Dalam beberapa tahun terakhir, angka kekerasan seksual terus mengalami peningkatan. Dikutip dari media suara.com, Konsultan Isu Gender, Tunggal Pawestri dalam diskusi pada Februari 2021, mengungkapkan kekerasan berbasis gender meningkat sampai 63% dan kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) naik hampir 300%.
Maraknya teknologi informasi, khususnya media sosial menjadi salah satu penyebabnya. Tidak hanya memberikan pengaruh yang baik, tapi juga dibarengi oleh dampak negatif.
Akun tak resmi yang membawa nama institusi perguruan tinggi salah satunya, atau dikenal dengan akun ‘Kampus Cantik’. Postingan gambar ‘cantik’ tanpa sepengetahuan pemilik akun dapat mengacu pada pelanggaran privasi. Kriteria cantiknya pun hanya berdasar pada standar admin akun tersebut. Hal ini kemudian berdampak pada asumsi tak berdasar kepada pemilik akun, komentar bernada pornograpi, serta teror pesan.
Dengan demikian, KBGO dapat diartikan sebagai bentuk kekerasan yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang menyerang seksualitas atau gender dengan menjadikan internet sebagai medianya.
Dilansir dari tirto.id, adapun beberapa tindakan yang termasuk dalam KBGO yakni penyalahgunaan data pribadi, pelanggaran privasi, distribusi foto dan video pribadi, pencemaran nama baik, peretasan, konten illegal, fetisiasi, pelecehan dan penghinaan secara online, ancaman kekerasan secara online, perdagangan wanita online.
Namun sering kali, kekerasan berbasis online seperti ini masih dianggap hal biasa saja. Jarang orang mengetahui, tindakan ini dapat mengakibatkan bahaya atau penderitaan fisik, mental, seksual, ancaman, paksaan, dan penghapusan kemerdekaan.
Berdasarkan wawancara dosen Sosiologi Unhas, Dr Nuvida Raf S Sos MA, mengatakan secara sosiologis, dampak yang ditimbulkan oleh KGBO, khususnya postingan gambar tanpa izin kepada pemilik akun dapat membuat traumatis.
“Traumatis bisa timbul kalau sudah ada gangguan dari pihak lain yang ingin mengenal orang itu. Ini berpotensi mengganggu kenyamanan pribadi. Lama tidaknya traumatis bergantung pada orangnya, tapi bisa dipastikan perubahan kehidupannya terjadi begitu cepat akan meninggalkan trauma,” tulisnya melalui pesan Whatsapp, Rabu (14/09).
Tak hanya itu, menurutnya, hal ini dapat berpengaruh pada tidak nyamannya orang itu untuk berinteraksi, “secara sosial, maka sama dengan membunuh sisi kemanusiaannya yang tentunya membutuhkan orang lain,” tambah Nuvida.
Jika hal ini terus terjadi, kekerasan berbasis online dapat meningkat ke arah yang lebih serius. Ini kemudian dikenal dengan Rape Culture atau budaya pemerkosaan. Budaya ini seakan yang menormalisasi dan mewajarkan tindak pelecehan ataupun kekerasan seksual.
Dalam Rape Culture digambarkan sebagai segitiga piramida, disebut beberapa tingkat serangan penyalahgunaan atau kekerasan seksual, yakni victimization (korban), degradation (degradasi), autonomy (otonomi), dan explicit violence (kekerasan). Kemudian, kasus kampus cantik ini telah berada pada tingkat serangan kedua atau disebut degradasi, termasuk diantaranya cat calling, menguntit, memposting tanpa izin, dan masih banyak lagi.
Bahayanya, Rape Culture dapat berpotensi menjadi kebiasaan di masyarakat. Bungkamnya orang yang dirugikan mengakibatkan makin banyak pelaku yang jadi pemangsa.
Objektivitas KGBO ini didominasi terhadap perempuan. Hal ini berkaitan dengan hegemoni patriarki yang menganggap wujud kekuasaan hanya menjamin pada posisi laki-laki. Dengan kata lain, perempuan adalah objek yang layak dinikmati laki-laki.
“Nilai patriarki secara struktur menempatkan perempuan sebagai makhluk kedua, lalu efeknya meluas dalam hal lain. Stereotip perempuan itu lemah membuat sekitar kita memperlakukan perempuan itu lebih cocok jadi objek penderita,” jelasnya.
Hal ini mendasari karena kurangnya kesadaran dan rendahnya edukasi masyarakat, sehingga perlu adanya langkah pencegahan untuk melindungi privasi diri di dunia maya. Ini penting agar tidak disalahgunakan pihak yang tidak bertanggungjawab. Tidak menutup kemungkinan, orang terdekat juga dapat menjadi orang dirugikan selanjutnya jika sistem ini tidak diperbaiki.
“Data pribadi itu sangat individual, di sekitar kita belum diajarkan secara komprehensif, terlebih budaya kita adalah budaya kolektif,” imbuh Nuvida.
Tim liputan
Nur Ainun Afiah
Ilham Anwar
Achmad Ghiffary M
Nirwan