“With great power, comes great responsibility” -Uncle Ben.
Kisah ini berawal dari hobi aneh saya, yaitu menyeberang jalan. Aneh memang, menyeberang jalan bahkan bukan sesuatu yang bisa disebut hobi, melainkan kebiasaan. Tapi kenyataannya itulah hobiku.
Dibanding hobi itu, saya juga gemar menggambar, membaca komik, menonton film, dan berjalan kaki. Jika ingin menilai diri sendiri, bisa dikatakan saya cukup produktif, kadang berpartisipasi dalam lomba, organisasi, dan menjalin pertemanan dengan banyak orang.
Kala berada di kelas dua SMA, tekanan tugas dan akademik tidak bisa terhindarkan. Tekanan itu sangat besar, hingga saya rasa tidak dapat bertahan dan melewatinya. Saat itulah keinginan bunuh diri terkadang bergentayangan. Hasrat bunuh diri ini pun tersamarkan dengan melakukan hobi aneh itu.
Saya akan menyeberang jalan dengan harapan, mati ditabrak.
Namun, anehnya lagi saya masih teringat ajaran ini, katanya, orang yang melakukan bunuh diri tidak bisa masuk surga, ia akan berujung kekal di neraka. Sebab itu, setiap berangkat ke sekolah, saya berharap ditabrak truk ketika menyeberang jalan, supaya saya dijemput ajal dalam keadaan mati syahid.
Tiba masa saya harus mempersiapkan diri untuk ujian nasional (UN) dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN). Ditambah saya perlu mempersiapkan portofolio untuk mendaftar ke sekolah seni. Stres pun makin tak terkontrol dan tindakan impulsif yang saya lakukan bertambah. Mulai dari memakan makanan kedaluwarsa hingga menggores-gores pergelangan tangan kiri menggunakan gunting.
Suatu hari, saya pun menemukan info lomba komik di Instagram, diselenggarakan oleh lembaga non-pemerintah UNICEF. Seperti menemukan oase di tengah padang gurun. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk berpartisipasi.
Tiga hari tiga malam saya habiskan tanpa tidur dan belajar demi menyelesaikan konsep. Saya tidak peduli dan terus menggambar walaupun ayah ibu saya marah. Setidaknya, tindakan impulsif yang ini lebih baik daripada memakan makanan basi atau menyayat tangan.
Sebulan kemudian, nama saya masuk dalam pengumuman sepuluh besar yang diunggah di Instagram. Karya saya pun divoting secara online. Rasa panik dan cemas menghantui setiap hari. Sesungguhnya, saya berharap agar tidak menang.
Rasanya kurang pantas saja karena peserta lain jauh lebih baik daripada saya yang hanya ikut karena stres. Sialnya, karya saya mendapatkan suara paling banyak. Para wartawan berbondong-bondong menghujani saya dengan pertanyaan. Banyak pertanyaan yang ingin saya jawab dengan jujur, tapi tidak bisa, karena sepertinya akan menjadi masalah besar. Sebisa mungkin saya menjawab dengan jawaban yang sudah dibumbui dengan penyedap.
Tidak lama kemudian, saya dihubungi oleh tim dari UNICEF New York untuk persiapan membuat komik selama lima bulan, dari bulan Februari sampai Juni.
Ditengah kesibukan UN, SBMPTN dan upaya bunuh diri. Saya sadar tidak bisa mundur lagi, mau tidak mau saya harus tetap menggambar sambil belajar.
Ajaibnya, saya berhasil bertahan hidup hingga bulan Juni. Saya mengikuti ujian sambil belajar dan mengerjakan komik. Herannya lagi, selama masa penuh beban itu, tidak lagi terbesit ‘hobi’ bunuh diri. Entah apakah karena rasa tanggung jawab untuk mengerjakan komik atau karena terdistraksi.
Bahkan, saya sempat mengunjungi New York. Bertemu dengan Direktur Eksekutif UNICEF, Henrietta Fore, makan bersama Duta Besar dan Utusan Tetap Republik Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dian Triansyah Djani, bertemu anak muda berbakat, Rosalinda Tamo Ina, dan mencium aroma pesing Stasiun Kereta Bawah Tanah New York.
Dari perjalanan singkat itu, saya menyadari sesuatu. Seandainya saya berhasil mati ditabrak ketika menyeberang jalan, mungkin saya tidak akan berada disini sekarang. Seandainya Instagram waktu itu tidak menunjukkan lomba komik, mungkin saya masih menggores lengan kiri saya.
Saya cukup beruntung karena belum pernah ditabrak selama menyeberang atau mati keracunan karena makan makanan kedaluwarsa. Mungkin Tuhan belum mengizinkan saya untuk mati, karena masih banyak alasan untuk tetap hidup.
Rizka Raisa Fatimah Ramli
Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya
jurusan Sastra Jepang
angkatan 2020
Sekaligus Koordinator Ilustrasi PK identitas Unhas 2023