Beberapa waktu lalu warga net dikagumkan dengan fenomena yang terjadi di Ibu kota Indonesia. Postingan mengenai langit biru besih memenuhi halaman media sosial. Pasalnya Kota Jakarta yang dikenal dengan keadaan udara yang tidak sehat, kini mulai membaik. Dikutip dari KOMPAS.com, sebelumnya Jakarta menempati peringkat ke 11 dengan kualitas udara buruk dan polusi kota, kini masuk kategori kualitas udara sedang dan menempati posisi ke 13 di antara kota besar di dunia.
Banyak yang beranggapan, ini dampak positif dari mewabahnya Covid-19. Hadirnya Covid-19 membuat sejumlah wilayah harus menerapkan Pembatasan Sosial Beskala Besar sebagai upaya menghambat laju penularan. Langkah ini memaksa masyarakat untuk lebih banyak dirumah dan menghindari keramaian. Beberapa perusahaan pun menerapkan bekerja dari rumah, tempat hiburan dan sekolah ditutup sehingga menyebabakan laju tranportasi pun menurun. Hal ini lah yang menjadi salah satu faktor membaiknya kualitas udara menurut nationalgeographic.grid.id.
Dilansir dari Manuel, Marie dan Luis (2020) mencatat, penurunan penggunaan transportasi telah menyebabkan pengurangan kebisingan, serta adanya jarak sosial menyebabkan banyak pantai di seluruh dunia menjadi bersih. Melihat kondisi tersebut, lantas bagaimana tanggapan aktivis lingkungan? Berikut Wawancara Khusus Reporter Identitas, Santi Kartini bersama Idham Malik, Pekerja Konservasi Lingkungan di WWF.
Bagaimana tanggapan Anda mengenai kondisi lingkungan di tengah pandemi?
Pandangan umumnya memang sejak Covid-19 hadir terjadi perbaikan kualitas air dan udara. Penyebabnya karena kita kebanyakan di rumah, sehingga laju transportasi menurun. Namun, ada pendapat yang menunjukkan dampak lain, seperti yang terjadi di sektor perikanan. Jadi sejak pandemi pengawasan di perairan terbatas, banyak pengawas laut tidak berdinas atau turun lapangan, sehingga berefek pada terjadinya penangkapan ikan ilegal secara besar-besaran di sepanjang laut Sulawesi Selatan (Sulsel), hal ini juga dirasakan oleh hampir semua negara. Selain itu pembius, pengambil karang, penebangan hutan mangrove juga marak dilakukan. Di Sulsel ada dua daerah penebangan hutan mangrove, pertama di Kecamatan Lantebung sekitar 200 meter dan tiga hektar di Tekolambua, Kabupaten Pangkep.
Siapa pelaku penebangan hutan mangrove?
Para perusahaan yang ingin melakukan peluasan daerah kerja. Orang-orang masih berkonsentrasi terhadap kesehatan masing-masing jadi pelaku lingkungan semakin bereaksi. Di tingkat nasional, pada 20 Mei 2020 telah disahkan UU Mineral dan Batu Bara (Minerba) tanpa sepengetahuan konsultan masyarakat umum atau ke Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Apa yang akan terjadi jika UU tersebut di sahkan?
Konsekuensinya sangat besar. Karena perusahaan akan dengan mudahnya mendapatkan izin dari pemerintah untuk mengekploitasi alam. Jadi regulasi yang menghambat perizinan tambang itu di permudah. Baru-baru juga keluar UU penghapusan pelarangan alat tangkap yang dilarang seperti cantrang. Jadi semasa Covid-19, orang-orang justru semakin berpeluang merusak lingkungan dan menangkap ikan secara besar-besaran.
Sebagai pengiat lingkungan, apa yang Anda lakukan setelah mendengar kabar tersebut? Seberapa penting hutan mengrove sehingga menjadi perhatian?
Setelah terjadi penebangan, teman-teman LSM ramai melakukan advokasi. Dibangun tim untuk menindaklajuti kasus ini ke rana hukum dan sudah masuk ke tahap penilaian. Aksi ini juga di dukung oleh Walikota. Saya memang lebih sering melakukan penanaman pohon mangrove, dalam satu kegiatan bisa melibatkan ratusan orang.
Berdasarkan hasil penelitian, mangrove bisa menyerap karbon dioksida sampai lima kali dibandingkan dengan tumbuhan di hutan. Hutan mangrove dapat membantu menetralisir udara kotor dan meminimalisir perubahan iklim, jadi besar sekali kontribusinya. Mangrove yang ada di Indonesia berkotribusi sekitar 25% terhadap bumi.
Dengan fungsi yang begitu besar, apakah dengan melakukan penanaman mangrove bisa mengatasi polutan yang akan terjadi pasca pandemi?
Mangrove memiliki proses pertumbuhan yang cukup lama, bisa stabil di atas 10 Tahun. Itupun masih banyak tantanganya, pohon mangrove tidak semua bisa tumbuh, salah satu pengaruhnya substrat. Mungkin sekitar 30-50% yang hidup.
Jadi kalau misalnya ingin merubah ini kita harus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa pasca pandemi laju konsumsi harus di turunkan. Artinya tidak boleh sama dengan sebelum pandemi. Kita harus ada upaya keras agar konsumsinya menurun. Tapi konsekuensinya di ekonimi. Mau tidak mau, kalau laju konsumsinya menurun maka laju perekonimian juga menurun.
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh LSM dan aktivis lingkungan lainnya?
Disituasi seperti ini bisa menjadi peluang besar untuk teman lingkungan menawarkan kebijakan pro lingkungan ke pemerintah. Ini penting, isu-isu lingkungan harus digalakkan lagi. Karena diyakini, hadirnya corona dampak dari kerusakan lingkungan, penebangan hutan, kegiatan agrikultur dan pertanian besar-besaran. Kemudian kita juga harus mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Sekarang tercatat, ada 200 perusahaan yang mendapatkan izin melakukan penebangan hutan.
Itu yang terjadi di sektor perairan, bagaimana dengan aktivitas di situasai kenormalan baru ini?
Yang terjadi adalah sampah rumah tangga semakin meningkat. Ketika di rumah dan memesan makanan online dengan pembungkus berbahan plastik, maka otomatis terjadi peningkatan limbah plastik. Kemudian, disituasi ini juga masker dan sarung tangan menjadi kebutuhan utama, sehingga banyak menghasilkan limbah medis. Bayangkan saja masker yang digunakan oleh tim medis itu dua sampai tiga perhari belum lagi masyarakat umum. Walaupun terbuat dari serat ketika sampah ini tidak dikelolah dengan baik, maka akan berdampak pada lingkungan. Karena masa terurainya lama, bisa ratusan tahun.
Diperkirakan juga, pasca pandemi akan terjadi lonjakkan permintaan. Logikanya mengejar kembali produktivitas dan ketinggalan ekonomi, sehingga pabrik-pabrik akan beroperasi berkali lipat, kerusakan udara terjadi lagi. Jadi tidak akan mengubah kebiasaan lama, tapi kebiasaan lama akan meralela.
Jadi harapanya, disituasi ini kita bisa hidup hemat dengan berkomunikasi jarak jauh tanpa harus ketemu langsung yang berdampak pada laju transportasi. Kemudian, pemerintah bisa membatasi ekploitasi alam atau me-lock down perusahaan tambak yang merusak lingkungan.