“Kafenya tidak begitu ramai, syukurlah!”
Perlu sedikit riset untuk memilih kafe yang kondusif. Terutama bagiku yang butuh healing. Sebenarnya hanya kamar tidurku tempat yang paling nyaman, tapi sekali-kali tak apalah butuh suasana baru. Paling tidak aku cukup taat untuk berdiam di rumah dalam waktu yang lama.
Kupastikan motor terparkir aman. Aku sengaja tidak melepas kacamata, walaupun untuk menghalau debu selama perjalanan. Tapi biarlah masker dan kacamata ini cukup menjadi penyamaran yang baik. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menebak. Memang ada kalanya kita tidak ingin dikenal siapa-siapa.
Aku sambungkan laptop dengan internet setelah memesan green tea di kasir. Duduk dekat pojokan, diiringi musik kafe dengan tempo yang pelan. Pas!
“Hei, Ra!”
Aku sontak berbalik melihat seorang di samping mejaku.
“Eh…kamu?!”
Dia tertawa. Aku melepas masker, tapi tidak kacamata.
“Kenapa kamu tau kalau ini aku? Padahal sudah pake masker sama kacamata lagi!”
“Ya tau dong. Gampang kok!”
‘Hanya dia yang tau. Kenapa juga cuma dia? Dasar aneh! Penyamaranku gagal.’
“Halo, Ra. Sudah lama ya kita tidak bertemu,” sapanya membuyarkan pikiranku.
“Haha iya. Sudah berapa lama ya?”
“40 purnama,” dia tersenyum.
“Dasar astronom. Tidak pernah berubah!”
![cafe malam](https://identitasunhas.com/wp-content/uploads/2022/03/WhatsApp-Image-2022-03-12-at-14.59.36-300x300.jpeg)
“Kamu apa kabar, Ra?”
“Baik. Kamu?”
“Baik, seperti biasa.”
“40 purnama itu aku tidak tau keadaanmu seperti apa biasanya.” Dia hanya tertawa. “Selalu saja kita bertemu secara kebetulan ya.”
“Tidak ada yang kebetulan, Ra.” Dia menyeruput minumannya. Dugaanku itu teh.
“Benar. Hanya manusia yang menilai suatu kejadian sebagai sebuah kebetulan. Padahal semuanya sudah ada yang menentukan. Hanya saja manusia tidak tahu jalan takdir akan seperti apa sehingga kita sebut sebagai kebetulan. Tapi tak mengapa jika disebut kebetulan. Kebetulan itu sebuah hal yang ajaib, aku suka.” Seseorang datang mengantarkan pesananku.
“Menurutmu pandemi ini sebuah kebetulan?” balasnya.
“Haha…katakanlah seperti itu karena ada banyak hal ajaib yang terjadi”
“Tak terasa ya pandemi ini hampir dua tahun. Hal apa yang bisa kamu maknai?”
Dia memang begitu. Sekalinya ketemu langsung deep talk bahkan kadang-kadang obrolannya berat. Menarik!
“Banyak hal. Aku sadar bahwa terkadang ada sesuatu yang terjadi di luar kendali kita, tapi ternyata itu bukan masalah. Itulah kehidupan, tidak ada yang pasti. Aku bersyukur menjadi introvert karena tidak keberatan berlama-lama di rumah,” jawabku.
“Mungkin juga bumi diberi waktu untuk beristirahat, Ra,” dia menutup laptopnya. “Setelah sesak dengan hirup-pikuk kehidupan manusia. Kamu tahu kan ada banyak hal ajaib terjadi saat pandemi? Contohnya, orang-orang di Punjab India bisa melihat Pegunungan Himalaya setelah 30 tahun yang sebelumnya ditutupi dengan kabut polusi. Ya walaupun itu terjadi saat awal pandemi tapi menurutku itu kabar baik.”
“Di sisi lain kita juga belajar, ternyata manusia adalah makhluk terhebat. Apa yang terjadi saat awal pandemi? Ketika manusia benar-benar frustasi tanpa bisa membayangkan bila ini terjadi dalam waktu lama. Sebulan, tiga bulan, satu tahun, hingga tak terasa sudah hampir dua tahun.
Kamu sadar kan? Ada banyak lika-likunya. Banyak kebijakan pemerintah dikeluarkan, jenis-jenis varian virus bermunculan, hingga sampai di titik ini. Walaupun banyak yang dikorbankan, tapi memang begitu cara kita supaya bisa bangkit. Akhirnya kita sadar, manusia itu kuat dan mampu beradaptasi. Bahkan mulai membiasakan untuk hidup seperti ini.
Oh iya kudengar ada lagi varian virus baru, tapi sekali lagi menurutku manusia itu makhluk yang hebat. Manusia bisa menciptakan kontribusi dan hal-hal luar biasa sekalipun di bawah tekanan.” Aku menyimak penjelasannya.
“Kehidupan selama pandemi seperti bergulir cepat ya. Tidak terasa masuk tahun baru lagi,” tanggapku.
“Itu berarti tidak lama lagi bumi bakal menyelesaikan satu putarannya mengelilingi matahari. Menyelesaikan satu revolusi ke perjalanan revolusi berikutnya,” jiwa astronomnya memang tidak pudar.
“Benar, aku ingat pelajaran itu waktu SMP,” ucapku sambil menyambungkan cas laptop. “Untuk satu revolusi bumi berikutnya kira-kira apa yang kamu harapkan?”
“Hm…ya aku memang punya target tapi belajar dari masa-masa ini membuatku sadar untuk terus berusaha lebih baik saja.”
“Kamu percaya astrologi?”
“Tentu tidak, Ra. Dugaan-dugaan yang terjadi di kehidupan ini tidak semudah dengan bumi yang hanya berputar. Ada banyak hal-hal lain yang pasti di luar dari dugaan kita. Tapi berbicara tentang astrologi memang menarik.”
“Ya, the future is not our to see. Que sera, sera! Terjadi, maka terjadilah!” kataku. “Anyway, sudah sangat lama aku tidak mendengarmu berbicara panjang.”
“Kamu memang teman berbincang yang seru, Ra.”
“Terima kasih.”
Dia tersenyum. Tiba-tiba suara notifikasi muncul di HP-nya.
“Maaf, Ra. boleh aku pamit duluan? Profesor memanggilku ke lab.”
“Oh it’s ok. Semangat!”
“Sampai jumpa di revolusi bumi berikutnya, Ra −yang entah kapan. Semoga ada pertemuan kita yang kamu anggap sebagai kebetulan.”
“Semoga!”
Di perputaran bumi sekian dia pun beranjak. Seiring dengan perputaran bumi akan selalu ada kejutan yang terjadi. Aku terkesima sendiri saat tak sengaja menatap sisi dinding di kafe yang memajang sebait kutipan.
‘Kamu memiliki kendali atas pikiranmu, bukan kejadian-kejadian di luar sana. Sadari ini dan kamu akan menemukan kekuatan.’ –Marcus Aurelius
Penulis, Nurhaliza Amir
Mahasiswa Agroteknologi
Fakultas Pertanian Unhas
Angkatan 2018.