Seorang wanita bertubuh gempal dengan mata berbinar mengamati barisan jam tangan mewah yang tersusun di etalase toko. Di antara jajaran jam tangan yang menguarkan kilaunya seakan menarik si pelihat untuk memilikinya, ada satu yang sejak tadi menarik perhatian wanita itu.
Dengan tali coklat gelap dan kepala jam silver yang entah terbuat dari bahan apa, sangat mengingatkan wanita itu pada suaminya, Ben. Hanya saja, label harga yang terpajang di sana menciutkan dirinya.
Wanita itu sekali lagi memutari etalase toko dengan harapan bisa menemukan jam tangan yang lebih murah. Tetapi, sekali lagi perhatiannya hanya tersedot pada jam tangan tadi.
“Hanya jam itu yang tampak sempurna di tangan Ben,” gumam lesu wanita yang biasa dipanggil Mia itu. Dia ingin menghadiahkan jam tangan itu pada suaminya sebagai perayaan pernikahan mereka yang ketiga.
“Apa ada yang bisa aku bantu?” seorang wanita muncul dengan topeng senyum yang terpasang di wajahnya. Mia tahu wanita itu memperhatikannya sejak tadi hanya berkeliling di sekitar etalase.
“Ah, tidak. Aku hanya melihat-lihat saja.”
Mia keluar dari toko itu tidak lama setelahnya. Dia berpikir dari mana harus mendapatkan uang sebelum sore hari suaminya pulang. Sebagai seorang penjahit di toko kecil, dia tidak punya banyak uang, bahkan uang untuk dia tabung pun nyaris tidak ada. Semuanya dipakai untuk kebutuhan sehari-harinya dan sang suami.
Begitu dia memasuki rumah kontrakan mungilnya, dia terdiam sebentar. Sebuah ide tiba-tiba terlintas di kepalanya. Buru-buru mengambil sebuah cincin emas di laci meja yang berada tepat di samping tempat tidur. Cincin itu adalah cincin yang pernah Ben berikan sewaktu mereka pacaran, namun sudah lama tidak dia pakai.
Cincin itu telah menjadi saksi atas perjalanan yang sudah Mia dan Ben lalui. Cincin itu bersama dengan hadirnya Ben telah memberi banyak kenangan bahagia bagi hidup Mia. Rasanya berat jika Mia harus menjualnya.
Tapi biar bagaimana pun, cincin itu tidaklah berarti apa-apa jika hanya disimpan di laci tua saja.
Mia membawa serta cincin itu untuk dijual di sebuah toko perhiasaan. Lalu dengan uang yang dia dapatkan, kemudian membeli jam tangan yang dia inginkan di toko tadi.
Mia pulang dengan rasa puas yang menggebu di dadanya setelah membeli jam tangan yang dia inginkan, namun terdapat rasa kehilangan jika mengingat cincinnya yang sudah dijual. Mia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya dengan pelan. Cincin itu memang berharga baginya, tapi alangkah lebih baik jika cincin itu mendapati orang baru yang bisa menggunakannya lebih baik darinya. Mia percaya semua benda yang ada di dunia ini mempunyai tujuannya masing-masing.
Dengan hati-hati, Mia menaruh kotak jam tangan di atas laci meja; menempati tempat kosong di mana cincin emas yang telah dia jual tadi berada.
***
Mia sudah selesai memasak makanan sederhana ketika dia mendengar suara langkah kaki suaminya dari balik pintu.
“Aku pulang, sayang,” sapa Ben begitu dia melihat Mia sedang menata makanan di satu-satunya meja yang bisa ditaruh di kontrakan mereka yang tidak luas.
“Langkah kakimu lebih dulu memberitahuku.” Mia tersenyum selebar yang dia bisa. “Sana ganti bajumu dulu baru makan.”
“Siap, Nyonya. Ini aku belikan ayam kalasan kesukaanmu,” Ben memberi kantong kresekkan yang dia pegang dan berbalik namun terhenti sedetik kemudian. “Ngomong-ngomong, kau tidak lupa hari ini hari apakan?”
“Tentu saja. Aku sudah siapkan sesuatu yang mungkin kau suka.”
Ben mengedipkan matanya dengan jenaka, “aku juga,’ katanya sebelum menghilang dari pandangan Mia.
***
“Jadi siapa terlebih dahulu yang ingin menyerahkan hadiahnya?” tanya Ben begitu dia datang ke dapur mengenakan kaos abu-abu polos dan celana olahraganya. Dia menarik satu-satunya kursi kosong yang ada di meja; satu kursi lain sudah diduduki Mia.
Makanan sederhana dari ayam kalasan dan sayur asem tersaji di meja makan. Namun, kata Ben, makanan akan menjadi lebih enak jika hati bahagia. Karena itu, sudah menjadi tradisi di antara mereka untuk berbagi hadiah terlebih dahulu sebelum menyantap makanan.
Mia berdehem, “aku dulu, deh.” Dia kemudian memberikan kotak hitam yang tadi dia ambil dari laci.
“Apa ini?” tanya Ben selagi dia mengambil kotak hitam yang disodorkan kepadanya.
Mia menunggu sampai Ben membuka hadiahnya, lalu berkata “sebulan terakhir ini, aku tidak pernah melihatmu memakai jam tangan. Aku pikir mungkin karena jammu sudah rusak, jadi aku membeli jam tangan baru buatmu.”
Mia menunggu respon dari Ben, namun laki-laki itu tidak mengucapkan apa-apa selain menatap pada jam bertali cokelat yang dia pegang. Hal itu lantas membuat Mia menjadi khawatir, “Apa kau tidak menyukai hadiahku?”
“Tidak, jam tangannya bagus, kok.” katanya sambil menggeleng. “Aku hanya tidak menyangka kau bakal memberiku ini. Karena aku sebenarnya menjual jam tanganku untuk memberimu ini.” Ben mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku celananya dan menyodorkannya pada Mia.
Betapa Mia merasa terharu melihat isi dari kotak itu adalah sebuah cincin silver dengan permata kecil indah menghiasi di tengahnya.
“Aku sudah lama berniat memberimu cincin ini. Ah, tidak, aku awalnya berniat melamarmu dengan cincin ini. Tapi baru sekarang uangku berhasil terkumpul. Aku minta maaf, baru bisa memberi sekarang.”
Mia menggeleng dengan haru yang mengisi dadanya. “Kau tahu, sayang? Aku membelikanmu jam tangan itu dengan menjual cincin lama yang kau berikan padaku tujuh tahun yang lalu. Tapi sekarang kau malah menghadiahkanku sebuah cincin baru.”
“Benarkah?” Ben melepaskan tawanya yang lega. “Syukurlah. Aku pikir sekarang kita seimbang.”
Mia mengangguk, memasang cincin permata itu di tangannya dengan bantuan Ben. Keyakinannya jika semua benda akan berpulang ke tujuannya masing-masing tidaklah pernah salah.
Penulis, Sitti Aisyah
Mahasiswa Sastra Inggris
Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Angkatan 2019.