Astika berjalan kaki berkilo-kilo meter untuk bisa mencapai ketinggian Desa Balleanging, Kecamatan Ujungloe, Bulukumba. Sesampainya di ketinggian, ia menggantungkan gawai miliknya ke sebuah pohon. Sambil berdiri, ia menunggu jaringan beberapa saat, lalu memulai menatap layar gawainya untuk mengikuti perkuliahan daring.
“Di rumah koneksinya buruk, terus saya cari ketinggian agar dapat jaringan yang bagus,” ujar mahasiswi Agroteknologi ini.
Kegiatan belajar mengajar di Unhas memang terpaksa berubah menyesuaikan protokol kesehatan untuk mencegah COVID-19 dengan mewajibkan aktivitas perkuliahan dilakukan secara daring. Nyatanya, tidak semua mahasiswa dimudahkan akan hal itu. Kuliah daring justru menuai keluhan dari mahasiswa. Permasalahannya beragam, mulai dari masalah koneksi, kuota, hingga kualitas perkuliahan.
Buktinya, mahasiswa angkatan 2017 ini juga mengeluh, karena virus corona, semua mata kuliah kini memakai sistem daring. Masalah terbesarnya, yaitu kualitas jaringan di kampung halaman. Ketika koneksi kembali buruk, dampaknya ia juga susah menangkap apa yang disampaikan oleh dosen.
“Susah nangkap ki juga. Absen pun terlambat karena handphone saya gantung. Ada pi teman yang menelpon baru ka buka handphone lagi,” tuturnya.
Selain itu, menurutnya, tugas tak ada henti-hentinya diberikan oleh dosen. Hal ini membuatnya harus keluar rumah saat malam tiba.
“Saya harus keluar saat malam hari supaya bisa kerja tugas. Biasanya, sampai larut malam,” keluhnya.
Keuangan yang menipis di tengah pandemi membuat Astika juga kesulitan membeli kuota. Alhasil, ia kadang tidak bisa aktif mengikuti perkuliahan.
‘’Saya mengeluarkan 10 GB sampai 15 GB kuota dengan harga sebesar Rp 75.000 perminggu. Tentunya di masa pandemi ini keuangan tidak stabil untuk membeli kouta terus menerus sehingga terkadang saya tidak bisa ikut aktif kuliah,” jelasnya.
Dihubungi PK identitas, Selasa (16/5/2020), A.Erasiah Bugi Amandari, mahasiswi Departemen Sosiologi mengatakan aman terkait koneksi karena tinggal di sekitar Kota Makassar. Namun, ia juga menuturkan sejumlah kendalanya saat mengikuti perkuliahan secara online.
“Tugas menumpuk, belum selesai yang satu tugas yang baru sudah muncul. Saya juga sering ketinggalan absen diakibatkan perubahan jadwal kuliah yang tidak tentu dari dosen. Jika sudah telat dikira alasan, jadi dianggap tidak hadir,” keluhnya.
Di samping tugas yang diberikan terlalu banyak, ia juga mengeluhkan dosen yang tidak memberikan penjelasan terkait materi perkuliahan. Hal ini membuatnya kesulitan saat belajar sendiri dari rumah.
“Masih ada dosen yang tidak pernah menjelaskan materi, dan mengevaluasi materi yang diberikan. Ya, sekadar kirim dan suruh baca. Tahu-tahu langsung final,” terangnya.
Kuliah online pun nyatanya membutuhkan paket data seluler dengan jumlah besar, yang berarti subsidi pulsa sebesar Rp 150.000 dari pihak kampus tidak mengcover perkuliahan yang ada selama dua bulan berjalan. Dalam seminggu, Manda, panggilan akrabnya, menghabiskan uang lebih dari Rp 150.000 untuk membeli paket data.
“Saya habis Rp 150.000 lebih perminggu. Aplikasi zoom saja bisa habis berapa MB satu kali pakai. Biasanya saya beli kuota, Rp 60.000 hanya dapat beberapa GB saja. Tidak cukup beberapa hari habis mi,” kesalnya.
Mahasiswi angkatan 2019 ini mengatakan, kebanyakan dari teman-temannya juga mempertanyakan terkait pengalihan uang UKT karena mereka tidak menikmati fasilitas kampus selama pandemi corona.
“Saran saya terhadap pihak birokrat perlu adanya kebijakan bagi para dosen terhadap mahasiswa dalam meringankan pemberian tugas online,’’ tutupnya.
Ali Sakir, Mahasiswa Teknik Informatika angkatan 2019 mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya kuliah tatap muka sangat berbeda dengan online.
“Saya menilai, perbandingan beban tugas itu sangat intens pada saat perkuliahan daring. Menjadi problem juga ketika dosen tidak menjelaskan materi tapi hanya memberikan tugas saja,” jelasnya.
Sakir juga menyesalkan sikap dosen yang masih memberi banyak tugas saat menjelang final.“Saya pikir tugas-tugas sudah tidak ada lagi, tetapi faktanya tidak demikian, justru tugas semakin padat dan deadline yang dekat. Di sisi lain saya mau siap-siap menghadapi final,” jelasnya.
Ia pun berharap agar setiap dosen diberikan panduan dalam pelaksanaan kuliah online.
Terkendala Koneksi Internet, Mahasiswa Unhas Meninggal
Dilansir dari laman kompas.com, mahasiswa Unhas bernama Rudi Salam, Departemen Hama dan Penyakit, Fakultas Pertanian yang berasal dari Tana Ejaya, Kecamatan Tellulimpoe, Kabupaten Sinjai terpaksa harus naik ke lantai dua masjid pada Rabu malam (6/5/2020).
Mahasiswa angkatan 2013 ini melakukannya demi mendapatkan internet karena di kampung halamannya masih sulit dijangkau jaringan internet seluler. Sayangnya, niat untuk mendapatkan ilmu sekaligus nilai itu justru membuatnya terjatuh. Nyawanya pun tak bisa diselamatkan akibat peristiwa itu.
Informasi ini pun sudah sampai ke telinga Rektor Unhas, Prof Dr Dwia Aries Tina Palubuhu. “Innallillahi wa inna ilaihi roji’un. Ya Allah, semoga almarhum husnul khatimah karena wafat sedang ikhtiar untuk kebaikan,” bunyi ucapan bela sungkawa dari rektor dalam sebuah grup whatsapp.
Kejadian semacam ini bukan yang pertama kali terjadi di tengah kegiatan belajar mengajar saat pandemi COVID-19. Sebelumnya, dilansir dari news.detik.com, awal April 2020 lalu, mahasiswi jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Muhammadiyah Makassar juga meninggal. Ia meninggal dalam kecelakaan lalu lintas ketika sedang mencari lokasi yang jaringan internetnya bagus untuk kuliah daring di kampung halamannya, Kecamatan Lembang, Kabupaten Pinrang.
Tim Laput