UKM Kosaster Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unhas mengundang seorang sutradara sekaligus penulis naskah film “Ati Raja”, Shaifuddin Bahrum sebagai pembicara dalam suatu seminar, Rabu (6/11).
Membawakan judul diskusi “Kekuatan Ethnic Storytelling dan Syair Lagu dalam Film Ati Raja,” Kak Udin, begitu biasa ia disapa mengaku bahwa pembuatan film tersebut adalah buah dari keresahan yang menghantuinya.
“Film ini lahir dari keresahan saya yang hobi blusukan untuk melakukan penelitian di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Ada sesuatu yang tidak benar dari berbagai film yang sudah pernah dipertontonkan. Hal tersebut membawa saya untuk membuat film sendiri,” ujar pria bertopi tersebut.
Bertempat di Aula Prof Mattulada Fakultas Ilmu Budaya Unhas (FIB) Unhas, seminar tersebut juga turut dihadiri oleh kedua pemain utama film “Ati Raja”. Mereka ialah Fajar Baharuddin dan Maharani.
Seusai moderator membuka seminar, para mahasiswa disuguhkan oleh trailer singkat dari film yang digarap selama delapan belas hari di lima kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan tersebut. Dalam materi yang ia bawakan, Kak Udin menegaskan bahwa film “Ati Raja” bak media untuk menyadarkan generasi muda untuk kembali mengenal para seniman yang identitasnya kini ditenggelamkan.
“Sangat disayangkan jika di era milenial ini, generasi muda tidak mengenal sosok Ho Eng Djie. Identitasnya tenggelam dan tidak lagi diakui, terutama di daerah Sulawesi Selatan. Padahal namanya tercatat di museum Indonesia, bahkan tersiar sampai ke negara tetangga, Singapura,” jelasnya.
Sang pameran utama, Fajar Baharuddin atau akrab disapa Bojan pun turut menyatakan pentingnya menghargai perbedaan. Dan hal tersebut adalah pesan yang digagas dalam film yang menghidupkan kembali nyawa Ho Eng Djie di era millenial.
Ho Eng Djie adalah seniman peranakan Tionghoa yang hidup dan besar di masyarakat Makassar. Bahkan, ketika Ho Eng Djie beranjak dewasa ia merasa bahwa ia bukan berasal dari etnis Tionghoa jika tidak dikarenakan mata dan kulitnya yang berbeda. Kecintaannya terhadap budaya Makassar sangatlah kental. Hal tersebut terbukti dari sajaknya yang sesuai dengan sistem sajak pada syair-syair Makassar, yaitu 8858.
Sayangnya sosok itu hilang dan tidak lagi dikenal. Kedatangan PKI menyebabkan etnis Tionghoa terancam karena diduga merupakan bagian dari partai tersebut. Nyatanya, tidak semua etnis Tionghoa di Indonesia adalah PKI, hanya sebagian kecil dari mereka.
“Oleh karenanya film ini mengingatkan saya untuk menghargai perbedaan dengan tidak menciptakan sekat pembeda serta menghargai hasil juang Ho Eng Djie semasa hidupnya,” tambah Bojan, Rabu (6/11).
M19