“Berbeda tapi tetap satu”
Slogan Bhinneka Tunggal Ika sepertinya cocok untuk menggambarkan Komunitas Satu Atap. Komunitas yang bergerak dalam membangun solidaritas antara anak berkebutuhan khusus (disabilitas) dengan anak normal lainnya.
Semuanya berawal dari keinginan lima mahasiswa untuk membentuk sebuah komunitas berkelanjutan. Akhirnya, mereka mengajukan proposal untuk diikutkan ke ajang Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-M). Konsep pengabdiannya adalah mewadahi siswa SLB (Sekolah Luar Biasa) dengan siswa sekolah dasar melalui games. Proposal ini pun berhasil didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti), bahkan lolos hingga ke ajang PIMNas (Pekan Ilmiah Nasional), dan keluar sebagai Juara II.
“Awalnya kan anak-anak saling tidak kenal bahkan saling bully, jadi kita berikan games edukasi yang secara tidak langsung membuat mereka saling berkolaborasi. Alhamdulillah proposal kami bahkan tembus sampai di Pimnas,” ungkap Sitti Hatijah, Ketua Komunitas Satu Atap saat diwawancarai di Cafe Crime.
Secara rinci Mahasiswi Jurusan Psikologi ini menyebut, Komunitas Satu Atap berdiri sejak 21 Maret 2017, yang digagasnya bersama empat orang temannya yakni Andi Aisyah Humairah (Psikologi), Andi Khalil Gibran (Mipa), Ahmad Muhsin (Mipa), dan Dinda Tri Lestari (Ilmu Gizi). “Kami beda-beda jurusan, tapi satu organisasi, yaitu UKM KPI Unhas,” ujarnya.
Program unggulan Komunitas Satu Atap ini, sebut Hatijah, yakni Sabtu Satu Atap. “Untuk program ini, setiap Sabtu, para volunter datang ke sekolah-sekolah luar biasa maupun sekolah dasar reguler untuk membawakan permainan,” jelasnya sembari bilang, saat ini baru SLB dan SD Laniang.
Permainan yang dibawakan dalam bentuk kelompok yang bisa membuat anak-anak bekerjasama. “Gamesnya ada banyak sekali, kami sudah buat buku panduan khusus. Jadi, nanti kalau kami sudah tidak ada, penerus selanjutnya bisa tetap melanjutkan pedomannya,” lanjut Tijah, panggilan akrab Sitti Hatijah.
Saat ini, komunitas Satu Atap baru membentuk dua kepengurusan. Pada kepengurusan pertama founder merekrut sebanyak 99 volunter, sedangkan di angkatan kedua meningkat menjadi 104 volunter. Masing-masing volunter ini adalah mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi, bukan hanya di Makassar, bahkan dari luar Jawa pun ada beberapa yang ingin bergabung. “Rata-rata anggotanya banyak dari Unhas dan Unismuh. Malahan ada dari jawa yang ingin gabung. Namun, faktor dana sehingga kita prioritaskan di Makassar saja,” tambahnya.
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon relawan seperti mengisi formulir dan berkomitmen untuk menjadi volunter. Salah satu komitmen mereka adalah dengan berdonasi buku maupun pakaian bekas. “Sebenarnya kami tidak paksakan, tapi dengan berdonasi itu kita anggap sebagai salah satu bentuk komitmen,” kata Tijah.
Setiap volunter memiliki latar pendidikan yang berbeda-beda, sehingga butuh keahlian untuk menghadapi anak penyandang disabilitas. “Ini yang menjadi kendala teknis kita, karena tidak semua mahasiswa berasal dari Jurusan Psikologi, sehingga mereka harus punya keahlian untuk menghadapi anak autis yang tiba-tiba histeris,” katanya.
Namun, untuk mengantisipasi kejadian seperti itu, biasanya diadakan pertemuan setiap Jumat. Pertemuan ini membahas persiapan seperti apa-apa saja yang harus dilakukan dan dihindari. “Karena kita kan bukan mengajar, tapi lebih ke games” kata Tijah
Untuk keberlajutan pengabdian ini, Komunitas Satu Atap bekerjasama dengan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) yang menaungi sekolah-sekolah luar biasa. Pihak PLK mengajukan daftar nama sekolah untuk dikunjungi. “Selain itu juga memudahkan izin kami ke sekolah-sekolah,” tambahnya.
Selain PLK, komunitas ini juga bekerjasama dengan beberapa komunitas lainnya seperti komunitas Kata Dia, Komunitas Tuna Rungu dan Himpunan Mahasiswa Psikologi. Tak hanya itu, komunitas ini juga membuka peluang donasi untuk anak penyandang disabilitas.
“Secara material memang tak ada yang kita dapat, malah kita mengeluarkan waktu. Tapi kalau penghayatan saya, itu kita dapat bahagia dengan menjadi manusia yang bermanfaat. Seperti di Sabtu pagi, saat orang-orang masih tertidur, kita bersiap-siap untuk berbagi dengan siswa SLB,” tuturnya
Siti Hatijah berharap, Komunitas Satu Atap bisa tetap berlanjut meskipun para fonder-nya sudah selesai.
Ayu Lestari
Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
Angkatan 2015