Teknologi sebagai penunjang kehidupan manusia semakin pesat perkembangannya seiring berjalannya waktu. Digitalisasi di dunia pendidikan pun tidak menjadi pengecualian. Universitas Hasanuddin (Unhas) sebagai perguruan tinggi nomor satu di Indonesia Timur, tentunya tidak ingin ketinggalan dalam pesatnya digitalisasi.
Dilansir dari terbitan Identitas edisi Januari 2020, pada tahun 2006 silam, Unhas memenangkan kompetisi Indonesian Higher Education Network (Inherent). Momen ini kemudian digunakan untuk mulai mengembangkan sistem kuliah berbasis situs web. Dua tahun kemudian tepatnya 2008, Dosen Sastra Asia Barat, Prof Dr Yusring Sanusi Baso SS M App Ling kemudian mengembangkan sebuah sistem kuliah berbasis website. Sistem kuliah tersebut merupakan suatu sistem pembelajaran elektronik (E-Learning) yang diberi nama Learning Management System (LMS).
Selayaknya sistem pembelajaran elektronik, LMS ini memberikan fitur membuat kelas untuk diskusi, mengumpulkan tugas, melihat materi dan alur pembelajaran, serta mengunggah dan mengunduh modul masing-masing mata kuliah. Pada saat pertama kali dikembangkan, LMS ini hanya dapat diakses sivitas akademika di Program Studi Sastra Asia Barat saja.
Seiring penggunaannya, ternyata sistem pembelajaran LMS ini sangat membantu dalam proses belajar mengajar dosen dan mahasiswa karena proses belajar menjadi lebih terstruktur dan mandiri. Oleh karena itu, pada tahun 2009, LMS diberlakukan secara menyeluruh di tingkat universitas. Pengembangan sistem pembelajaran ini kian melesat melalui bantuan dana Bank Dunia yang didapatkan kampus merah.
Di awal penerapannya, LMS miliki kapasitas slot yang cukup besar yaitu tujuh slot. Namun seiring penggunaannya, lima di antara tujuh slot itu mengalami kerusakan sehingga berdampak pada kecepatan akses sistem LMS. Masalah ini kemudian diperparah dengan meningkatnya jumlah pengguna tiap tahunnya. Semakin banyak yang mengakses, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk menggunakan LMS.
“Ibaratnya, servernya adalah parkiran. Apabila parkiran kecil walaupun jalanan dalam hal ini jaringan bagus, maka akan terjadi kelambatan memarkir atau bahkan tidak bisa mengakses karena penuh dengan kendaraan,” jelas Prof Yusring, dilansir dari terbitan identitas Januari 2020.
Akibat masalah tersebut, pada 2019 dilakukan perbaikan besar-besaran, disertai penambahan fitur-fitur agar LMS dapat kembali optimal. Hasil perbaikan LMS ini dikembangkan menjadi sistem dengan nama baru, Sistem Kelola Pembelajaran (Sikola). Sikola menggunakan sistem yang lebih baru dengan fitur-fitur tambahan yang dikembangkan seperti fitur video tutorial, fitur untuk memindahkan data dari LMS ke Sikola, serta fitur video konferensi yang menjadi program andalan.
“LMS ibaratnya mobil tua atau lama. Nah, hadirnya Sikola ini sebagai mobil baru dengan fitur yang lebih segar,” jelas Prof Yusring dalam wawancaranya 16 Januari 2020.
Setelah rampungnya pengembangan fitur-fitur Sikola, universitas mengadakan sosialisasi kembali tentang penggunaan sistem baru ini, hingga pada akhirnya seluruh civitas akademika dapat mengakses Sikola. Namun, pada Februari 2020, Sikola menemui beberapa kendala dalam hal sinkronisasi data pengguna. Mahasiswa yang ingin mengakses Sikola, perlu mengumpulkan data agar dapat didaftarkan sebagai pengguna oleh administrator. Masalah ini dihadapi utamanya oleh mahasiswa baru angkatan 2019, kemudian dapat diatasi dengan melatih perwakilan setiap prodi untuk menjadi administrator Sikola.
Berdasarkan data laporan tahunan Sikola pada tahun 2022, selama tiga tahun beroperasi ada 3.599 dosen dan 59.517 mahasiswa yang tercatat sebagai pengguna Sikola. Terlebih lagi karena pandemi covid-19, pembelajaran daring yang ditetapkan sejak awal 2020 meningkatkan intensitas penggunaan Sikola. Jumlah akses sivitas akademika mencapai rata-rata 11 ribuan per hari sejak perkuliahan semester akhir 2021/2022.
Berbagai pendapat dan penilaian tentang Sikola dari dosen dan mahasiswa pun kian bervariasi. Ada yang mengapresiasi, ada pula yang masih mendambakan pengembangan efisiensi fitur-fitur di dalamnya.
Dosen Prodi Sastra Inggris, Ainun Fatimah SS M Hum selaku dosen yang aktif menggunakan Sikola mengatakan bahwa adanya platform Sikola ini bisa menjadi satu pintu untuk semua pembelajaran daring. Mulai dari memasukkan link zoom, tugas, hingga video pembelajaran itu dilakukan di Sikola. Terkhusus untuk fitur pengumpulan tugas yang bisa diberi perpanjangan tenggat waktu kumpul.
“Tugasnya bisa paperless, anak-anak tidak perlu lagi nge-print atau menulis, tinggal submit saja filenya di Sikola. Itu kan sangat menghemat dan ramah lingkungan,” ujar Ainun dalam wawancaranya Sabtu, (27/8).
Civitas akademika melalui survei yang diedarkan oleh identitas, juga memberikan pendapat mengenai platform Sikola. Ada yang berpendapat bahwa secara keseluruhan Sikola sangat membantu dalam memberikan layanan komunikasi antara dosen dan mahasiswa, karena mampu menampilkan fitur yang dibutuhkan saat proses pembelajaran berlangsung. Selain itu, segi tampilannya sangat futuristik, menarik, dan sederhana. Sikola juga memiliki menu yang mudah dipahami karena dilengkapi keterangan. Kemudian dari segi kenyamanan dalam mengakses, Sikola sudah sangat nyaman dan mudah digunakan karena dapat diakses di mana saja, dengan penggunaan kuota internet yang minim.
Sayangnya, disamping itu ternyata kendala yang sebelumnya ada pada LMS nampaknya terulang. “Kalau user-nya lagi banyak dan padat biasanya item-item pada Sikola itu menjadi agak lambat ketika dibuka. Padahal, jika usernya cuma ratusan orang itu cepat sekali,” ucap Ainun.
Opini dosen Fakultas Ilmu Budaya itu, didukung oleh pendapat beberapa mahasiswa yang juga mengatakan bahwa dalam membuka item-item di Sikola menjadi lambat apabila penggunanya banyak. “Servernya diperluas sehingga Sikola tidak down,” tulis Agung Priyetno, salah satu mahasiswa Geofisika dalam survey.
Ada beberapa kendala lainnya yang dikeluhkan dosen dan mahasiswa, antara lain class master yang tiba-tiba hilang sehingga dosen harus memasukkan ulang modul pembelajaran di fitur alur pembelajaran. Juga fitur video konferensi yang menjadi andalan Sikola malah kurang berfungsi dengan baik sehingga jarang digunakan.
Fitur lainnya yang dikeluhkan khususnya oleh mahasiswa adalah fitur tugas yang tidak bisa dihapus apabila sudah terkirim, sehingga merugikan mahasiswa-mahasiswa yang salah dalam mengunggah file. Lantas bagaimana pihak pengelola Sikola merespon berbagai permasalahan tersebut?
Tim Liputan
Berita Selanjutnya: Pengembangan Sikola Perlu Sinergitas