Di perguruan tinggi, terdapat perdebatan ideologis tentang bagaimana universitas mencetak sarjana ideal. Apakah lulusan sarjana harus sesuai dengan kemauan dunia industri atau seorang sarjana sepatutnya dibentuk sebagai pemikir, pelopor, dan penggerak perubahan yang bebas berkarya? Singkatnya ia tidak hanya mengadu nasib di meja job fair kampus.
Bila perguruan tinggi sebagai produsen tenaga kerja siap pakai, maka basis rumpun ilmu murni tak lagi relevan untuk dipertahankan, seperti Sosiologi, Sejarah, Antropologi, Filsafat, dan Sastra adalah contoh jurusan yang mesti dikurangi atau ditutup. Karena tidak kompatibel dengan permintaan pasar yang membutuhkan lulusan ilmu terapan atau praktis.
Kampus yang melahirkan pemikir dan penggerak perubahan, mitra kritis dan independen, maka harga yang harus dibayar adalah tidak diliriknya mereka dari dunia industri. Untuk apa mempekerjakan lulusan sarjana kritis jika nantinya sulit dieksploitasi.
Selain itu, kesesuaian keterampilan dan pasar tenaga kerja seringkali menjadi penyebab pengangguran. Bukan karena tidak tersedianya lapangan kerja tetapi ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki dan kebutuhan pasar. Kini permintaan tenaga kerja berupa mahir desain grafis, analisis data dan media kreatif, namun banyak yang melamar malah lulusan ilmu kehutanan, ilmu kesehatan, ilmu Bahasa.
Belum lagi bila menyoal tantangan robotisasi pekerjaan. Hadirnya kecerdasan buatan (Artificial intelligence) telah banyak mendisrupsi pekerjaan dan tenaga manusia. Pekerjaan yang tadinya bisa dikerjakan empat sampai lima orang, kini digantikan oleh sebuah mesin pintar.
Apalagi dihadapkan dengan gengsi sosial dan beban sarjana. Seringkali lulusan strata satu, IPK cumlaude mematok ekspektasi tinggi terhadap pekerjaan yang layak. Sebuah gengsi jika hanya bekerja sebagai admin atau sales marketing, padahal ada titel sarjana yang mesti dijaga marwahnya. Perasaan kurang berwibawa di hadapan calon mertua dan tetangga.
Oleh karena itu, menganggur tak terhindarkan lagi menjadi budak korporasi. Sisi lain, ada tuntutan perut yang harus segera diisi secara mandiri, maka berwirausaha kecil-kecilan menjadi opsi yang digandrungi sembari melirik pengumuman kapan pendaftaran Calon PNS dibuka.
Fenomena pengangguran bukan hanya monopoli negara kaya seperti Indonesia tetapi telah menjadi isu global terlebih saat pandemi ini. Negara-negara makmur, penganggurannya diberi insentif bulanan. Di Indonesia pengangguran diberi kartu sakti bernama kartu pra-kerja plus paket bonus UU cipta lapangan kerja.
BACA JUGA : Nestapa ‘Sarjana Covid-19’ di Dunia Kerja
BACA JUGA : Kenali Diri Sebelum Berkarier
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2020 (sebelum Covid-19), melaporkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 6,8 juta orang. Sementara data terbaru mengumumkan pengangguran per Agustus 2020 adalah 9,77 juta orang. Hanya rentang 6 bulan saja angka tersebut telah naik secara signifikan.
Penyebab meningkat pengangguran yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terjadi secara besar-besaran selama pandemi Covid-19. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia atau Kemnaker, sebanyak 3,5 juta orang mengalami PHK, Di mana banyak perusahaan atau industri gulung tikar.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan hingga akhir 2020 jumlah pengangguran akan mencapai angka 11 juta orang dan awal 2021 bisa mencapai 12,7 juta. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga akhir tahun hanya menyentuh ambang batas maksimal 0,4 hingga 1 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara November kemarin BPS telah mengumumkan Indonesia telah masuk jurang resesi akibat ekonomi tumbuh minus selama 2 kuartal berturut-turut.
Menurut BPS per Februari 2020, jenjang pendidikan yang paling banyak terserap dalam pasar tenaga kerja adalah lulusan SD dan SMP. Sedangkan lulusan SMA/SMK, Diploma dan Sarjana terbilang sedikit. Sekurang-kurangnya tiap tahun sekitar 650 hingga 700 ribu sarjana yang menganggur. Angka yang memilukan untuk level pendidikan yang disematkan kepada kelompok agent of change.
Namun, masalah pengangguran tidak cukup dilihat dari aspek angkatan kerjanya saja, sebab ada soal struktural ketenagakerjaan yang mesti diberi perhatian khusus. Paling tidak soal jaminan lapangan kerja, link and match pendidikan dan kebutuhan pasar kerja, serta peningkatan kualitas dan kuantitas workshop tenaga kerja.
Maka pelarian yang elegan, bila tak ingin bekerja dengan gaji rendah atau sesuai Upah Minimun Regional (UMR) tetapi juga tak mau disebut sarjana pengangguran, yakni lanjut S-2. Selama dua tahun bisa mengisi dan mengasah keterampilan dan pengetahuan lebih tinggi lagi. Namun, gelar magister seyogyanya tak lagi diniatkan sekadar penghias nama belakang seperti waktu masih sarjana, tetapi juga dibuktikan oleh luasnya wawasan, kedalaman pengetahuan, dan kecerdasan pikiran.
Penulis Achmad Faizal merupakan Alumnus Departemen Sosiologi Unhas,
sekaligus Ketua Himpunan Mahasiswa Sosiologi Unhas 2016-2017.