Tetesan air gunung yang menghantam batu itu,
Sedang rintik dengan rupa setetes air yang tak berarti
Juni lalu, jutaan rintik menerpa bumi
Kita berhadapan namun rupamu tersamarkan
Tak ubahnya Juni, September jua
Keringnya, api mudah terbakar
Berkobar hingga merusak yang kau bangun..
Malangnya, kenanganmu hangus bersama
Menjadi abu yang melupakan dirinya
Gunung berapi memuntahkan laharnya,
Ia sungguh panas dan membara
Hingga pohon-pohon tak mampu berteriak pada Juni, yang kala itu adalah September
Lahar menyengsernya, tak memberi ampun
Dapatkah kuluapkan marahku padanya?
September adalah kelahiranku, kita berhadapan pada atap yang sama
Tapi kau memandangku layaknya mawar yang berduri.
Selalu kau puja tapi jua menusukmu, Selalu kau sukai tapi jua memetikku
Hujan bagi Juni adalah sahabatnya
Tapi kau meninggalkanku, hingga persimpangan melenyapkanmu
Padahal belum kupantaskan pandanganku di tengah rintiknya,
Agar rupamu terlihat jelas di mataku
Kemarau bagi September adalah sahabatnya
Tapi kau menyulutkan api,
Hingga aku sibuk mencari hujan untuk meredamnya
Padahal kuingin kau mengajakku ke pantai saja,
Bercengkrama memandang keindahan senja
Sayangnya…
Juni pun kembali hujan,
Aku terlahir saat September tiba,
Dan lahar gunung berapi seperti sebuah titisan, untukku
Penulis : Nur Hanifah,
Mahasiswa Jurusan Antropologi Sosial, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Angkatan 2017