Himpunan Mahasiswa Pascasarjana Indonesia (HMPI) Sulsel mengadakan webinar nasional bertemakan “Kebijakan Pemerintah Terhadap Guru dan Tenaga Kependidikan” melalui Zoom, Sabtu (9/1). Kegiatan ini merespon kebijakan pengangkatan guru dan tenaga kependidikan (tendik) yang tidak lagi melalui jalur Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Pada pelaksanaannya, webinar tersebut dihadiri oleh Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Drs H Andi Muawiyah Ramli MSi, Dekan Pascasarjana Unhas, Prof Dr Ir Jamaluddin Jompa M Sc, dan Wakil Sekretaris Jendral Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI), Dr Jejen Musfah MA.
Pada kesempatannya, Muawiyah menganggap kebijakan itu sebagai tragedi. “Pada sistem pendidikan nasional, semua aturan membutuhkan konsistensi para pengambil kebijakan. Jika tidak, akan menyalahi undang-undang (UU)”, ungkapnya.
Ia melanjutkan, guru harus punya tiga kejelasan dalam bertugas. “Kejelasan mengenai status, kesejahteraan, dan jaminan sosial sesuai UU. Jika ketiganya tidak terpenuhi, sama halnya negara tidak hadir,” papar Muawiyah.
Menurutnya, kebijakan ini semakin menampilkan ketidakhadiran negara. “Impilkasinya sudah banyak sekali, salah satunya guru akan kehilangan minat. Tidak hanya perihal ketiga poin sebelumnya, pun harkat, martabat, dan kebanggaan menjadi guru,” tegas Muawiyah.
Lebih lanjut, pemateri kedua, Jamaluddin menanggapi kebijakan sebagai pihak netral. Sesuai data, status guru perlu dikaji secara mendalam sehingga pemerintah tidak membuat keputusan salah.
“Menurut saya, pemerintah memilih skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) karena ketidakseimbangan distribusi sumber daya manusia (SDM), terlebih di daerah terpencil yang sering kekurangan guru,” terang Jamaluddin.
Kemudian, ia berharap adanya aturan lain. “Solusinya memang harus ada aturan khusus, tidak harus PPPK. Meskipun jika itu nantinya terjadi, mudah-mudahan hanya dalam jangka pendek,” ujar Jamaluddin.
Di sisi lain, Indonesia pun harus menyiapkan guru-guru yang lebih handal dan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Menurut Jamaluddin, tantangan mengajar di abad 21 cukup menantang.
“Di abad 21, guru atau dosen tidak boleh sekedar memberi teori dan materi seperti biasa. Kini siswa sudah terbiasa dengan internet, jika kualitas guru tidak diperbaiki, akan menjadi hambatan,” tutur Jamaluddin.
Berbeda halnya dengan pemateri sebelumnya, Jejen sebagai pemateri terakhir beranggapan, kebijakan itu adalah diskriminatif terhadap guru. Ia bahkan mengatakan, diskriminasi ini sudah berlaku sejak Keputusan Presiden 17 tahun 2019 mengenai batasan umur 40 tahun bagi pelamar CPNS 40 tahun dengan enam jabatan, yaitu dokter, dokter gigi, dokter pendidik klinis, dosen, peneliti, dan perekayasa.
“Saya menyayangkan pemerintah tidak mencantumkan guru di kategori itu. Saat ini, pemerintah seolah tidak memandang guru sebagai profesi yang vital bagi pembangunan bangsa,” tegas Jejen.
Ia menambahkan, meski belum terbukti minat guru akan menurun dengan dihilangkannya jalur perekrutan CPNS, guru PPPK rawan pemecatan karena statusnya akan diperbaharui setiap jangka waktu tertentu. Dengan masa kerja paling singkat setahun, guru PPPK dapat diperpanjang sesuai dengan kebutuhan instansi, pencapaian kinerja, dan kesesuaian kompetensi. Hal itu bertolak belakang dengan aturan pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang cenderung sulit dan memerlukan waktu lama.
Menutup webinar, Jejen mengatakan pentingnya posisi guru. “Guru adalah kunci kemajuan bangsa, mengapa profesi guru tidak bisa menjadi PNS kalau yang lainnya bisa? Alasan pemerintah tentang status guru ke depan sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) PPPK tidak cukup dan perlu dikaji ulang,” tutupnya.
M113
BACA JUGA: 54 Calon Dosen Non PNS Unhas Ikuti Seleksi Daring