“Dimana ki pak? ada miki di ruangan ta pak?”
Pertanyaan di atas kerap ditemui di gawai para dosen. Di lingkungan kampus, mahasiswa seringkali memakai gawai untuk menghubungi dosen, baik untuk keperluan perkuliahan (kumpul tugas, bimbingan skripsi dll) atau sekadar meminta tanda tangan. Dalam melakukan komunikasi dengan dosen, mahasiswa terkadang lupa etika berbahasa.
Kemajuan zaman berbanding lurus dengan pola komunikasi anak zaman sekarang. Munculnya medsos dan aplikasi chatting membentuk kecenderungan berkomunikasi lewat tulisan dengan bahasa lugas. Gaya komunikasi anak muda seperti ini kerap ‘berbenturan’ dengan gaya komunikasi yang diinginkan oleh dosen. Di Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, regulasi berupa imbauan tentang Etika Menghubungi Dosen Lewat Telepon Genggam baru saja dikeluarkan.
Menurut dosen ilmu komunikasi Universitas Hasanuddin (Unhas), Dr M Iqbal Sultan MSi, aturan seperti itu sangat baik diterapkan di Unhas. Sebab pola komunikasi dengan gawai ialah konsekuensi perkembangan teknologi komunikasi yang begitu cepat.
“Tetapi perkembangan teknologi itu tidak diikuti perilaku atau etika berkomunikasi yang baik bagi para pengguna. Akibatnya, ada ketimpangan, etika-etika komunikasi yang biasa dilakukan pada saat komunikasi langsung, interaktif, secara tatap muka, setelah ada perkembangan teknologi etika itu tidak ikut serta,” ujar Iqbal, kepada identitas.
Lebih lanjut, Iqbal mengatakan dalam berkomunikasi dengan dosen, mahasiswa mesti mengetahui posisi dirinya yang lebih muda dan membutuhkan para dosen. “Biasanya yang paling membutuhkan yaitu mahasiswa. Selain dia membutuhkan, secara etika ketimuran dia umurnya lebih muda,” tuturnya.
Iqbal juga menyampakan pentingnya menjaga budaya-budaya ketimuran, seperti pada saat ingin ketemu dengan dosen baiknya dimulai dengan salam, lalu memperkenalkan diri dan tujuannya.
“Memperkenalkan diri lewat SMS lalu perkenalkan dirimu dan apa tujuanmu. Jangan langsung menelpon kalau dosen itu tidak mau ditelepon, janganlah menelpon setiap saat, tahulah waktu-waktu tertentu di mana kira-kira teleponmu bisa dijawab atau tidak,” tambah Iqbal.
Sebagai dosen, Iqbal punya banyak pengalaman yang kurang mengesankan saat dihubungi oleh mahasiswa. Mulai dari SMS tanpa identitas hingga SMS yang kurang jelas tujuannya. Hal yang sama juga dialami Dr Syahdar Baba MSi, dosen Fakultas Peternakan.
“Ada anak misalnnya pinjam handphone (orang lain) awalnya bagus, lalu saya mau menghubungi anda lalu ia balas ‘siapa lu’,” kata Syahdar Baba bercerita
Namun Syahdar memaklumi pengalamannya itu. Menurutnya etika berkomunikasi memang perlu diatur, tetapi karena zaman telah berubah, etika yang kaku baiknya menyesuiakan dengan semangat zaman sekarang.
“Kalau saya etika itu sangat penting, tapi (adanya aturan) tidak perlu tertulis apalagi sampai ada punishment,” ujar Syahdar
Dosen jurusan Sosial Ekonomi Peternakan ini juga menyampaikan perlu memang ada standard minimal dalam berkomunikasi. akan tetapi standard itu kembali pada style individu masing-masing dan kembali pada perspektif dosen masing-masing.
“Yang penting jangan kasar, kata-kata yang sifatnya kekinian perlu disesuaikan dengan dosennya, buat apa sih ngatur-ngatur yang kepatutan umum. intinya mahasiswa perlu paham bahwa mahasiswa berkomunikasi dengan dosennya tidak sama dengan temannya,”
Memang di era teknologi ini banyak muncul istilah baru dalam berkomunikasi, misalnya bro, sist, pap, mom, kuy, dan masih banyak lagi. Istilah kekinian itu wajar saja di kalangan pertemanan mahasiswa. Namun untuk digunakan saat berkomunikasi dengan dosen baiknya melihat karakter tiap dosen sebab tidak semua dosen mengikuti perkembangan zaman sekarang.
“Harus ada perubahan dan kemudian dosen juga harus tetap terbuka. Jangan tidak mau ditelepon, jangan tidak mau di SMS. Dosen itu jangan kampungan, maksudnya ini teknologi ada, kalau kau tidak mau ditelepon jangan punya Handphone, banyak dosen yang tidak mau ditelepon sama mahasiswanya, lalu saya bertanya untuk apa? cuman cara menelepon mahasiswa itu harus lebih beretika dan lebih sopan itu yang penting,” terang Iqbal
Reporter: Musthain Asbar Hamsah, Wandi Janwar