Tahukah anda, mengapa aula ikon utama di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas diberi nama Prof Mattulada? Itu karena Prof Mattulada adalah mahasiswa pertamanya. Ia juga ikut merintis berdirinya Fakultas Sastra, yang kini dikenal dengan sebutan Fakultas Ilmu Budaya. Dua tahun setelah kelulusannya, Ketua Senat Akademik tahun 1990 ini juga menjabat sebagai Dekan FIB.
Cendekiawan asal Bulukumba ini bahkan disebutkan sebagai sosok penting dari latar belakang berdirinya Unhas, sejak kepemimpinan Oom No (Arnold Mononutu), ia ikut menghadap presiden Republik Indonesia, yang saat itu masih Soekarno untuk mendesak berdirinya sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Makassar. Namun, karena sang presiden saat itu sedang ke Sumatera, ia hanya bertemu dengan Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI.
Saat itu Hatta menuturkan bahwa pemerintah memang berencana untuk mendirikan sebuah PTN di Makassar. Ketika mendapat tanggapan demikian, Mattulada langsung menghadap Gubernur Sulawesi Selatan, yang waktu itu dijabat Andi Pangerang Pettarani untuk membicarakan hasil pertemuannya dengan Hatta.
Di awal tahun 1956, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), yang waktu itu Bahder Djohan berkunjung ke Makassar. Saat sedang berada di Tamalanrea, Mattulada bersama kawan-kawannya ‘menghentikan’ mobil yang ditumpangi menteri dan beberapa tokoh pendidikan saat itu. Keperluannya tak lain hanya mendesak Mendikbud untuk membangun PTN di Makassar. Bahder hanya mengangguk-angguk dan meminta Mattulada dan temannya bersabar. Tak puas dengan ucapan lisan, Mattulada menyodorkan kertas putih sambil meminta Bahder membuat surat tanda setuju. Setelah Bahder menuruti keinginan para pemuda itu, barulah mobilnya dilepas pergi.
Tak berselang lama, datanglah Soekarno di kantor gubernur untuk menyatakan pendirian PTN dan menamainya Universitas Hasanuddin. Beberapa bulan kemudian, Mohammad Hatta datang meresmikannya.
Selain menjadi sosok di balik berdirianya Unhas, Prof Mattulada juga pernah menjabat sebagai ketua guru besar Unhas dan Rektor Universitas Tadulako. Ia juga pernah dinobatkan sebagai cendekiawan dan tokoh sastra nasional karena karya-karya besarnya.
Dua buku karyanya yang mendunia yaitu “Latoa, Sebuah Deskripsi Analitik Antropologi Politik Bugis” dan “Mencari Bugis di Asia Tenggara.” Karya-karya ilmiah Mattulada lainnya, yaitu: The Spread of the Buginese in Southeast Asia (1973), Kebudayaan Bugis-Makassar, dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (editor Koentjaraningrat -1977), Pedang dan Sempoa (Sejarah Kebudayaan dan Perasaan Kepribadian orang Jepang-1981), Menyusuri Jejak Kehadiran Makassar dalam Sejarah (1990), To-Kaili, Manusia dan Kebudayaan di Sulawesi Tengah (1991), dan Human Ecology (1993).
Sebahagian hidup cendekiawan kelahiran Bulukumba 15 November 1928 ini digunakan untuk mengajar, melakukan penelitian dan mengembangkan minatnya seninya. Ia juga dikenal sebagai salah satu budayawan yang pernah mengangkat pamor Dewan Kesenian Makassar (DKM) sekaligus menjabat ketua DKM.
Dalam perjalanan hidupnya, Ia sempat mengalami masa-masa pahitnya revolusi. Andai saja kepala polisi saat itu, La Tippa saat tidak berkunjung ke penjara Bulukumba, barangkali kita tak kenal lagi Mattulada. Namanya hampir saja tercatat dalam daftar 40.000 pejuang Sulsel yang menjadi korban pembantaian Westerling –tentara bayaran belanda yang bengis itu.
“Nasib saya memang sedang ‘baik’ waktu itu,” tutur Prof Dr Mattulada saat diwawancarai Harian Kompas dalam terbitan Jumat, 18 Februari 1994 Halaman 20.
Setelah perjuangan melawan belanda mereda, ia kembali ke sekolah dengan aktif di dinas sekuriti (PAM) Kepolisian RI. Tahun 1956, setelah memperoleh akte B1 ilmu hukum ia menjadi guru SMA.
Kepala sekolah Pangkerego saat itu mengetahui bahwa Mattulada pernah menjadi pelajar TNI, maka ia menugaskan Mattulada ‘mengamankan’ anak-anak sekolah menaruh pistol di meja belajarnya atau mengamankan senjata selagi guru sedang mengajar. Mattulada sukses mengstabilkan sekolah. Ia pun dipercaya menjadi kepala sekolah pertama SMA III selama lima tahun, 1956-1961, lalu kepala SMA Negeri 1 1961-1966.
Mattulada -yang artinya Penyambung Adat– di hari tuanya lebih banyak di rumah, membaca buku, menulis sambil ditemani istrinya, A Ressang. Putri tunggalnya, Drg Indria Kirana. Kebiasaan Mattulada semasa hidupnya adalah berpuasa setiap Senin-Kamis.
Sejarawan, antropolog, budayawan dan sastrawan itu meninggal dunia pada 12 Oktober 2000. Aula Mattulada di Fakultas Sastra Unhas dan Perpustakaan Mattulada di Gedung Rektorat Unhas Makassar adalah salah satu cara mengabadikan namanya.
Reporter: Ayu Lestari