Dulu penolakan terbentuknya lembaga mahasiswa tingkat universitas lantaran tak ada pengakuan dari kampus. Kini, secara konstitusi, lembaga itu memiliki legitimasi. Namun, segelintir mahasiswa masih saja menolak.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Keluarga Mahasiswa (Kema) Unhas, Yayan Juherman resah. Tiga kotak suara dan berita acara berisi kesepakatan ketiga kandidat presiden dan wakilnya dirampas oleh oknum tertentu. Oknum itu mengatasnamakan Aksi Solidaritas Mahasiswa. Akibatnya, pemilihan ketua lembaga tingkat universitas alot hingga tak melahirkan nahkoda baru.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 2008 lalu. Kala itu, penolakan dari berbagai fakultas kerap terjadi lantaran Kema Unhas tak mendapat pengakuan dari birokrasi kampus. Selain itu, mereka khawatir perwakilan mahasiswa di Kema tak dapat mewakili seluruh aspirasi mahasiswa di Unhas.
Sepuluh tahun berlalu, pembentukan lembaga tingkat universitas menjadi perbincangan hangat lagi. Hal ini sejalan dengan perubahan status Unhas dari Badan Layanan Umum (BLU) menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).
Sejak status itu berubah setahun lalu, kebutuhan adanya lembaga mahasiswa tingkat universitas tampaknya bukan lagi dari mahasiswa tapi birokrasi kampus. Pemangku jabatan universitas membutuhkan perwakilan mahasiswa di Majelis Wali Amanat (MWA). Perwakilan itu dapat berasal dari ketua lembaga tingkat universitas.
Hingga wacana ini bergulir sejak sebelum PTN BH sampai sekarang. Pembentukan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas masih saja alot. Pimpinan lembaga di fakultas memiliki pendapat beragam. Ada pro dan juga kontra. Ada pula pro dengan syarat tertentu.
Misal, Ketua Keluarga Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (Kema FIB), Adnan Arifin secara tegas menolak pembentukan BEM U. Ia khawatir bila lembaga itu terbentuk, mahasiswa mudah terprovokasi oleh birokrasi. Selain itu, tambah Adnan, perwakilan mahasiswa yang juga ketua BEM U di MWA tak dapat mewakili suara seluruh mahasiswa.
“Kami tidak ingin terikat dengan birokrasi. Toh, kalau misalnya ada suatu kebijakan yang perlu didiskusikan, aliansi unhas bersatu sudah mewadahi para BEM di fakultas. Dan, kita dapat membuat pergerakan dari hasil diskusi,” tambahnya.
Begitu pula dengan ketua BEM Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fandy Dusia. Meski, tidak secara terang mengatakan menolak. Namun, berbagai kekhawatiran masih berkecamuk dalam dirinya.
Fandy mengatakan, BEM U bisa saja terbentuk bila semua pimpinan mahasiswa di fakultas sepakat. Namun, menurutnya kini, pembentukan lembaga tingkat universitas itu tak terlalu penting. “Kita sudah merasa cukup dengan adanya aliansi. Perkumpulan itu mewadahi forum untuk berkumpul seraya berdiskusi. Saya kira semua BEM sudah cukup dengan adanya itu,” jelasnya.
Bila dulu, tambah Fandy, mahasiswa menginisiasi terbentuknya lembaga mahasiswa tingkat universitas namun ada penolakan lantaran tak diakui secara hukum. Kini, berbalik, pihak birokrasi yang sangat menginginkan itu.
“Mahasiswa ingin bila BEM U terbentuk atas inisiasi mereka. Tapi, bila melihat situasi sekarang, birokrasi yang mau adanya lembaga ini. Sehingga, ketika terbentuk, pasti sudah ada campur tangan mereka,” tambah Fandy.
Memang pembentukan BEM U ini tak semua mahasiswa menolak. Seperti, ketua BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat, Aryangga Pratama. Ia setuju adanya wadah mahasiswa yang memiliki keabsahan atau legitimisi. Kini, tentu wadah itu berupa lembaga tingkat universitas yang entah apapun namanya.
“Selama ini, kita selalu bawa atas nama fakultas, itu tidak memberikan legitimasi yang jelas. Contoh konkretnya adalah beberapa dekade terakhir kita menolak PTN BH. Berapa kali kita aksi, menolak PTN BH, tidak pernah goal,” ungkapnya.
Itu membuktikan, kata Aryangga, selama ini pergerakan mahasiswa hanya dalam ranah regional fakultas. Padahal, bila ada lembaga mahasiswa tingkat universitas yang diakui, maka adanya kesempatan untuk membicarakan kebijakan atau persoalan lingkup Unhas maupun nasional. Dan, hasilnya akan lebih diakui.
Lebih lanjut, mahasiswa FKM angkatan 2015 ini mengungkapkan, melihat situasi sekarang, bila ingin mengubah suatu kebijakan, saatnya mahasiswa masuk dalam sistem. Adapun soal aliansi Unhas bersatu. Ia mengakui, ada beberapa fakultas yang keluar dari perhimpunan itu.
“Dulu pernah mau bentuk komite mahasiswa, tapi ada beberapa mahasiswa yang belum menyepakati komite mahasiswa. Pertanyaannya kemudian, di mana wadah pemersatu kita yang bisa mewadahi dan membawa nama Unhas,” lanjutnya.
Ia pun menepis bahwa adanya BEM U bukan karena tuntutan PTN BH. Melainkan, lantaran kebutuhan mahasiswa sekarang. Melihat, pergerakan mahasiswa yang tidak jelas.
“Kita tidak bisa menganggap birokrasi adalah lawan. Tapi, sebagai mitra, dan harus bersinergi. Bersinergi capai tujuan perguruan tinggi. Namun, bukan berarti kita harus dikomandoi,” tambahnya.
Berdasarkan penelusuran reporter identitas Unhas. BEM yang juga masih kontra ialah Fakultas Pertanian, dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Sementara, Senat Fakultas Teknik, dan BEM Hukum sudah setuju dengan adanya lembaga tingkat universitas.
Adanya perbedaan pendapat ini, Wakil Rektor bidang Kemahasiswaan dan Alumni, Prof Dr drg A Arsunan Arsin MKes melihatnya sesuatu yang wajar. Bahkan, keberagaman ini membuatnya perlu mengadakan diskusi dengan mahasiswa, baik setuju, tidak setuju, maupun yang ragu-ragu.
“Tidak ada masalah ada pro, kontra, ragu-ragu. Itu namayan dialektika. Itu perbedaan yang harus dihargai. Perbedaan pendapat kan penting karena itu mendukung solusi yang lebih baik. Kita mencari titik komunikasi, ruang diskusi dengan pimpinan lembaga mahasiswa,” Kata Cunank, begitu ia biasa disapa.
Dalam diskusi, lanjut Cunank, para BEM fakultas dapat mengutarakan kekhawatiran-khawatiran akan adanya BEM U. Begitu pula dengan pihak birokrasi, akan menyampaikan manfaat lembaga mahasiswa tingkat universitas dan kekurangannya bila tidak ada.
“Hadirnya perwakilan mahasiswa dalam MWA memiliki banyak manfaat. Ia bisa ikut andil dalam menentukan kebutuhan anggaran kemahasiswaan. Bisa menyuarakan aspirasi seluruh mahasiswa,” terangnya.
Bila tidak ada perwakilan, tambahnya, tidak akan ada yang dapat menyuarakan itu.
“Jadi, tidak elok juga mahasiswa selalu protes mengenai anggaraan atau soal kebijakan kalau mereka sendiri tidak mau terlibat di dalamnya, padahal sudah disediakan tempat. MWA adalah penentu kebijakan tertinggi di universitas ini,” katanya.
Lebih lanjut, ia pun mengatakan bahwa lembaga mahasiswa tingkat universitas ini bukan lagi suatu wacana, namun keniscayaan.
“Semampunya dilakukan pendekatan. Tapi, tentu ada batas waktu. Mungkin, satu hingga tiga bulan ke depan lembaga mahasiswa tingkat universitas sudah terbentuk. Kalau ada yang menolak, kita sudah mengoptimalkan lewat diskusi dan memediasi. Persoalan beda pendapat, itu wajar,” tutupnya.
Sri Hadriana dan Urwatul Wutsqaa