17 Mei lalu dalam konferensi pers Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menyampaikan perihal pelonggaran penggunaan masker. Melihat jumlah kasus Covid-19 baik secara global maupun nasional terus mengalami penurunan. Berdasarkan data dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kasus positif Covid-19 saat ini relatif stabil dan berada di bawah kisaran 1000 per hari.
Berdasarkan hasil riset seluruh dunia menunjukkan kombinasi dari vaksinasi dan jumlah orang yang telah terinfeksi disebut membentuk super immunity. Kekebalan atau kadar antibodi yang sangat tinggi dan bisa bertahan lama. Hingga pemerintah mengeluarkan kebijakan pelonggaran masker di luar ruangan yang berlaku sejak 18 Mei.
Lantas bagaimana pandangan pakar epidemiologi mengenai hal ini, apakah kebijakan pelonggaran masker sudah tepat dilakukan di Indonesia? Berikut wawancara khusus reporter PK identitas Unhas, Fathria Azzahra Affandy dengan Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia Sulawesi Selatan, Prof Dr Ridwan Amiruddin SKM MKes MSc PH, Senin (30/5).
Bagaimana pandangan anda sebagai pakar epidemiologi melihat situasi pandemi Covid-19 saat ini?
Secara nasional, situasi pandemi saat ini berada di gelombang tiga dan memperlihatkan kecenderungan yang membaik, baik dari segi epidemiologi, indikator surveilans, indikator ketahanan layanan, kecuali indikator cakupan vaksin booster masih sangat rendah sekitar 20 persen.
Maka dari itu, satu hal yang perlu ditinjau lagi oleh pemerintah yakni kecenderungan cakupan vaksin. Utamanya pada vaksin booster dosis tiga saat ini kurang efisien, karena sudah tidak menjadi syarat dalam melakukan sebuah perjalanan. Sehingga tidak ada intervensi secara terstruktur yang mewajibkan warga negara mendapatkan vaksin, sehingga satgas Covid-19 sekarang kesulitan untuk meningkatkan cakupan vaksin booster padahal pandemi belum selesai. Tidak menutup kemungkinan kasus akan meningkat jika ada varian baru.
Apakah kebijakan melepas masker di ruang terbuka sudah dapat diterapkan di Indonesia?
Tarik ulur antara pelonggaran masker dan untuk mempercepat akselerasi ekonomi. Ada satu hal pengendalian pandemi, yakni keamanan masyarakat menjadi hal utama. Kemudian dari sisi ekonomi dan reputasi. Sehingga dalam pengendalian pandemi di Indonesia menjadi tumpang tindih antara reputasi dengan keselamatan warga, karena pandemi dijadikan sebagai muatan politik.
Tingkat aplikasi di lapangan tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Penyaringan secara tidak langsung perlu dikembangkan oleh pemerintah. Seperti di Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Hasanuddin sendiri, seluruh mahasiswa yang ingin masuk kelas pasti ada pengukuran suhu dan penggunaan anti septik untuk melakukan deteksi dini. Semakin terdeteksi secara dini, maka semakin terkunci penularannya. Semakin tidak terdeteksi secara dini, penularannya semakin meningkat. Hasil studi Universitas Indonesia juga menyatakan 92,2 persen masyarakat sudah terbentuk antibodi dan berdasarkan hasil studi di Kabupaten Gowa juga 98 persen masyarakat sudah terbentuk antibodinya.
Kebijakan pelonggaran penggunaan masker di luar ruangan telah diterapkan, akan tetapi Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih berlaku. Apakah kebijakan ini tidak saling bertolak belakang?
Pada situasi sekarang ini, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) levelnya rendah dan pergerakan masyarakat sudah mulai terbiasa. Sehingga hampir sudah tidak ada lagi pembatasan secara resmi untuk hal itu. Pada Juni, sesuai informasi dari kementerian menyatakan bahwa PPKM sudah berakhir.
Interpretasi masyarakat terhadap upaya pemutusan mata rantai Covid-19. Akan terjadi situasi di mana obat akan sangat mudah ditemukan. Sehingga imunitas juga sudah semakin membaik, maka efektivitas vaksin hanya 6 bulan saja. Jadi bagi yang telah melakukan vaksin kedua dengan rentang 5-6 bulan, saatnya untuk melanjutkan vaksin ketiga atau booster.
Apakah penyediaan cuci tangan di berbagai tempat hanya sekedar formalitas saja atau aturan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan memang sudah tidak perlu lagi?
Dengan menggunakan masker kita dapat saling melindungi. Pemakaian masker saat ini multiplier effect. Selain untuk Covid semua penyakit yang berbasis saluran pernafasan terkendali dan menurun, seperti pneumonia setelah intensitas penggunaan masker. Jadi sebaiknya penggunaan masker bagi masyarakat Indonesia itu dipertahankan, maka penyakit menular lain juga akan terkendali.
Sebagai pakar epidemiologi, apa harapan Anda ke depannya terkait kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap situasi pandemi Covid-19?
Melihat situasi pandemi Covid-19 saat ini harus di akhiri dengan pendekatan gotong royong dan protokol kesehatan tetap dipertahankan. Sehingga beberapa penyakit lainnya juga dapat terkendali. Masyarakat juga perlu melengkapi cakupan vaksinasinya, dan terakhir memperhatikan personal hygiene atau kebersihan diri masing-masing.
Nama Lengkap: Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM, M.Kes, M.Sc.PH
Jabatan:
– Ketua Program Studi Doktor (S3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
– Ketua 1 di Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia, sebagai Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia cabang Sulawesi Selatan
Pendidikan:
S1 Pasca sarjana Univ. Indonesia
S2 Epidemiologi Griffith University Australia & Public Health Leadership
S3 Biomedik Fak. Kedokteran Universitas Hasanuddin