Eceng gondok merupakan tumbuhan air yang bernama latin Eichhornia crassipes, tanaman yang dapat ditemukan di danau, rawa, atau pun sungai. Tanaman ini memiliki tinggi rata-rata 40-80 cm. Eceng gondok pertama kali ditemukan oleh Carl Friedrich Philipp von Martius pada saat ekspedisinya di Sungai Amazon, Brazil pada 1824 Masehi.
Pertumbuhan eceng gondok relatif sangat cepat. Penyebabnya media tumbuh dari air yang mengandung nutrien cukup tinggi, terutama nitrogen, fosfat, dan potassium. Tumbuhan ini biasanya dapat ditemukan tidak jauh dari perkotaan seperti drainase dan kanal-kanal.
Pertumbuhan eceng gondok di sistem saluran air perkotaan sering kali mengakibatkan tumpukan sampah hingga mengurangi estetika lingkungan kota. Jika masyarakat terus membiarkan eceng gondok tumbuh dan berkembang, maka eceng gondok dapat merusak lingkungan perairan. Melimpahnya eceng gondok, justru menjadi ide bagi beberapa orang untuk memanfaatkanya.
Seperti pengabdian Syamsinar, Juslina, Abbas, dan Ade Firna yang merupakan mahasiswa Program Studi S1 Kehutanan Fakultas Kehutanan Unhas. Mereka berpikir cara memanfaatkan eceng gondok dengan membuatnya menjadi kerajinan tangan.
Pelaksanaan pengabdian dengan judul “Peran Ekonomi Kreatif dalam Meningkatkan Pendapatan Pengrajin Tumbuhan Eceng Gondok,” yang dilakukan di BTP Blok M Kecamatan Tamalanrea, Kota Makassar pada tanggal 23 Mei 2021.
Saat ini, wilayah Tamalanrea telah berkembang menjadi kawasan permukiman di Kota Makassar. Tidak hanya pemukiman, terdapat pula beberapa area yang menjadi tempat penampuangan air untuk menjadi kawasan resapan air pada saat musim hujan. Pada area itu, tumbuh tanaman eceng gondok yang menghasilkan pundi-pundi rupiah.
“Eceng gondok dapat dimanfaatkan dan mampu memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat serta dapat mengurangi tingkat pengangguran,” ujar Syamsinar Selasa (24/8).
Di bawah bimbingan Dr Ir Siti Halimah Larekeng SP MP pengabdian ini berhasil meraih pendanaan dari Program Riset Penelitian dan Pengabdian Mahasiswa Fakultas Kehutanan Unhas. Bukan hanya tentang pemanfaatan eceng gondok, tetapi juga upaya untuk meningkatkan kemandirian perempuan di wilayah tersebut. Para pengrajin dapat menjual produk berbahan dasar eceng gondok dengan kisaran harga yang relatif baik.
“Kisaran harga produk antara 50 sampai 80 ribu rupiah tergantung produknya seperti tempat tisu, keranjang, alas gelas, dan sebagainya”, jelas Syamsinar.
Mula-mula Syamsinar dan tim melakukan bimbingan pelatihan terkait tahapan-tahapan pembuatan kerajinan eceng gondok. Tahapan pembuatan olahan, pertama pengambilan eceng gondok, pembersihan, pencucian, pemilahan antara batang dan daun, barulah kemudian penjemuran. Setelah kering, para pengrajin perlu untuk menganyam terlebih dahulu sebelum melakukan proses pembuatan pola. Tahap terakhir berupa penyelesaian produk dengan memberikan warna menggunakan minyak cat atau pernis agar tampak lebih indah.
Menurut mahasiswa angkatan 2018 ini, masyarakat belum mampu membuat pola kerajinan sendiri. “Untuk tahap awalnya penyuluh yang mengajarkan masyarakat membuat pola kerajinan,” katanya.
Masyarakat yang berada di wilayah tersebut, sangat antusias mengikuti pelatihan itu. Selain teknik pembuatan kerajinan eceng gondok, tim juga memberikan ide-ide kreatif kepada masyarakat mengenai teknik pemasaran produk olahan eceng gondok sehingga bernilai jual tinggi.
Syamsinar berharap, semoga ke depannya pengrajin eceng gondok semakin kreatif, dan semakin banya ide-ide yang muncul untuk dipasarkan serta semakin banyak peminat kerajinan eceng gondok.
Muhammad Akram