“Untuk Viona. Jika putus asa itu nyata adanya, mungkin aku tengah melawannya dengan sengit. Kekecewaan menggelapkan pandanganku, menutup mataku kuat-kuat hingga kepalaku tak lagi leluasa. Dunia ini brengsek-, bukan. Akulah yang terlalu lemah. Aku tahu, menulis adalah satu-satunya yang kubisa, dan ini mungkin tulisan terakhirku. Aku mempersembahkannya untukmu, kuharap kau menyukainya. Temui aku dalam kedamaian semuku.” Tertulis di sebuah amplop yang kutemukan di depan pintu kamar pondok Yonga.
Surat Pertama
Viona, satu-satunya orang yang masih menganggapku sebagai seorang sastrawan. Sebulan lalu aku akhirnya punya keberanian untuk mengajakmu bertamasya keliling Kota Makassar. Ketika balasanmu tiba, hatiku senang teramat sangat ketika dalam suratmu kau tuliskan tentang rencana kunjunganmu ke Makassar akhir pekan ini.
Sebelumnya aku minta maaf padamu karena tidak bisa menjamumu seperti kau menjamuku malam itu. Di dalam bilik sempit di hadapanmu itu, tidak ada apapun selain debu dan kesengsaraan. Juga mungkin lembaran kertas kusut yang bertuliskan sajak murahan yang tidak kunjung selesai. Tinta penaku habis, hingga aku harus menggunakan semua sisa uangku untuk membeli sebotol tinta demi menulis surat ini. Tulisan yang akan memandumu hingga kita akhirnya mungkin akan bertemu. Kuharap kau seronok dengan ini.
Akan kau temukan tiga lembar surat lain dalam amplop ini. Aku akan memandumu berjalan ke beberapa tempat terindah di kota Daeng. Beberapa mungkin bagimu tidaklah istimewa, tetapi bagiku tempat itu yang mengubah hidupku.
Untuk sekarang, aku ingin kau keluar dari gedung ini, pergilah ke arah selatan, carilah pohon paling besar di kawasan Benteng Somba Opu, kemudian bacalah surat yang kedua. Aku akan selalu mengawasimu.
Surat kedua
“Tempat paling sejuk”
Aku yakin kini kau berada di bawah pohon besar yang aku maksud. Letaknya ada di tengah kawasan, sangat mudah ditemukan. Jika kau melihat akar pohon yang mengundak, di sanalah aku sering kali duduk termenung, menatap kokohnya tembok setebal tiga meter di hadapanku, sambil merenungi kerasnya hidup sebagai sastrawan.
Sejujurnya aku menyembunyikan ini. Aku bukanlah sastrawan yang hebat seperti apa yang kau bayangkan. Jangankan sebuah roman, sajak pun harus susah payah kutulis jika kau memintanya.
Aku berasal dari sebuah desa kecil di Kabupaten Bone. Awal aku mengenal sastra ketika roman karya Buya Hamka bertajuk “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” kutemukan di balai desa, tempatku sering menguntil buku-buku yang datang dari kota. Buku itu kubaca ratusan kali hingga kau mungkin tidak akan mampu mengenalinya lagi. Buku itu menginspirasiku, memicu semangat dalam diriku untuk bisa seperti Zainuddin dalam romanku sendiri. Sukses sebagai penulis di tanah rantau, kujadikan impian yang aku ingin wujudkan dan tunjukan pada orang tuaku.
“Orang bodoh mana yang mau beli tulisan? Lebih baik kamu tanam padi, bapak bisa kasih kamu sepetak tanah.”
Kata-kata bapak merontokkan tekadku semudah mematahkan lidi. Kata-kata bapak memang sering kali melukai hatiku, terlebih sejak kepergian Ibu. Tak Ada yang bisa dilakukannya lagi selain menggilai sawah dan padinya. Impianku untuk sukses di tanah rantau tidak sirna begitu saja. Kujual semua yang kupunya, sepeda, beberapa helai baju dan celana, bahkan cincin emas peninggalan mendiang ibuku, agar bisa merantau ke Makassar. Setelah cukup, aku lari dari rumah, meninggalkan bapak yang hanya bisa memenjarakanku dalam kurungan yang disebutnya “rumah”. Bapak pasti akan sangat marah kalau tahu, apalagi tujuanku tak tentu.
Kehidupan baruku bergulir di Makassar. Sangat sulit bagi pemuda kampung sepertiku terbiasa dengan suasana kota. Terlebih lagi tak punya seorang pun kenalan atau kolega di sini. Tapi aku harus tetap berjuang untuk menjadi seorang sastrawan besar. Akan kubuktikan ketika aku pulang nanti, bapak dan seluruh penduduk desa akan bangga padaku.
Mungkin dudukmu sudah sangat nyaman di akar pohon besar ini, tetapi sebelum membaca surat selanjutnya, aku ingin kau mengambil langkah ke tanggul yang ada di sebelah kirimu.
Surat ketiga
“Si Cantik Viona”
Viona…Nama itu selalu menghantui pikiranku pagi maupun malam. Sejujurnya aku tidak ingin memujimu berlebihan, itu bisa membuat pujianku terkesan murahan. Namun, itulah kenyataanya. Masih segar dalam ingatan, hari di mana aku mengenalmu pertama kali.
Pagi itu, kabar baik segera menghampiri. Cerita pendek yang kutulis seminggu sebelumnya dimuat dalam surat kabar Pedoman Rakyat. Hatiku senang bukan kepalang, karya pertamaku langsung dihargai sepuluh ribu rupiah. Uang yang bisa memenuhi kebutuhan hidupku selama satu bulan. Tiga hari setelahnya surat darimu datang, surat penggemar pertama yang sukses mempertemukan kita.
Putri pengusaha mentereng dari Jakarta, mendengar itu dari kurir suratmu, nyaliku sedikit menciut. Aku takut kau akan membenci pemuda miskin sepertiku. Tapi nyatanya tidak. Di sebuah restoran mewah di dekat Anjungan Pantai Losari, aku mengenalmu seperti jelmaan seorang malaikat. Kau cantik, pipimu halus dan putih seperti tepung, matamu seperti buah pinang, senyummu sumringah dihiasi taring gingsul. Kau baik hati, dermawan, anggun, dan kaya, bisa menerimaku sebagai seorang sastrawan yang kau puja.
Jika sekarang kau berdiri menghadap ke sungai yang airnya berwarna hijau, di situlah aku menulis kisahku yang kau gemari. “Anak Rantau Mengejar Mimpi”, berhasil menyentuh hatimu. Sebagai imbalan kau hadiahkan padaku sebuah mesin ketik yang belum pernah kusentuh sebelumnya. Itu adalah hadiah yang terindah yang pernah kudapatkan dalam hidupku.
Berkat pujian darimu, semangatku untuk terus hidup dan berkarya semakin menggebu. Setelah pertemuan itu, aku berharap bisa menemuimu lagi dan lagi. Tetapi aku sadar diri, aku terlalu serakah jika mengharapkan itu. Dipertemukan denganmu saja, aku sudah sangat bersyukur.
Mungkin kita akan segera bertemu. Aku ingin kau berjalan sedikit lebih jauh ke arah muara sungai. Di sana ada dermaga tua menghadap laut, tempat kesukaanku dikala hati bersedih.
Surat keempat
“Keputusasaan”
Setelah tulisanku terbit di surat kabar Pedoman Rakyat, aku menulis banyak sekali cerita pendek. Siang dan malam, hingga tetangga kamarku memarahiku karena suara berisik mesin ketik yang tidak henti kutekan. Aku merasa seperti seekor kerbau yang lepas talinya. Dengan semangat membara, kukirim tulisanku di berbagai perusahaan surat kabar, tetapi ternyata aku tidak seberuntung sebelumnya. Aku mencoba lagi, tetapi hasilnya nihil. Bisikan penolakan dari pegawai perusahaan terasa sangat berisik di kupingku, “Tulisan sampah” mereka bilang. Mengingat sosokmu, aku kembali menulis, terus memperbaiki tulisanku, namun hasilnya tetap saja berujung penolakan.
Terus menerus ditolak, aku bertanya “apa yang salah dari tulisan-tulisanku?” Tapi tidak ada jawaban.
Hari demi hari kulalui, uang di dompetku semakin menipis. Memaksaku menjual mesin ketik yang kau hadiahkan kepadaku. Aku menjual semua yang kupunya hanya untuk makan, hingga yang tersisa di bilikku hanya tumpukan naskah yang berlumur hinaan.
Tadi pagi, kuputuskan untuk berkunjung ke dermaga ini, membawa tumpukan naskah setebal genggaman tangan, dan sebotol tinta berwarna hijau. Aku menyadari bahwa apa yang bapak katakan ada benarnya: orang bodoh mana yang mau beli tulisan. Aku sadar, kalau aku tidak bisa mengandalkan sastra untuk mencari makan. Menjual kata-kata itu jauh lebih sulit dibanding menjual padi hasil panen bapak. Bapak benar dan aku salah.
Aku sangat tidak sudi jika kau kecewa karena aku berhenti menulis. Mungkin kau sudah terganggu dengan beberapa tetes air mata yang menodai kertas ini. Aku menangisi hidupku. Aku pergi ke dermaga ini tanpa sarapan sesuap nasi pun. Aku bahkan tidak lagi memikirkan apa yang akan mengisi perutku nanti malam.
Dalam keadaan seperti ini, aku tidak sanggup menampakkan wajahku di hadapanmu. Aku sudah mengecewakanmu juga mengecewakan diriku sendiri. Sastra tidak bisa menghidupiku, karenanya aku berhenti menulis. Dan karena karyaku tidak mampu memberiku makan, maka aku akan memakan mereka. Mungkin beberapa sobekan kertas akan kau temui di dermaga ini. Kemudian untuk menghilangkan dahaga, kuminum tinta hijau yang tersisa di botol. Mungkin masih cukup tiga atau empat tegukan. Tapi Viona, apakah kau tahu kalau tinta warna hijau ini beracun? Jika aku meminumnya, kau harusnya melihat botol tinta di ujung dermaga. Menelan tinta sebelum terjun ke laut, rasanya aku seperti akan berubah menjadi sefalopoda, sefalopoda yang bebas.
Maafkan aku Viona. Aku tidak bisa menemuimu lagi. Aku terlalu malu menatap matamu dengan mata keputusasaan. Sebelum hujan reda, aku tidak akan bisa pulang dan hujan itu tidak pernah reda.
Viona, terima kasih sudah hadir dalam hidupku.
Viona, kau adalah satu-satunya puisi yang kupunya sekarang.
Viona, kau adalah puisi terindah yang pernah aku baca.
Viona, aku membencimu dengan rasa.
Dan jika laut juga menolakku, kau mungkin bisa menemukanku mengambang di sekitar sana.
Penulis: Risman Amala Fitra
Mahasiswa Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya Unhas
Angkatan 2019.