Beberapa bulan lalu, kendaraan yang terparkir tampak jarang, tak ramai seperti hari biasanya. Begitu juga, mahasiswa yang berlalu lalang, kini bisa dihitung jari. Setelah memarkir motor, Danny lalu menghampiri Ibu Rima yang setia dengan sapunya dan dedaunan yang menumpuk, “liburmi orangkah ibu?”, “iya liburmi nak,” jawab Ibu Rima. Beberapa pekan yang lalu Danny memang tidak meng-update dunia kampus, karena berada di kampung halamannya, Ibunya yang sedang sakit menjadi alasan Danny harus pulang.
Danny lalu menyusuri lorong-lorong gelap. Sisi kanan kirinya merupakan ruang perkuliahan yang begitu hening, tenang, terkunci, tak ada aktivitas. Hari ini tujuan Danny ke kampus adalah bertemu dengan dosen pembimbing seperti janji mereka dua hari yang lalu sewaktu Danny masih di kampung. Hari ini Danny harus bertemu dengan pembimbing tugas akhirnya. Danny diharapkan datang hari ini untuk mengonsultasikan tugas akhirnya.
Dua hari yang lalu sewaktu akan kembali ke kampus, Danny merasa tak tega melihat ibunya, meski begitu, Danny harus kembali ke kampus meskipun kesehatan ibunya belum terlalu pulih. Baginya ketika dosen meminta janji untuk bertemu harus direalisasikan, terhubung dosen yang bersangkutan sangat sibuk. Dengan semangat yang diberikan oleh sang Ibu, Danny kembali ke kampus dan semangat inilah yang terus dijaga olehnya sampai detik ini.
Danny lalu menuju ruangan dosen pembimbingnya, ruangannya masih terkunci. Waktu janjiannya pukul 10 pagi. Sedangkan, pukul 7.30 pagi, Danny telah tiba di kampus. Prinsip hidupnya “Biarlah saya yang menunggu”. Sesekali Danny mengintip jamnya dan ponselnya, berharap ada konfirmasi balasan dari dosen. Sebab, dua jam telah berlalu dari waktu yang telah disepakati. Tak sehelai pun rambut dosennya terlihat. Meski bosan menunggu mulai menghampiri, Danny masih setia dengan semangatnya dan terus berbaik sangka “mungkin saja macet” pikirnya.
Kumandang azan Zuhur memanggil, Danny lalu menunaikan kewajiban, makan siang tak dihiraukannya. Dia rela tak makan siang untuk menunggu kehadiran Sang dosen. Dia takut dosennya datang disaat dia sedang makan siang. Sehingga makan siang diurungnya dan kembali menunggu hingga azan Asar kembali berkumandang. Setelah itu, Danny mengecek kembali ponselnya, tidak ada pemberitahuan. Danny pun pulang, berharap besok bisa bertemu kembali dengan dosen pembimbing.
Hari ini, Danny ke kampus lagi menggendong tas berisi revisian yang selalu setia di punggungnya. Dia berharap bisa bertemu dengan dosen pembimbing. Tanda-tanda menunggu mulai terbayang. Setelah berjam-jam menunggu, tampaknya nasib baik tak ingin menghampiri Danny. Lagi-lagi, dia tidak berjumpa dengan pembimbingnya. Kesal dan kecewa merasuk ke dalam hati Danny. Dia ingin menyerah tetapi motivasi yang diberikan oleh orang tuanya membuat Danny kembali lebih bersemangat. Meski harus menunggu dosen berjam-jam dan mengorbankan banyak hal, ACC adalah harapan yang ingin terwujudkan.
Ketika menuju tempat parkir, Danny menerima pesan singkat dari dosen yang telah membuat lama sekali menunggu. Senangnya bukan main, dosen yang dinanti-nantikan akhirnya memberi kabar juga. Bagaimana tidak? Sudah beberapa kali ditelepon tapi tidak diangkat, SMS tak dibalas, bahkan ketika di WhatsApp hanya di-read saja. Danny kemudian membaca pesan tersebut. “Kamu bimbingan bulan depan saja, tiga minggu ini saya berada di luar”. Setelah membaca pesan tersebut, Danny seketika kehilangan semangat. Bahkan kata-kata penyemangat dari sang orang tua pun tak mampu mengobati. Harapannya untuk selesai kini terbakar dan terkubur dalam abu, ingin berteriak, meluapkan emosinya kepada alam semesta. Mengapa nasib buruk selalu saja menghampiri dirinya ?, “Aku ingin mati saja”.
Hal yang paling menyakitkan bagi Danny adalah ia akan dikenakan pembayaran SPP semester akhir ini. Hal yang selama ini dihindari oleh Danny, sebuah amanah dari orang tua, agar tidak dikenakan SPP lagi yang tidak bisa dia wujudkan. “Aku memang anak yang tak berguna, tak bisa mewujudkan amanah orang tua” terbersit dalam hati Danny.
Pembayaran SPP tahun ini memang berbeda dengan semester sebelumnya. Jika semester sebelumnya, batas lulus agar tidak dikenakan SPP berakhir pada hari terakhir pembayaran untuk semua jenjang. Tetapi berbeda di tahun ini, batas lulus agar tidak dikenakan SPP berakhir di awal tahun, kemudian dibuka pembayaran untuk semua jenjang. Hal inilah yang membuat hati Danny berinisitaif untuk menulis surat kepada rektor. Berharap bisa dilakukan perpanjangan sampai batas hari akhir pembayaran, hingga dapat mewujudkan impian dan amanah dari orang tuanya.
Harapannya, semoga surat tersebut bisa sampai kepada rektor dan dibaca oleh semua pengambil keputusan pihak universitas, agar Danny bisa mewujudkan cita-cita Ibundanya, terbebas dari pembayaran SPP, mengingat orang tuanya mulai sakit-sakitan.
Penulis : HAE’ AZZAM
Mahasiswa Semester Akhir
Pascasarjana Matematika
Anggota Forum Lingkar Pena (FLP)
Ranting Unhas