Pembangun tak jarang menjadi dilema tersendiri bagi warga dan pemerintah. Begitu juga dengan proyek pembangunan Center Point of Indonesia (CPI) Makassar yang telah menuai pro dan kontra.
Hari kini mulai petang, namun semangat sejumlah mahasiswa Unhas tak kunjung surut untuk mengikuti diskusi yang diselenggarakan Lembaga Pers Mahasiswa Hukum (LPMH). Tikar mulai digelar, dan empat kursi disediakan bagi para pemateri dan moderator. Diskusi yang diselenggarakan di Pelataran BEM FH-UH itu membahas soal Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil (RZWP3K) dan dampak yang ditimbulkan reklamasi dari pembangunan Center Point of Indonesia.
Pembicara yang hadir saat itu ialah Dr Kahar Lahae SH, MH, Dosen Fakultas Hukum Unhas sekaligus salah satu tim perumus Ranperda RZWP3K, Muhaimin dari Aliansi Selamatkan Pesisir, dan Jasmin Raisman dari Penggiat Akar Lingkungan. Diskusi tersebut merupakan respon atas disahkannya RZWP3K oleh Gubernur bersama DPRD Sulawesi Selatan pada Senin 11 Februari 2019. Padahal aturan tersebut sempat menjadi polemik di tengah masyarakat karena dianggap mengancam penghidupan masyarakat peisisir di Sulawesi Selatan akibat beberapa proyek reklamasi di Makassar, salah satunya mega proyek Center Point of Indonesia.
Dilansir dari antaranews.com bahwa sejumlah lembaga masyarakat sipil yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir Sulawesi Selatan bersikukuh menolak RZWP3K. “Kami tetap meminta alokasi ruang tambang laut pasir dalam Ranperda RZWP3K Provinsi Sulsel dihapus, karena diduga akan menguntungkan kelompok tertentu, sementara masyarakat tidak mendapat keuntungan apa-apa,” ujar Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Asmar Ekswar di Makassar.
Dalam Rapat Dengar Pendapat di gedung DPRD Sulsel, pria yang akrab disapa Slash ini menyampaikan sejumlah permasalahan lingkungan termasuk dampak yang ditimbulkan dalam kegiatan Reklamasi Center Point of Indonesia (CPI) di perairan Pantai Losari jalan Metro Tanjung Bunga Makassar. Menurutnya, reklamasi yang berjalan tersebut dengan menambang pasir laut di perairan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulsel, berdampak terjadinya abrasi di sekitar pemukiman warga sekitar pesisir pantai Galesong.
“Kami tetap mendesak segera menghentikan seluruh penambangan pasir laut di Perairan Takalar. Menghentikan Seluruh kegiatan reklamasi di pesisir Sulsel terkhusus di Kota Makassar,” paparnya dalam pertemuan itu.
Terkait polemik Perda RZWP3K itu, Kahar mengatakan bahwa rancangan Perda tersebut telah memenuhi prosedur-prosedur yang ada. “Dari sisi prosedur sudah memenuhi. Peraturan menteri kelautan dan perikanan nomor 63 tahun 2016 itu menjadi rujukan dalam penyusunan peraturan ini. Banyak pasal di situ. Banyak sekali tahapan-tahapan yang mesti dilalui. Ada persetujuan substansi, juga ada kajian teknis dari sejumlah bidang ilmu,” jelas Kahar, Jumat (22/3).
Meski begitu, nyatanya penolakan terhadap reklamasi CPI telah lama ada, tak terkecuali penolakan dari mahasiswa Unhas. Dilansir dari bundel identitas edisi Desember, aksi yang dimotori Badan Eksekutif Mahasiswa atau BEM FISIP Unhas ini terjadi saat 2015. Sebelum melakukan aksi, mereka telah melakukan kajian rutin terkait isu tersebut. Melalui kajian itu, mereka memandang bahwa proyek tersebut hanya menguntungkan segelintir investor, dan tidak menjadi kepentingan masyarakat umum. Dari 157 hektar lahan yang direklamasi, 70 persennya akan diberikan kepada pihak investor dan selebihnya dikelola pemerintah.
Selain itu, beberapa pihak juga melakukan penolakan kala itu. Misalnya, Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HIMTI), Marine Science Diving Club (MSDC), dan Lingkar Advokasi Mahasiswa (LAW) Unhas. Adapun gerakan yang mereka lakukan adalah mebagikan selebaran petisi tolak reklamasi kepada masyarakat secara langsung pada acara Car Free Day pantai Losari, dan melakukan pemantauan terhadap terumbu karang yang hidup.
Guru besar FIKP Unhas yang juga merupakan salah satu tim Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) proyek CPI, Prof Ambo Tuwo angkat bicara. Ia mengatakan bahwa reklamasi merupakan bagian dari konsekuensi proses modernisasi kehidupan manusia yang dulunya menyatu dengan alam. Kemudian keluar membangun struktur budayanya sendiri yang memodernisasi kehidupan.
“Nah ini yang harus dipahami. Ruang publik itu harus ada ruang ekonomi yang mendukung agar biayanya hemat, ditanggung oleh pengusaha. Supaya pemerintah tidak perlu mengeluarkan uang banyak. Uang pemerintah itu harus dihematuntuk membiayai pembangunan sosial budaya. Maka pembangunan ekonomi itu diberikan kepada investor,” terang Ambo kepada identitas.
Sedangkan Unhas sebagai universitas yang menjadikan maritim sebagai salah satu visinya, tidak mengambil tindakan memihak pada apapun atau siapapun hingga saat ini. Hal itu disampaikan Direktur Komunikasi Unhas, Suharman, ST MT PhD bahwa Unhas tidak ingin ikut terlalu jauh dalam masalah tersebut.
“Ya kita orang kampus ngikutin. Seseorang membangun, kan pasti ada prosesnya. Kalau misalkan kita bicara institusi, yah kita kembalikan lagi kepada alur yang benar. Bahwa, sepanjang itu sudah melalui proses yang sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah itu tidak masalah,” katanya saat ditemui di ruangannya beberapa waktu lalu.
Tim Laput