan kenapa aku harus mati. Apakah Feri juga tahu apa alasan ia harus mati?
Keesokan harinya, pelaku pembunuhan berhasil diringkus. Hal ini terungkap dari dari teknisi gedung yang mengaku bahwa ia dibayar agar memajukan jadwal pemeliharaan jaringan cctv. Wahyu, lelaki 37 tahun yang berprofesi sebagai pembunuh bayaran dipastikan adalah pelaku pembunuhan Feri. Petunjuk lainnya ditemukan dari kasus-kasus pembunuhan berencana yang sebelumnya ia lakukan.
Pria berkulit putih bersih dengan sedikit bekas luka di pipi kirinya itu duduk dengan santai di hadapan kami. Wajahnya tak menunjukkan rasa takut atau rasa bersalah sama sekali. Matanya tampak mengantuk dengan kantung mata yang menggantung nyaris bengkak. Rambut dan jenggotnya rapi, seperti masih punya waktu untuk bersisir sebelum datang ke ruangan ini.
“Jadi Anda yang membunuh Feri?” tanya Pak Arman dengan tenang.
“Iya, benar sekali,” jawabnya pongah.
“Kenapa Anda membunuhnya?”
“Apakah kau bertanya kenapa singa menerkam rusa? Untuk makan! Sama sepertiku, aku hanya membunuh untuk bisa makan, aku tidak punya gaji bulanan, tunjangan, atau asuransi seperti kalian. Aku membunuh untuk mendapatkan uang,” ungkapnya sedikit kesal.
“Bagaimana cara Anda melakukannya?”
“Kalian polisi, kalian harusnya sudah tau itu. Apa gunanya kalian menyelidikinya berhari-hari jika akhirnya hanya bertanya padaku yang-”
“Hey, kau pikir kau bisa keluar dari ruangan ini dengan ocehanmu itu!” ketusku menilai tindakannya keterlaluan.
“Apa bocah ingusan itu anak buahmu? ajari dia sedikit sopan santun. Dengar, aku tidak akan memberitahu kalian apapun. Berterima Kasihlah padaku karena kalian bisa bekerja dan tidak makan gaji buta.” Ia menggaruk pergelangan tangannya yang terborgol.
“Dengar tuan, segala yang Anda katakan di ruangan ini akan menentukan berapa lama Anda akan mengelap air kencing di balik jeruji. Jika Anda kooperatif, hukuman Anda bisa saja diringankan,” tawarku.
“Kau pikir aku akan bicara dengan ancaman air kencingmu? Aku sudah hidup di kubangan tai sejak kecil, air kencing saja tid-” Pak Arman berdiri menjambak rambut Wahyu dan membenturkan kepalanya ke meja. Aku cukup terkejut melihat tindakan yang diambil Pak Arman yang spontan.
“Sepertinya kau terlalu banyak berbicara. Gunakan kepala dan mulutmu sebagaimana mestinya sebelum nanti tidak akan berfungsi lagi,” ancamnya sambil menahan kepala Wahyu tetap mencium meja kayu di depannya.
Wahyu meringis kesakitan, “Lakukan yang terbaik sebisamu!”
“Baik.” Pak Arman berdiri dari kursinya, mendorong kepala Wahyu yang masih dijambaknya hingga Wahyu tersungkur bersama kursinya. Wahyu yang kesakitan kesulitan bangkit karena borgol di tangan dan kakinya. “Apakah kau sudah melupakan Bella?” tanya Pak Arman sambil menatap jijik Wahyu yang terpaku mendengar nama itu.
“Kalau kau menyentuhnya sedikit saja, aku bersumpah kau akan mati lebih tragis dari Feri!” kecam Wahyu.
“Kami bukan penjahat sepertimu. Putrimu tercinta itu masih aman. Kami tidak akan menggunakan Bella untuk memaksamu berbicara. Coba pikirkan lagi, ia akan tumbuh jadi gadis yang cantik tanpa mengenali siapa ayahnya. Semakin banyak kau mengungkap kejahatan, semakin cepat kau bertemu Bella lagi.” Seketika aku takjub dengan cara Pak Arman membuat Wahyu berbicara. Tidak kusangka ia bahkan sudah mengetahui kelemahan Wahyu yang bahkan tidak terpikirkan olehku. Wahyu kemudian menenangkan diri dan memilih untuk menyerah.
“Baiklah, begini ceritanya. Aku menerima permintaan pembunuhan dari situs webku sekitar sepuluh hari yang lalu. Pemesan memintaku membunuh seorang pria berusia 32 tahun yang tinggal di Apartemen Biru. Agar aksiku lancar, aku menyewa teknisi listrik supaya memajukan jadwal maintenance jaringan cctv. Itu memudahkan aku menyembunyikan bukti dari kalian. Aku mengintai Feri selama satu minggu untuk memastikan rencanaku akan berjalan lancar. Hari eksekusi pun tiba, ketika ia baru pulang bekerja dan lupa mengunci pintu, aku kemudian masuk dan mencekiknya. Ia tidak melawan sama sekali. Entah kenapa aku sangat beruntung karena ada tali yang tergeletak di lantai. Aku menggunakan tali itu untuk memalsukan kematiannya. Kemudian kemarin aku tertangkap, tamat.” Ia menceritakan perbuatan kejinya seperti sedang berdongeng.
“Berapa banyak Anda dibayar?”
“30 juta, beberapa kasus lebih bayarannya lebih tinggi lagi”
“Sudah berapa kali kau membunuh?” tanyaku penasaran.
“Hmm, tiga kali. Eh, empat kali jika ditambah Feri,” jawabnya menatap langit-langit sembari mengingat-ngingat.
“Siapa orang yang menyuruh Anda membunuh Feri?”
“Aku tidak tahu, pemesan selalu anonim. Akan lebih baik jika aku tidak tahu siapa yang menyuruhku dan siapa yang akan kubunuh.” Ia terdiam sejenak “Kalau kubantu cari pelakunya apakah aku bisa bertemu Bella sebelum dipenjara?”
“Iya, bisa saja.”
“Berikan aku laptop yang terhubung dengan deep web,” pintanya.
Aku segera mengambil sebuah laptop yang terhubung ke akses deep web. Dengan cekatan jari Wahyu menari di atas tombol yang menuntunnya membuka laman di mana pelakunya membuat pesanan. Aku dan Pak Arman berdiri di belakang Wahyu, mencegahnya melakukan hal-hal di luar dugaan kami.
“Ini formulir yang diisi pelaku. Aku menyediakan nomor telepon yang bisa dihubungi secara opsional, antisipasi jika aku perlu menanyakan beberapa hal.”
Di bawah kolom yang memuat ciri-ciri target, termuat 12 digit angka nomor telepon. “Dedi, coba periksa nomor ini di basis data”
Dengan laptop yang sama dengan yang digunakan Wahyu , aku menyalin nomor telepon itu dan mencarinya di basis data. Hasilnya membuatku mengerutkan dahi, kepalaku seperti dibanjiri rasa heran. Melihat reaksiku membuat Pak Arman dan Wahyu penasaran hingga ikut mengintip ke layar laptop di hadapanku. Reaksi Pak Arman tidak seperti dugaanku, setelah membaca nama pelakunya, ia hanya mundur selangkah lalu kembali ke kursinya. Kurasa Pak Arman sudah menduganya. Justru reaksi Wahyulah yang mengejutkan, wajahnya yang tadinya santai ikut terkejut keheranan.
“Apa? ini gila, jadi orang yang memintaku untuk membunuh adalah orang yang kubunuh. Kenapa ada orang sebodoh itu?”
“Jadi ini obat mahal tapi mujarab yang kau maksud, Feri?” Pak Arman tersenyum puas.
Penulis, Risman Amala Fitra
Mahasiswa Sastra Jepang Unhas
Angkatan 2019.