Fenomena selebrasi yang dilakukan mahasiswa tingkat akhir menjadi sesuatu yang tidak asing bagi sivitas akademika. Kegiatan seperti ini mulai digandrungi mahasiswa yang berhasil melewati rangkaian perjalanan untuk memperoleh gelar sarjana. Hal itu didasari bahwa skripsi merupakan tantangan terbesar mahasiswa sehingga ketika berhasil melewatinya maka dianggap telah berhasil mencapai sebuah pencapaian puncak.
Menurut Hanana (2022), dalam Jurnal Komunikasi dan Penyiaran Islam, selebrasi dilakukan untuk menunjukkan nilai eksistensi diri dan bentuk pengakuan yang hendak diraih di antaranya untuk menunjukkan cinta kasih, untuk menarik atensi atau perhatian, menunjukkan kemapanan, kekinian, hingga pamer popularitas.
Lantas, mengapa kegiatan selebrasi seperti pemberian hadiah ini mulai banyak dilakukan? Serta bagaimana pandangan ahli kajian budaya mengenai hal tersebut? Berikut wawancara langsung Reporter PK identitas Unhas, Ugi Fitri Syawalyani, bersama Dosen Sastra Prancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, Dr Andi Faisal SS MHum, Selasa (18/07).
Bagaimana awal mula kegiatan selebrasi seperti ini mulai digandrungi oleh para mahasiswa?
Pada saat zaman saya kuliah, selebrasi seperti ini belum terjadi. Waktu itu ketika selesai sidang seminar kami hanya mentraktir teman untuk makan sebagai bentuk rasa syukur. Hal ini terjadi ketika media sosial sudah muncul sehingga mereka membutuhkan pengakuan oleh orang lain. Jadi perkembangan teknologi turut memicu perkembangan selebrasi-selebrasi seperti itu.
Mengapa kegiatan selebrasi seperti ini dapat menjadi tren bagi mahasiswa tingkat akhir?
Karena itu adalah gaya hidup. Gaya hidup pasti didorong oleh citra sehingga memicu hadirnya hal-hal seperti selebrasi. Kalau dilihat dari segi sosiologis, ini didasari adanya kapitalisme, jadi mesin kapitalisme yang membawa kita menjadi bagian dari proses gaya hidup seperti itu.
Bagaimana menurut Anda dengan anggapan bahwa ketika mahasiswa yang tidak mengikuti tren selebrasi disebut sebagai kalangan yang konservatif?
Bisa saja seperti itu walaupun hanya sebagai pesan, tapi itu memiliki legitimasi yang di mana kalau kita tidak melakukannya kita dianggap tidak gaul. Kita pun secara “terpaksa” mengikutinya dan itu bukan lagi menjadi sekadar keinginan melainkan sudah dianggap sebagai kebutuhan yang dipaksakan dari luar. Artinya, bukan kita yang mau tetapi orang lain menginginkan hal tersebut.
Apakah fenomena seperti ini akan menjadi budaya dikalangan mahasiswa?
Hal ini sudah membentuk kultur meskipun budaya ini bukan berasal dari diri sendiri, melainkan dibawa oleh perkembangan gaya hidup. Perkembangan kapitalisme yang membuat orang harus menciptakan citranya di depan publik walaupun citra yang ditampilkan juga tidak jelas seperti apa.
Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa melakukan selebrasi seperti ini pada setiap rangkaian seminar yang dilalui baik itu seminar proposal bahkan pasca wisuda?
Faktor yang menyebabkan hal itu karena manusia butuh eksistensi melalui citra yang dibentuk sehingga masyarakat yang melihat akun media sosialnya menganggap keren. Padahal bisa saja di balik itu kita menderita karena tidak punya budget, tapi karena mengikuti gaya hidup membuat kita mau tidak mau ikut saja. Jadi menurut saya, hal ini tidak lepas dari perkembangan kapitalisme yang mendorong hal-hal seperti itu.
Apakah ada dampak yang diperoleh dari mengikuti tren selebrasi tersebut?
Dampaknya yaitu orang yang melakukan selebrasi harus mengeluarkan budget atau uang yang ekstra. Kalau tidak punya bahkan bisa membuat mahasiswa harus meminjam uang dulu karena takut merasa disisihkan, padahal selebrasi seperti itu tidak harus. Di universitas sendiri tidak menganjurkan hal seperti itu. Tapi mungkin karena beberapa orang butuh citra mengenai dirinya meskipun sifatnya bukan sesuatu yang esensial. Kalau dari saya pribadi, boleh melakukan selebrasi tapi jangan sampai mengutang. Intinya sesuai kemampuan saja tidak usah dipaksakan.
Apa harapan Anda terkait adanya kegiatan selebrasi ini?
Harapan saya sebagai akademisi di kampus kalau boleh hal seperti itu jangan terlalu ditonjolkan. Lebih bagus menonjolkan apa yang dia tulis entah dalam bentuk tulisan di surat kabar ataupun jurnal terkait hasil hasil penelitiannya. Hal itukan lebih ada hasilnya ketimbang hanya citra yang ditampilkan di media sosial. Mungkin hasil skripsinya bisa ditulis di dalam sebuah jurnal, laporan hingga buku yang nantinya dipublikasikan agar lebih tersebar juga dan itu juga bisa membuat dia lebih percaya diri karena punya gagasan sendiri tentang apa yang dipersoalkan.
Data diri narasumber
Nama: Dr Andi Faisal SS MHum
Tempat tanggal lahir: Parepare, 27 Maret 1973
S1: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin
S2: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
S3: Program Doktor Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada