“Silakan masuk. Semua kebutuhanmu sudah ada di dalam.” Penjaga penjara itu tersenyum dan mendorongku masuk ke sel kumuh berbau pesing. Tubuh kurusku hanya menurut saja. Aku tidak punya tenaga lagi untuk melawan pria yang tubuhnya dua kali lebih besar.
Sel kembali dikunci. Terdengar suara tawa sana-sini. Seorang lelaki tua yang menghuni sel di depanku tersenyum dengan kepala yang hampir seluruhnya dipenuhi darah.
“Hai. Aku ditangkap saat membunuh seseorang. Apa yang sudah kau lakukan?” sapanya dengan senyum yang tak pudar.
Aku tak menggubris. Bukan karena dia terlihat gila atau kejam. Senyumnya wajar-wajar saja. Tawa yang sejak tadi memenuhi telingaku pun wajar-wajar saja. Di sini, seseorang tak boleh dinilai dari senyumnya.
Di negeri ini kebahagiaan harus abadi. Raja yang berkuasa memerintahkan seluruh rakyatnya untuk tersenyum setiap saat. Saking kuatnya aturan raja, bayi lahir yang menangis segera diisolasi,boleh keluar setelah paham cara tertawa. Menurut raja, bahagia adalah pengaruh. Dia ingin seluruh tawa mempengaruhi bukan hanya manusia tapi juga hewan dan tumbuhan di negerinya. Dan sang raja berhasil. Negeri bahagia dibangun.
Sejak kelahiranku, dunia terlihat sangat mudah dan indah. Orang tuaku tak pernah marah. Jika aku berbuat kesalahan, cukuplah mereka diam atau mengurungku. Buku-buku cerita tak pernah menuliskan kisah lain selain bahagia karena jika tidak hak terbitnya bisa dicabut. Muatan di sosial media dan televisi menampilkan acara komedi, drama bahagia, dan pembicaraan politik yang penuh tawa. Karena jika tidak program tersebutakan dicekal atau disensor. Surat kabar seluruhnya berisi tentang prestasi dan peristiwa lucu. Bahkan raja menyediakan komedian gratis yang wajib mendatangi setiap rumah duka di negeri ini. Ini adalah negeri bahagia, setidaknya begitulah kelihatannya.
Entah berapa hari telah berlalu−tidak ada jendela ataupun petunjuk waktu di sini−hingga penjaga itu datang lagi. Dia membuka sel dan menarikku kasar. Lalu pintu besar dilapis emas kutemui setelah jalan hampir satu kilometer. Dugaanku benar, aku akan dieksekusi hari ini.
“Jadi dia pria pemberani yang berkali-kali menyebarkan paham sesat?”
Lelaki tua dengan senyum ramah menyambutku. Aku didudukkan tepat di hadapnya. Benar kata orang. Raja kita memiliki aura kesederhanaan. Hampir tidak bisa dibedakan antara dirinya dan orang-orang dari organisasi kemanusiaan yang duduk di sampingnya.
“Aku tidak paham mengapa orang-orang menyebutku sesat atau pemberontak. Aku hanya menuliskan kisah hidup orang-orang di sekitarku dan ternyata menjadi pembicaraan seluruh negeri.”
Raja hanya tersenyum mendengar pembelaanku. Selanjutnya kepala penjara yang mengambil peran utama.
“Baik, saudara Peramah. Aku tidak akan basa-basi. Mengakui kesalahanmu dan meminta maaf dengan cara membuat raja tertawa akan mengurangi hukumanmu. Tapi bersikeras hanya akan memberatkan hukumanmu. Sekarang, pilihlah!”
Mengakui kesalahan? Aku kembali mengingat salah apa yang kira-kira kulakukan.
Di negeri bahagia ini, pemerintahan raja senantiasa mencatat prestasi-prestasinya sehingga semua hal tentang raja terlihat sangat sempurna. Itulah salah satu alasan raja terus bertahan tanpa digantikan bahkan setelah 20 tahun memerintah. Pemberitaan pembunuhan, pencurian, dan tindakan kriminal lainnya tidak pernah tercatat di surat kabar. Para jurnalistik adalah budak-budak raja. Peristiwa itu hanya disimpan di dada hingga menghilang dengan sendirinya. Penyebaran informasi terbatas karena melalui kuasanya, raja menyisipkan penyadap suara di bawah kulit kami. Semua cerita selain cerita bahagia dinilai sebagai tindakan kriminal.
Di negeri bahagia ini, pelaku kriminal berkurang, raja dipuji. Rakyat tertawa, raja dipuji. Negara mendapat menghargaan, raja dipuji. Tapi orang-orang hanya hidup hingga umur 30 tahunan. Angka bunuh diri meningkat. Rumah sakit jiwa penuh. Pelaku kriminal yang sedikit itu, hampir seluruhnya adalah psikopat yang membunuh ratusan orang tidak bersalah. Aku hanya menuliskan itu semua ke dalam catatan kecil yang selalu dipaksa untuk menghilang di ingatan kami. Lalu istilah ‘sesat’ entah bagaimana melekat di namaku.
Tapi aku tidak khawatir. Sama seperti kasus-kasusku sebelumnya, aku selalu punya satu ‘kunci’untuk membebaskan diri dari hukuman. Semoga saja ‘kunci’ ini dapat berlaku bagi raja pula, sebagaimana yang biasanya berlaku bagi kepala penjara.
“Baiklah. Sebagai bentuk penghormatan terakhirku terhadap raja. Aku akan mencoba membuatnya tertawa,” ucapku sembari tersenyum menang dan membuat raja sedikit tertarik. “Saudara-saudaraku sekalian, tertawalah! Karena raja kita menyuruh untuk tertawa di setiap keadaan apapun. Tertawalah! Karena dengan tertawa itu berarti mematuhi hukum.”
Hening. Mereka menatapku kesal, tatapan langka yang kulihat selama ini.
“Tertawalah! Kalian ingin melanggar aturan di hadapan raja? Bahkan raja pun harus menaati peraturan, bukan?”
Aku tertawa keras dan tawa lain dengan terpaksa mengiringi. Raja terpingkal-pingkal dan membuatku merasa memegang piala kemenangan. Penjaga menarikku keluar dari ruang sidang sembari tertawa terpaksa. Aku masih tertawa hingga tidak sadar ke mana penjaga membawa. Akhirnya tibalah aku di tiang gantung.
“Apa maksudnya? Aku berhasil membuat raja tertawa. Harusnya hukumanku dikurangi?” tanyaku.
“Hukumanmu dua kali eksekusi mati. Karena membuat raja tertawa, jadi hukumanmu dikurangi menjadi satu kali eksekusi mati. Pada akhirnya kau tetap harus dieksekusi.”
Aku tertawa. “Memangnya ada hukuman konyol seperti itu?”
“Itu hukuman khusus dari raja.”
Aku mencoba memberontak, tapi tidak berhasil. Lucunya, saat digantung pun aku masih tertawa lantaran tidak tahu bagaimana ekspresi yang tepat saat menghadapi kematian.
Thania Novita
Mahasiswi Hukum Administrasi Negara
Fakultas Hukum, Unhas
Angkatan 2016
Anggota FLP Ranting Unhas