Pertengahan Juli 2021, saya mengunjungi sebuah bank dengan maksud membayar Uang Kuliah Tunggal semester genap. Sore itu bank dipenuhi orang-orang yang mungkin punya kepentingan yang sama seperti saya. Antrian ke customer service sudah menunjukkan giliran nomor 134, selisih 9 menuju nomor antrian saya. Bangku yang terbatas juga kapasitas pengunjung yang dibatasi, membuat beberapa orang terpaksa menunggu di luar bank. Sambil menunggu, saya menunggu sambil menonton, melihat-lihat media sosial untuk membunuh waktu.
Tanpa saya sadari, rasa gatal pada tenggorokan saya mulai muncul. Saya kemudian terbatuk dengan cukup keras, membuat semua orang memusatkan perhatian ke arah saya. Mungkin beberapa orang berpikir saya terinfeksi Covid-19, sehingga seorang wanita paruh baya di samping kiri saya, beranjak dan memilih menunggu di luar gedung. Setelah itu saya mencoba untuk menahan batuk dan rasa gatal di tenggorokan yang tidak karuan, hingga air mata saya berlinang. Kemudian ini menyadarkan saya pada fenomena yang telah terjadi tanpa disadari.
Beberapa tahun sebelumnya, ketika seseorang batuk, seorang kawan atau keluarga, bahkan orang tak dikenal sekalipun, rela mengusap punggung orang yang sedang batuk itu. Saya cukup sering melihatnya di beberapa kesempatan. Kini, setelah pandemi mengamuk, peristiwa sekecil batuk di tempat umum pun sudah menjadi suatu hal yang tabu. Sekalipun saya waktu itu mengenakan masker dan menyumpal mulut ketika batuk.
Pandemi ini telah mengubah kebiasaan masyarakat dalam bersikap. Akhir-akhir ini saya mulai jarang menemui orang yang berjabat tangan ketika bertemu atau berpisah. Yang lebih parah lagi adalah kebiasaan saling bersalaman setelah salat berjamaah juga sudah menghilang. Sebelum pandemi menerjang dan protokol kesehatan belum diberlakukan, saya kerap kali berjabat tangan dengan orang yang ada di samping kiri dan kanan saya setelah salat berjamaah. Saya melakukan itu sekalipun kepada orang yang tidak saya kenal, orang lain juga tampaknya demikian.
Kini, setelah hampir dua tahun dilakukannya protokol kesehatan yang ketat di rumah ibadah, kebiasaan berjabat tangan setelah salat berjamaah ini pun menghilang. Saya kerap ingin mengajak jamaah di sebelah saya untuk berjabat tangan, tetapi saya menjadi sangsi, apakah ia ingin menjabat tangan saya? Ataukah ia masih was-was dengan kemungkinan tangan saya dapat menularkan infeksi Covid-19?
Hal yang sama juga terjadi ketika hari raya idul fitri. Pada hari raya idul fitri 2020 di mana prokes sangat dipatuhi lantaran masih banyak yang sangat takut terinfeksi Covid-19. Saya pun enggan mengajak orang berjabat tangan lantaran khawatir akan rasa canggung apabila keinginan saya ditolak. Saya juga yakin, orang lain pun berpikir demikian. Akhirnya, sesi saling memaafkan pun diganti dengan hanya menempelkan ujung jari kedua tangan yang saling mengatup.
Pada hari raya idul fitri 2021, beberapa orang mulai memberanikan diri untuk berjabat tangan. Tentu saja dengan gestur yang membuktikan, apakah ia setuju berjabat tangan ataukah tidak. Tetapi kebanyakan yang saya lihat di lingkungan saya, kebiasaan berjabat tangan sudah tidak lagi dipedulikan oleh sebagian orang.
Fenomena hilangnya kebiasaan berjabat tangan ini menurut saya adalah sebuah hal yang disayangkan. Saya berharap kebiasaan berjabat tangan dapat kembali dibiasakan, karena menjadi salah satu tradisi masyarakat Indonesia. Mengingat telah digencarkannya vaksinasi yang kini saya sudah menyelesaikan vaksin yang ke-3, saya harap kebiasaan ini dapat kembali dibiasakan. Tetapi menjelang hari Idul Adha 2022, orang-orang masih dihantui rasa dilema untuk berjabat tangan. Takut akan adanya peningkatan kasus di masa pandemi sehingga pembatasan harus dilakukan lagi. Lantas bagaimana menurut kamu dengan fenomena ini?
Risman Amala Fitra