Konsep mentereng Kampus Merdeka, keliru dalam implementasi
Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) mengusung pembelajaran yang berpusat kepada mahasiswa atau student centered learning dengan memberikan tantangan inovasi, kreatvitas, kapasitas, dan kebutuhan mahasiswa dalam mengembangkan diri sesuai dengan minatnya.
Melalui program ini, mahasiswa bukan hanya memiliki hard skill, melainkan juga soft skill yang bermanfaat ke depannya. Adapun program yang ditawarkan adalah program Kampus Mengajar, Pertukaran Mahasiswa, Kredensial Mikro Mahasiswa Indonesia, program Kemanusiaan, Penelitian, Wirausaha, Studi Independen, dan Magang di perusahaan.
Program kampus merdeka disambut antusias oleh mahasiswa, St. Syakirah yang mengikuti Kampus Mengajar (KM) menyampaikan sangat senang berbagi kepada siswa sekolah dasar.
“Cukup menyenangkan bisa mendapatkan pengalaman di sekolah yang patut mendapatkan perhatian khusus. Ke depannya program ini dapat terus dilakukan agar dapat meningkatkan literasi dan numerasi siswa,” jelasnya Rabu (09/02).
Namun, program tak semulus yang direncanakan. Mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Miftah dalam hasil jejak pendapat PK identitas Unhas menuliskan SKS-nya belum bisa terkonversi. Padahal sebelum mengikuti program kampus merdeka. Dia dan mahasiswa lainnya telah dijanjikan akan dikonvesi SKS. Sayangnya, mata kuliah (matkul) yang diprogram tidak sesuai dengan matkul program studinya, menjadi penyebabnya.
“Berkaca dari program Kampus Mengajar yang sudah 2 angkatan di Unhas. Mahasiswa yang mengikuti program ini akan mendapati beberapa hak yang tidak dipenuhi pihak kampus sesuai dengan syarat yang dikeluarkan Kemendikbud,” ucap mahasiswa angkatan 2019 ini, (25/01).
Salah satu peserta Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM), Asrida Adetry menyampaikan dia mengambil SKS di Unhas dan perguruan tinggi tujuan kampus merdeka lebih dari ketentuan lantaran tidak ada matkul yang bisa dikonversi. Hal tersebut juga melanggar Pasal 20 ayat 1 pada Permen Mendikbud No 47 2020, yang menjelaskan program sarjana hanya dapat mengambil maksimum 24 SKS setelah semester dua.
“Di Unhas saya memprogram 24 SKS dan di PMM 11 SKS,” terangnya (11/03).
Lebih lanjut, dia mengatakan prodi menyayangkan mahasiswa mengambil lebih dari 24 SKS. Namun, hal ini dikembalikan ke mahasiswa apabila sanggup menjalani perkuliahan, maka dipersilakan, katanya.
Selain rumitnya konversi SKS, perserta kampus merdeka juga mengalami keterlambatan bantuan dana. Berdasarkan Panduan Operasional Buku (POB), Kampus Merdeka menyediakan bantuan, seperti biaya transportasi tiket, biaya rapid antigen 2 kali sebesar 250 ribu rupiah, bantuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebesar 2.4 juta ribu rupiah (dengan ketentuan), bantuan biaya hidup 700 ribu rupiah per bulan, bantuan biaya akomodasi 500 ribu rupiah dan bantuan pulsa yang ditiadakan.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unhas, Amita Nurul Jannah mengatakan hampir semua peserta PMM merasakan kendala dari pendanaan. “Saya pribadi masih belum menerima dana akomodasi selama 3 bulan (sebesar 1,5 juta rupiah), PCR kepulangan (sebesar 275 ribu rupiah) dan tanggungan BPJS (sebesar 150 ribu rupiah)” katanya, Jumat (12/02).
Peserta PMM ini menambahkan banyak temannya yang mengutang di Person in Charge (PIC) Penerima dikarenakan pendanaan yang terlambat. Semoga ke depannya Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) lebih responsif mengenai pendanaan karena antusias mahasiswa sangat tinggi.
“Saya pribadi tidak terlalu terdampak, tapi beberapa teman terpaksa mengutang di PIC Penerima dikarenakan tidak mampu membayar indekos perbulan,” jelasnya.
Hal yang serupa dialami Ishfan peserta PMM. Dia pribadi belum menerima bantuan biaya hidup (sebesar 700 ribu rupiah), akomodasi luring (500 ribu rupiah), PCR pertama dan kedua (jumlah 175 ribu rupiah) yang kurang lebih jumlah seluruh 1,375 ribu rupiah.
“Pencairan dana menjadi masalah utama selama program berjalan dikarenakan uang saku dan biaya hidup dirapel dan itu menurutku agak berat untuk mahasiswa,” tuturnya.
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya ini, menceritakan saat ingin pulang, pihak kampus penerima sempat mengulur kepulangan mereka. Karena kalendar akademik PT Penerima hanya sampai bulan Desember. Penutupan buku keuangan mengakibatkan mahasiswa bertahan karena pengajuan tiket kepulangan hanya dapat dilakukan di Januari.
“Jadi mau tidak mau kami harus melanjutkan hidup dengan biaya sendiri lagi sampai tiket kepulangan tiba,” jelasnya, Jumat (12/02).
Masalah konversi SKS pada program yang sudah berjalan selama kurang lebih setahun harusnya lebih diperbaiki. Bantuan dana juga demikian, apalagi bagi mahasiswa pada ekonomi kelas menengah-bawah.
Tulisan ini bersambung dengan dua artikel dibawah dalam Liputan Khusus terkait Kampus Merdeka, atau tulisan menarik lainnya di identitas Unhas – Ulasan
Angle 3 : Lika-liku Bantuan Program Kampus Merdeka
Arf, Uci, JRM