Dunia saya adalah menulis. Saya tidak pernah bosan menulis, tidak akan pernah.
Tidak asing rasanya bila menyandingkan sosok Guru Besar Fakultas Hukum (FH) Unhas, Prof Dr Syamsuddin Noor SH MH atau yang akrab disapa Bang SM Noor dengan hal-hal terkait kepenulisan, jurnalistik dan sastra. Lelaki berkacamata ini sangat aktif menggandrungi dunia literasi sejak SMA. Terhitung ia memiliki tiga buku yang telah diterbitkan, judul-judulnya antara lain : Perang Makassar, Putri Bawakaraeng, dan Baruga.
Tidak hanya itu, beberapa naskah novelnya juga pernah diterbitkan di media lokal, antara lain : Gema Menawan Gita, Diimbau Lalu Berlalu, Prahara Sang Putri, semuanya dimuat secara bersambung pada harian pedoman rakyat. Selain itu, novel Balada Cinta di Bukit Kaktus disebutkannya pernah dimuat bersambung di Koran Kampus identitas Unhas. Ia bahkan pernah berkesempatan menerbitkan noveletnya berjudul Pelarian yang telah diterbitkan oleh Sudirman HN sebagai proyek Yayasan Pena yang bekerjasama dengan Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) tahun 1999.
Menjadi seorang guru besar diakuinya memerlukan kreatifitas dan kreasi, terutama dalam bidang penulisan ilmu. Namun, tidak berarti bidang tulisan lain harus diabaikan. Lelaki yang juga memiliki hobi mendaki gunung ini bahkan mengungkapkan bahwa kemungkinan besar ia terjebak di jurusan yang salah.
“Sepertinya saya salah jurusan ya, seharusnya saya di Ilmu Budaya. Saya memiliki banyak teman di Fakultas Ilmu Budaya. Terutama ketika saya bergabung di Dewan Kesenian Sulawesi Selatan,” ujarnya, Kamis (20/2).
Perjalanannya menjadi Guru Besar FH Unhas sendiri dinilainya sebagai proses panjang yang sejatinya sederhana. Karena hal yang ditekankan disini adalah jurnal terkait bidang keilmuan. Namun, Ia mengaku tidak menemukan banyak kesulitan karena menulis adalah bagian penting dari hidupnya.
Dikatakannya sederhana, bukan berarti Bang SM Noor tidak pernah mengalami kegagalan. Pria yang menggeluti bidang Hukum Internasional FH Unhas ini pernah merasa frustasi sebelum akhirnya mengambil S2 di Unhas. Ia sempat mendapatkan Beasiswa Fullbright di Jakarta, yang mengharuskannya mengikuti kursus di American Culture Center, Pusat Kebudayaan Amerika. Namun, batas usia yang ditetapkan menjadi hambatan untuk melanjutkan studinya di luar negeri.
“Awalnya saya sempat merasa frustasi, lalu memutuskan untuk memfokuskan diri dalam penulisan novel dan cerpen yang dimuat di koran-koran. Tiba-tiba Prof Rady, Rektor Unhas kala itu menyarankan untuk tidak berhenti dan melanjutkan studi di Unhas,” ujar pria yang diangkat sebagai Guru Besar FH Unhas pada tahun 2008 itu.
Bang SM Noor pribadi membina dirinya dalam bidang kepenulisan ketika ia bergabung di Penerbitan Kampus (PK) identitas Unhas. Tercatat pernah menjabat sebagi Pimpinan Redaksi PK identitas, ia tidak pernah merasa bosan ketika menulis. Bahkan beberapa orang lebih mengenalnya sebagai wartawan dan sastrawan.
“Saya lebih dikenal oleh kawan-kawan sebagai wartawan dan sastrawan, daripada dikenal sebagai sosok ilmuwan. Ketertarikan di bidang itu dimulai dari bakat saya menulis,” ujarnya.
Selama merintis karir sebagai wartawan PK identitas Unhas semasa kuliah, Bang SM Noor sempat memiliki pengalaman lucu dengan Prof Marwah Daud. Kala itu, Prof Anwar Arifin adalah sosok yang menugaskannya untuk mewawancarai Prof Amiruddin yang masih menjabat sebagai Rektor Unhas. Namun, Prof Amiruddin saat itu sedang terbaring sakit. Sebagai Pemimpin Redaksi kala itu, Prof Anwar tidak mau tahu. Bagaimanapun caranya, Bang SM Noor dan Prof Marwah Daud harus mewawancarai Prof Amiruddin.
“Saya pernah disuruh mewawancarai Rektor Unhas kala itu yang sedang terbaring sakit. Saya panjat RS Khadijah yang saat itu terkunci dari dalam. Akhirnya saya masuk untuk sesi wawancara, untung saja Prof Amiruddin meladeninya,” kenangnya sebari tertawa lebar.
Proses yang dilalui pria ini bukanlah sesuatu yang tidak menantang. Dunia jurnalistik adalah salah satu hal yang memiliki paling banyak tantangan. Itulah mengapa, ia menggaris bawahi ‘daya tahan’ sebagai komponen seseorang untuk bertahan.
“Segala sesuatu itu membutuhkan daya tahan, karena hidup memiliki banyak tantangan. Semakin banyak tantangan dalam hidup, pemikiran kita lebih rasional dan lebih bijak,” tutupnya.
Nadhira Sidiki