Pada sebuah ruang gelap di penghujung malam
Seorang perempuan malang terbaring meringkuk memeluk luka pada batinnya
Sebuah hujan mengalir mulus pada sepasang matanya yang kelelahan
Jatuh basah tak tertahan menembus alas kapuk peraduannya
Dengan tangan ia dekap isaknya
Tak ingin suara menyedihkan itu mencelos dari bibir pucat bergetarnya
Namun sayang seribu sayang, dekap tangan tak mampu menahan sesak yang kian menjadi di dadanya
Dinding kokoh di sekelilingnya menatap dengan iba, menjadi saksi untuk setiap malam pilunya
Dalam bayang-bayang bahagia masa lalu ia terperangkap
Sebab yang tersisa dari masa kini hanya sengsara yang terus menyeretnya tak berperasaan
Hatinya sudah tak lagi berbentuk
Lebam ia dikeroyok oleh pilu kenyataan
Berjuta tanda tanya pada Ia yang menjadikannya ada
Menuntut jawaban, juga berharap keadilan bisa menjadi haknya
Sebab serupa air dan racun tak berwarna
Baginya sedih dan bahagia tak lagi bisa dibedakan
Kemudian sebuah senyum kecut timbul di sela-sela tangisnya
Menepis harap yang terus jadi tumpuannya
Perempuan malang itu berusaha sadar untuk menerima
Bahwa mungkin ia memang ada untuk hidup dalam sedih tak berkesudahan
Penulis, Wafiq Azizah,
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas,
Angkatan 2020.
Baca juga: Hanya Rindu