Rumah besar bercat biru muda milik Ibu Siti terlihat segar dan klasik dengan hiasan taman yang proporsional disertai jajaran lampu seperti di sepanjang Jalan Malioboro, Yogyakarta. Ibu Siti menjadi satu di antara orang yang dianggap memiliki kebahagiaan hidup oleh tetangga-tetangga di sekitarnya.
Tolok ukur kebahagiaan menurut ‘mereka’ adalah memiliki tempat tinggal mewah, anak-anak yang dapat dibanggakan (baik terhadap diri sendiri atau di hadapan Ibu-ibu arisan), uang yang berlimpah, dan segala hal yang tidak jauh-jauh dari yang telah disebutkan.
Kebetulan Ibu Siti memenuhi semua kriteria tersebut. Selain rumah mewah dan harta berlimpah, Ibu Siti juga memiliki tiga anak laki-laki yang dapat dibanggakan. Anak pertama menjadi dokter spesialis penyakit dalam di rumah sakit ternama ibu kota, anak kedua menjadi hakim di kota yang sama dengan anak pertama, dan anak ketiga menjadi dosen muda di salah satu perguruan tinggi favorit yang berjuluk “Kampus Biru.”
Semua kebutuhan Ibu Siti dipenuhi oleh tiga putranya, mulai dari kebutuhan primer, sekunder, tersier, hingga kebutuhan ‘pamer’. Semua tercukupi dengan baik, bahkan sangat baik. Sehari-hari Ibu Siti ditemani seorang pembantu rumah tangga karena tiga anaknya sudah berkeluarga dan hidup di kota lain.
Sesak napas disertai kepala pusing dirasakan oleh Ibu Siti secara mendadak ketika hendak makan malam. Pembantu rumah tangganya segera menghampiri untuk membantunya tetap duduk di kursi ruang makan bergaya Eropa klasik. Ibu Siti meminta pembantu rumah tangganya untuk mengambilkan telepon genggam Ibu Siti di ruang tamu. Setelah mendapatkan alat yang diinginkan, Ibu Siti segera mengusap dan menyentuh pelan salah satu nama anaknya.
“Selamat malam nak, apakah Ibu mengganggu kesibukanmu?” tanya Ibu Siti melalui telepon yang digenggamnya.
“Tidak, Bu. Ada apa Bu?” tanya suara dari seberang kota lain.
“Ibu hanya sedikit pusing, mungkin karena terlalu merindukanmu. Tidakkah kau ingin pulang untuk sekadar menyapa Ibumu yang sudah semakin tua ini?”
“Di kampus sedang banyak kegiatan, Bu. Aku dipercaya sebagai penanggung jawab kegiatan-kegiatan tersebut.”
“Ya sudah, nak. Semoga semua kegiatanmu berhasil dan berjalan dengan lancar.”
“Mungkin bulan depan Aku akan pulang, Bu. Semoga bulan depan tidak ada kesibukan lagi yang menghampiriku,” pungkas sang anak sembari menekan tombol berwarna merah di telepon genggamnya setelah mengucapkan salam.
Ibu siti terduduk dengan wajah muram tak bersemangat setelah percakapan tersebut. Pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benaknya adalah “bahagiakah ia selama ini?”. Tentu saja ia bahagia menurut tetangga-tetangganya.
Tiga anak Ibu Siti sejak kecil diajarkan oleh mendiang Ayahnya untuk mendapatkan prestasi setinggi-tingginya agar mendapatkan kebahagiaan hidup. Prestasi dapat dibuktikan dengan keberhasilan karier di bidangnya masing-masing. Anak pertama memilih menekuni bidang kedokteran yang dibuktikan dengan pemilihan jurusan IPA ketika kelas XI SMA.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Negeri Fakultas Kedokteran. Ibu Siti telah menyiapkan dukungan moral dan materi demi impian anaknya untuk menjadi dokter profesional.
Impian tersebut akhirnya terwujud setelah anak pertamanya menyelesaikan Pendidikan Kedokteran dengan waktu tercepat, yakni 6 tahun 4 bulan. Jangka waktu tersebut merupakan jumlah keseluruhan dari 3,5 tahun program sarjana, 1,5 tahun program profesi atau koas, 4 bulan Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), dan 1 tahun program dokter internship.
Sebulan setelahnya, anak pertama Ibu Siti bekerja sebagai dokter spesialis penyakit dalam. Prestasinya membuat Ibu dan Ayahnya bangga setengah mati, bahkan selalu bercerita kepada tetangganya. Namun, ada kegelisahan yang diam-diam menelisik masuk ke dalam tatapan teduh Ibunya. Kegelisahan yang muncul ketika Ibu Siti melihat anak pertamanya melayani pasien tua renta yang menderita gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah.
Kegelisahan yang timbul karena kecerdasan yang dimiliki anak pertamanya berbanding terbalik dengan kesantunan sikapnya terhadap orang yang lebih tua. Ada penanganan yang berbeda antara pasien tua renta tersebut dan pasien sebelahnya. Anak pertamanya mengatakan bahwa pasien tua renta adalah pengguna ‘kartu sakti’, sedangkan pasien sebelahnya adalah pasien umum.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa ‘kartu sakti’ menjadi faktor diskriminasi pelayanan. Pelayanan yang terkesan lambat, terlantar, dan ‘apa adanya’. Pasien pengguna ‘kartu sakti’ mendapatkan keringanan biaya administrasi selama menjalani perawatan di rumah sakit. Mitos yang beredar mengatakan bahwa ‘kartu sakti’ mempengaruhi pendapatan atau gaji yang diperoleh oleh dokter karena proses pencairan memerlukan waktu yang lama.
Kebenaran ‘mitos’ tersebut memang masih belum bisa dipastikan, tetapi bagi Ibu Siti pertolongan terhadap orang yang sakit bukanlah sebuah pekerjaan, melainkan panggilan kemanusiaan. Pertolongan yang dilakukan bukan untuk mendapatkan nominal yang tidak seberapa, tetapi karena rasa kepedulian yang masih ada di dalam hati setiap manusia, siapapun itu!
Jalan anak pertama Ibu Siti berbeda dengan anak keduanya. Jika anak pertama memilih jurusan IPA ketika SMA, anak keduanya memilih jurusan IPS dan melanjutkan perkuliahan di Fakultas Hukum. Prestasi anak keduanya juga tidak kalah dengan anak pertamanya. Gelar sarjana yang diperoleh dalam waktu 3,5 tahun langsung dilanjutkan ke jenjang magister dalam waktu 1,5 tahun.
Pada umumnya, gelar sarjana ditempuh dalam waktu 4 tahun dan gelar magister selama 2 tahun. Prestasi tersebut menjadikan anak kedua Ibu Siti sebagai pejabat peradilan negara termuda pada saat itu. Profesi hakim memang menjadi satu di antara pekerjaan yang diimpikan oleh sebagian besar orang, tetapi hanya sebagian kecil orang yang mengetahui bahwa tugas hakim adalah tugas yang ‘hampir mustahil’ untuk dilakukan.
Kode etik seorang hakim yang pertama adalah berperilaku adil. Padahal fakta yang perlu direnungi, “adakah yang lebih adil dari Tuhan?”. Fakta tersebut disadari oleh Ibu Siti dalam cara putra keduanya mengadili kasus pencurian tiga buah rambutan di perkebunan milik PT. Mati Rasa.
Pencurian dilakukan oleh seorang nenek berusia 64 tahun di salah satu kota besar Jawa Tengah. Ibu Siti menyempatkan diri untuk bertanya kepada anak keduanya tentang vonis 3 bulan penjara dan denda 500 ribu rupiah atas dakwaan pencurian tiga buah rambutan ‘yang telah jatuh dari pohonnya’ oleh PT. Mati Rasa.
“Nak, nenek itu mengingatkan Ibu pada diri Ibu sendiri. Ia dan Ibu sama-sama sudah tua dan bergantung pada belas kasihan orang lain. Hanya saja Ibu sedikit lebih beruntung karena anak-anak Ibu memiliki rezeki yang lebih dari cukup. Apakah vonis itu tidak terlalu berlebihan, nak?” tanya Ibu Siti dengan lembut.
“Seorang penjahat tidak berhak mendapatkan kebaikan, Bu. Keadilan harus ditegakkan!” jawab anak keduanya tegas. Memang benar, keadilan harus ditegakkan. Pencurian harus dibasmi, apalagi pencurian terhadap uang rakyat. Harus!
Pendidikan menjadi bidang yang paling diminati oleh anak ke tiga Ibu Siti. Baginya, pendidikan adalah wadah untuk membentuk kehormatan dan harga diri. Pendidik adalah orang pertama yang menghasilkan orang-orang hebat selanjutnya. Dokter, presiden, menteri, hakim, polisi, dan profesi-profesi lainnya dilahirkan oleh pendidik. Tanpa pendidik, profesi apapun tidak akan pernah muncul. Anak ketiga Ibu Siti memiliki kekaguman terhadap dunia pendidikan bermula dari guru SD yang mengajarkannya menulis puisi.
Ia mengagumi kesabaran dan ketulusan gurunya ketika menjelaskan rumus matematika meskipun tidak dihiraukan oleh sebagian besar siswa yang lebih tertarik bercerita tentang ninja jiraiya dengan teman sebangkunya. Ia juga mengagumi kepedulian gurunya ketika memeluk salah satu siswanya yang menangis karena diejek oleh temannya dengan nama ayahnya.
Rasa kagum itu membawa anak ketiga Ibu Siti berkuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jenjang sarjana mampu diselesaikan dengan predikat Cumlaude. Langkah selanjutnya menjadi topik perbincangan sore dengan Ibunya di teras rumah.
“Nak, perkuliahanmu sudah selesai. Bagaimana langkahmu selanjutnya?” tanya Ibu Siti pada putra bungsunya.
“Dulu Aku ingin menjadi Guru, tetapi sekarang tidak. Dulu Guru dihargai dan dihormati, tetapi sekarang diremehkan dan direndahkan. Guru dianggap ‘pengemis’ karena tuntutan sertifikasi. Sepertinya aku ingin melanjutkan studi saja dan menjadi dosen, Bu. Dosen lebih dihargai dan dihormati,” jawab anak ke tiga Ibu Siti.
“Bukankah guru itu pahlawan tanpa tanda jasa, nak? Mengapa engkau ingin dihargai dan dihormati? Jika seperti itu, maka akan menjadi pahlawan dengan tanda jasa, kan?”
“Ketulusan di negeri ini sudah luntur sejak kebaikan dinilai dari senyuman dan kepolosan. Sedangkan keburukan dinilai dari gelengan dan kebencian.”
Mata itu perlahan layu. Tubuh itu perlahan beku. Menyisakan rambut hitam putih yang terurai di atas kursi goyang tua peninggalan Belanda. Ibu Siti telah kembali pada tempat semuanya bermula dengan tetap membawa sebuah pertanyaan besar; “Sudah bahagiakah Aku?”
Surabaya, 30 Januari 2023
Penulis: Akhmad Idris
Dosen STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya