Ah,
Dan kini kau telah mati
Di atas tempat tidur yang sudah lama menjadi sarungmu
Ah, dan kini kau telah mati
Namun tubuhmu masih bersenandung
Kau sendiri terbingung;
‘Masih pantaskah aku dianggap hidup?
Meski tak lagi aku bercakap?’
Kemanakah amin-amin yang kau sebut-sebut,
Kala dunia masih saja di atas genggamanmu
Adakah kue yang berhiaskan air matamu
Adakah yang merayakan kematianmu?
Lantas, matilah,
Matilah, dan matilah
Mati dengan anggun
Lantas, matilah dengan indah
‘Jika saja kau mati seribu kali,
Dalam hidupmu yang hanya satu ini,
Mati dibunuh,
Ditikam,
Dibungkam,
Dan kau telah mati,
Jika saja kau mati beribu kali…’
Pikir-pikirmu,
Bukan tubuhmu,
Namun jiwa-jiwa yang romansanya bergeliat
Menggila-gila, berakar dari sebuah idealisme
Jiwamu, rasamu, karsamu, identitasmu.
Mereka mati
Dan dirimu masih bernafas, lugas, kau masih terbangun
Namun mereka mati
Kekanak-kanakanmu, mati,
‘Tapi, setidaknya mereka tidak terkubur hidup-hidup.
Aku yang membiarkannya mati.
Karena aku tidak bisa meraih cita-citanya, mencium kening-kening
asanya, jika saja aku tidak membiarkannya mati.
Mereka jiwa-jiwa ceroboh. Tidak, tidak mungkin mereka bisa hidup,
tidak mungkin mereka bisa hidup jika saja aku masih sama seperti yang kemarin.
Dan kini mereka telah mati. Terlambat sudah. Mereka telah mati, tapi aku masih hidup.
Dan hari esok kujemput dengan jiwa yang baru, setidaknya itu keinginanku’
Dan pria botak itu membisikimu :
‘Minumlah satu gelas lara ini.
Dan rayakan.
Rayakan kematianmu.
Rayakan semeriah-meriahnya.
Jika saja kau mati ribuan kali,
siapa yang bisa menghancurkanmu,
ketika kau sudah hancur berkeping-keping?’.
M. Jusuf Ibnu Judha
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Jepang
Angkatan 2022