Setiap orang punya cara yang berbeda-beda dalam menghabiskan akhir pekannya. Kebanyakan menikmati liburan bersama keluarga maupun teman. Berbeda dengan Amriana, mahasiswa sekolah pasca sarjana ini malah menghabiskan akhir pekannya di tambak.
Setiap hari sabtu dan minggu, gadis yang akrab disapa Ana ini mengunjungi tambak petani rumput laut yang bergabung dalam kelompok tani Assamaturu di Desa Cilallang, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar (dulu Takalar Lama). Kelompok tani tersebut dibimbingnya saat dipilih sebagai Fasilitator Lokasi (Faslok) di World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat taraf internasional.
Pagi-pagi sekali, gadis asli Galesong ini berjalan melintasi pematang tambak dengan membawa tas kecilnya yang berisi alat-alat pengukur literatur air. Setelah mendapatkan nilai-nilai suhu, tingkat asam dan kadar garam air tambak yang diukurnya, ia lalu menuliskannya ke dalam buku catatan. Tak jarang, ia juga memeriksa keadaan rumput laut yang kadang menghitam atau bahkan patah-patah.
Sehabis dari tambak, mahasiswa lulusan Program Studi Budidaya Perairan tahun 2016 ini juga selalu menyempatkan waktunya berdiskusi dengan anggota kelompok tani Assamaturu. Tak jarang ia disuguhi mie titi, barobbo, teh hangat atau sarabba dan pisang goreng oleh istri petambak. “Biasa singgah di rumah anggota, mendengarkan curhatan petambak seputar rumput lautnya, mulai dari harganya, kondisi rumput lautnya dan lain-lain. Sesekali bercanda untuk membangun keakraban dengan mereka,” kata Ana saat diwawancarai via Whatsapp.
Selain memantau perkembangan rumput laut petambak, perempuan yang akrab disapa “Prof Ana” oleh petambak ini juga merangkul petambak untuk menanam mangrove di sekitar tambaknya. Program tanam mangrove ini sebenaranya milik Aquaculture Celebes Community (ACC), organisasi yang dirintisnya bersama Idham Malik, Staff Aquaculture WWF Indonesia, dan kawan-kawan lainnya.
“Banyak lahan mangrove yang dikonversi menjadi tambak untuk memelihara udang, sehingga mengakibatkan kondisi lingkungan menurun, serangan virus, dan abrasi. Sekarang di Takalar, petani banyak yang beralih ke rumput laut karena lingkungan yang tidak mendukung untuk memelihara udang,” jelasnya.
Tak hanya belajar ilmu perikanan di lapangan, alumnus SMKN 1 Galesong Selatan ini juga aktif menjadi koordinator asisten laboratorium pada beberapa mata kuliah, di antaranya mata kuliah; Mikrobiologi, Parasit dan Patologi. Masing-masing mata kuliah tersebut dikoordinirnya selama empat kali.
“Mengkoordinir lab, tugas kuliah dan organisasi itu intinya harus dipetakan sebaik mungkin, agar semuanya jalan,” katanya.
Dari semangat belajar dan kerja keras dalam mengkooordinir laboratorium dan membina kelompok tani rumput laut, anak dari pasangan Daeng Tanning dan Daeng Laja ini meraih beasiswa PMDSU (Pendidikan Magister Menuju Doktor untuk Sarjana Unggul).
Ana memang punya cita-cita besar bisa mengembangkan budidaya perikanan yang berkelanjutan dan menjadi konsultan budidaya oleh petambak, terkhusus di bidang penyakit.
Untuk itulah, sejak SMK dulu, Ia memilih masuk ke Jurusan Budidaya Perairan.
“Awalnya, saya tak tertarik mendaftar PMDSU, saya pernah berencana daftar Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), namun dorongan teman-temanku, saya akhirnya mencoba mengirim berkas pendaftaran dan ternyata saya lolos,” ujar Anak bungsu dari tiga orang bersaudara ini.
Setelah dinyatakan lolos sebagai penerima beasiswa PMDSU, perempuan kelahiran Galesong ,15 September 1993 ini awalnya merasa tidak bisa membagi waktunya antara kuliah dan menjadi Faslok di WWF Indonesia. Namun setelah berpikir panjang, ia mengurungkan niatnya untuk mengundurkan diri di WWF. “Karena merasa punya banyak pengetahuan dan manfaat selama bekerja di WWF, saya akhirnya memutuskan untuk menjalani ke dua-duanya saja,” ujar Ana.
Salah satu capaian Ana adalah mendirikan pusat kesehatan perikanan. “Jadi, petambak dapat berkonsultasi di lembaga itu, Sehingga mereka bisa mengetahui gejala yang menimpa tambaknya dan cara mengatasinya,” katanya.
Resky Ida Suryadi