/1
Aku hanya ingin bersemayam di pelupuk matamu
dengan secangkir teh yang kau seduh
dan tubuhku nan luruh memeram sendu
barangkali beribu harap ranum
pada goresan grafit di kertas putih tulang
lalu mimpimimpi terangsang untuk jatuh ke bumi
menyapa kekar dahan pohon beringin depan sekolah
yang diakarnya basah oleh air mata langit
sementara diteduhnya berlindung
semut hitam;
kucing liar;
seisi kelas;
aku dan kamu
pun kisah masyhur hari itu
manamungkin cukup ‘tuk imaji pagi buta
dan untuk suara parau—serta langkah yang terseokseok
pada kalimat serakah penuh senda gurau
tentang hidup berkemasan timah
yang katamu ingin kau rampas—dengan diamnya nafas
/2
Dua tahun hilang dan petang harikini kurindu sepetak tanah di pesisir
dahulu kau sebut tanah itu rumah
padahal disini amarahku bagai bom waktu
melembari setiap luka yang kau toreh dengan sengaja
dan siap meledak kapan saja
“lucu ya, atau justru dungu?”
‘pabila yang kuterka dua tahun lalu
di tangga barat kelas benar adanya
atau bisa jadi kali ini logikaku mati lagi
kalaukalau nalar macet dan sisi sentimental menyeruak
mengoyak jantung dan hati
benar sekali,
aku masih si bodoh yang sama
yang bertopeng cerdas padahal otaknya membeku
oleh dingin tutur dan perilakumu
/3
Kita bicara lagi
aneh bahwa kita bicara lagi
padahal aku menulis puisi dan kamu bangkai dalam sajakku
aku yang cinta sastra; maka kubuat kau abadi
jadi ratusan mahakarya penuh elegi
sebab lebih baik,
daripada menulis kisah usang yang bahkan bukan milikku
ataupun milikmu
walau kali ini nyaliku sudah surut; menjemput maut di dasar laut
katakan padaku,
masih adakah kini guna merapal doa?
sekumpulan mantera tanpa suara
arloji mati; tikus sekarat
dan tubuhku berkarat
bungkam tak beriak
cemas merebak; sakit memacak
aku. sudah. muak.
/4
Sekarang waktunya beritahu,
dimanakah sebenarnya dekapan janabijana?
yang kabarnya terselubung di tiap-tiap kata dan bahasa
pun di haribaan diksi yang penuh darah
mereka memaksaku untuk mengenggam erat rangup kenangan
dan mencari rasa di laut mati
selamat, kali ini aku kalah lagi
sebab di setiap huruf sajakku
ada rindu yang tersirat
menjelma jadi ajang angin; candu; dan dendam
yang mengirim perahuku
kembali berlabuh di dermagamu
dan tuan,
aku siap dimakamkan disini
sebab persemayaman terakhirku
mesti kamu.
Ayumi Akihira
Mahasiswa Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin