Sudah lama sekali Pia menarikku bersama jasad ibunya yang sudah kaku—nyaris membusuk. Lewat tengah malam, tapi Pia belum berhenti menyisir trotoar jalanan pinggiran kota yang sepi. Kaus merah muda lusuhnya telah basah terguyur keringat, kaki telanjangnya penuh guratan luka dan lebam. Aku tidak bisa melakukan apapun, bahkan untuk sekadar menenangkannya. Pia berhenti, berbalik menatap jasad ibunya penuh iba, “sebentar lagi kita sampai”. Itu sudah yang kesembilan kalinya ia katakan.
Tubuh kurus Pia kembali menarikku, sepasang roda tuaku berdecit, lengan kayuku seperti ingin copot setiap kali ia menariknya. Aku memang sudah tua, banyak hal sudah kulalui bersama Pia. Empat belas tahun lalu, ibunya melahirkan Pia di dalam bakku. Ibunya mengerang hebat, darah menetes hingga warna rodaku berubah merah. Sejak tangisan pertamanya di malam cerah itu, hingga ia sudah mampu menarikku dengan tangannya sendiri, aku selalu melihat Pia menderita. Setiap hari aku digandengnya menyusuri sudut kota, mengumpulkan botol atau kaleng yang sudah tak bertuan demi segenggam kepeng—untuk menyambung hidupnya dan hidup ibunya. Aku benar-benar menikmati saat-saat bersama Pia, aku senang bisa menemaninya selama ini.
Berbeda dengan perempuan paruh baya yang kini terbaring pulas di dalam bakku. Bagiku ia terlampau galak untuk menjadi seorang ibu. Sering sekali pipi Pia ditamparnya amat keras hingga Pia tersungkur ke tanah. Penyebabnya hanya karena sedikit rongsokan yang Pia kumpulkan, sehingga mereka harus berpuasa di keesokan harinya. Tapi Pia anak yang baik, luka lebam di pipi atau luka batin di hatinya sedikit pun tidak pernah berubah menjadi dendam.
Seekor anak kucing yang kelaparan melintas di hadapannya. Biasanya ia akan singgah sejenak untuk mengelusnya, tetapi kali ini kucing itu diabaikannya begitu saja. Tidak bisa lagi kuragukan betapa dalam rasa kehilangan yang melandanya.
Sebenarnya sikap keras ibunya bukan tanpa alasan. Setiap kali ia memarahi Pia, nama Pak Jagang tidak pernah lupa ia salahkan. Konon dia adalah konglomerat yang sudah membuat suaminya meninggal, sekaligus merampas rumah, sawah, dan ladang mereka tanpa sisa.
Kini ibunya sudah mati, mungkin karena terlalu sering marah-marah. Aku bahagia untuk kematiannya, kini ia tak lagi bisa mengukir lebam di kulit Pia. Namun, duka mendalam Pia membuatku berempati. Aku berharap tuhan memberiku mulut untuk berbicara agar setidaknya aku bisa menghiburnya.
“Pia, kamu jangan sedih lagi. Kamu tidak sendirian.”
Pia terkesiap.
***
Saya sangat sedih hari ini. Seandainya saya mengumpulkan lebih banyak kaleng, botol, atau seng, ibu pasti tidak akan marah. Tapi itu sudah terlambat, tadi pagi ibu marah besar sampai pingsan. Saat mau minta maaf, beliau sudah tidak bernapas lagi. Jika saya punya uang, mungkin saya bisa beli napas untuk ibu. Bapak pengepul yang pernah beli untuk anaknya bilang, harganya setara saya mengumpulkan 20 karung gelas plastik bekas. Seandainya saya bekerja lebih giat, mungkin ibu masih ada.
Sekarang saya sendirian, saya kesepian. Orang-orang tidak mau melihat saya. Biasanya kalau saya kesulitan selalu ada yang membantu, tapi sekarang tidak ada mau menolong, bahkan sekadar membagi segelas air. Mungkin tidak ada yang mau melihat ibu yang sudah berbau bangkai di gerobak.
Saya membawa jasad ibu naik gerobak kayu tua yang selalu saya bawa mencari rongsokan. Saat ingin membawa ibu ke permakaman, sebuah truk gandeng menabrak kami. Namun, saya masih bisa berjalan hingga sekarang, membawa ibu menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Perut saya sudah lapar sekali. Saya dan ibu belum makan sejak kemarin malam dan sekarang malam sudah lagi.
Ada seorang laki-laki dewasa berdiri di halte. Dandanannya rapi dengan setelan kemeja biru, ia memegang dua botol air. Saya bawa berobak ke tepi jalan, kemudian saya datangi laki-laki itu.
“Permisi, pak. Boleh saya minta sedikit airnya?” saya memelas.
Dia cuma menatap kosong ke arah jalanan terus menerus, sesekali mengelap air matanya. Saya baru sadar kalau dia sedang sedih, dia menahan isak dan mencoba tetap terlihat tegar.
“Boleh saya minta airnya, pak. Saya haus sekali.”
Mungkin dia tidak mau diganggu. Saya kembali menghampiri gerobak saya, berharap di perjalanan ada yang masih ada yang bersedia menolong.
“Hey, kau haus?” Saya menoleh.
“Iya, saya—”
“Iya, terima kasih. Aku sudah urus lahan permakaman istrimu. Tempatnya ada di seberang jembatan sana.” Laki-laki lain—yang sepertinya temannya tiba-tiba datang menunjuk searah dengan tempat yang saya tuju. Artinya saya tidak salah jalan.
Saya bergegas kembali menarik gerobak. Meskipun tidak dapat air, setidaknya sekarang saya tahu harus ke mana. Ibu akan beristirahat dengan tenang di sana.
***
Rasanya saya sudah berjalan jauh sekali, tapi saya tidak melihat jembatan yang dimaksud orang tadi. Saya seperti cuma berputar-putar di tempat yang sama. Barisan rumah yang saya lihat itu-itu saja. Apakah saya tersesat? Tapi dari tadi saya cuma berjalan lurus.
“Pia, kau jangan sedih lagi. Kau tidak sendirian.” Suara perempuan tua terdengar samar-samar, mungkinkah suara ibu?
”Ibu?” Ibu tidak bergerak sama sekali. Mungkin hanya cuma perasaan saya.
“Pia, apa kau mendengarku?” suara itu datang lagi. Saya berhenti, berbalik menatap gerobak itu dan memeriksa setiap sisinya, tidak ada apa-apa selain bau bangkai dari jasad ibu.
“Siapa kamu?”
“Aku gerobakmu”
“Itu tidak mungkin.”
Suara itu pasti tidak nyata. Mungkin saya cuma terlalu capek dan haus sampai berpikir aneh-aneh. Saya harus mengabaikannya dan tetap berjalan, ibu harus dimakamkan sebelum besok.
“Kita mau ke mana?”
“ Ke Permakaman.” saya masih saja tetap menjawab pertanyaannya.
“Kenapa tidak kau tinggalkan saja jasad itu? Apa bau busuknya tidak mengganggumu?”
“Jaga bicaramu, beliau ibu saya,” saya menjawabnya ketus.
“Tapi dia jahat, dia selalu menyakitimu.”
“Kamu berkata begitu karena tidak pernah punya seorang ibu.” Saya harap suara itu segera diam. Benar saja, dia diam, saya mungkin sudah menyakiti hatinya.
Rumah-rumah di tepi jalan semakin jarang, hanya tinggal satu atau dua rumah yang ada di sisi kiri dan kanan, lalu benar-benar hilang sama sekali. Hanya ada jalanan aspal hitam yang tidak kelihatan ujungnya. Padang rumput di sekeliling sudah berubah orange diterpa sinar fajar yang mulai menyingsing. Terlihat samar-samar di depan, sebuah jembatan dengan pagar besi di kedua sisinya. Cahaya fajar yang semakin tinggi membuat jembatan itu membias warna emas. Namun, tidak terlihat satu pun makam di seberangnya.
Kecewa tidak menemukan permakaman untuk ibu, saya seperti hilang kekuatan. Air mata saya mengalir meskipun saya sudah menahannya kuat-kuat. Saya ingin menatap ibu sekali lagi, tapi saya takut ibu akan marah kalau melihat saya menangis seperti ini. Luka di kaki saya semakin perih karena tertetesi air mata.
“Gerobak, kenapa kamu tidak bicara lagi. Apakah kamu juga marah? Saya minta maaf sudah membentakmu.”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti kau sedang sedih. Sekarang tidak perlu mencari permakaman lagi.”
“Kenapa?”
“Karena di dunia tempatmu menderita, kalian sudah dimakamkan.”