Di bawah rindangnya pohon yang berjejer di sepanjang perumahan yang asri, seorang gadis menghentak-hentakkan kakinya seakan trotoar jalan telah berbuat kesalahan padanya. Bersungut dan menendangi hal remeh yang menghalangi jalannya. Kucing yang asik bersolek pun disepaknya. Rara kecewa. Kecewa dengan skenario yang dipenakan Tuhan untuknya. Kecewa dengan Tuhan. Dengan pena Tuhan. Dengan kucing. Dengan kerikil. Dengan trotoar jalan. Dengan hidupnya.
“Namun bukankah hidupmu begitu sempurna?”, kata sebuah suara. Lagi-lagi suara itu muncul. Suara yang selalu menentang segalanya.
“Pergi saja ”, jawab Rara ketus, terus berjalan tanpa arah.
“Oh, kau tidak bisa mengusir sesuatu yang sejatinya sudah ada dalam dirimu, nak”.
Rara menanggapinya dengan lamunan, menoleh ke arah memori berjam-jam sebelumnya. Rere telah berpulang. Anak itu, anak kecil yang sangat dikasihinya itu telah berpulang. Rere sedang mengejar keretanya yang meluncur di undakan. Lima belas anak tangga cukup untuk membunuh seorang anak kecil yang sedang terbirit-birit.
“Aku sudah berkali-kali memintamu melupakan detik itu”
“Aku tahu”, jawab Rara sambil memutar bola mata. “Aku yang memberinya kereta itu, akulah yang membunuhnya. Tuhan bahkan mengecupkan kehidupan kepada seorang gadis pembunuh,” Rara mendengus dan kembali berjalan.
“Namun tidak ada yang salah dengan memberikan kereta untuk dikejar”.
Rara membisu. Tidak diperhatikannya bahwa rumah-rumah mulai jarang.
“Apalagi kereta yang menopang kebahagiaan dan mimpi-mimpi anak kecil yang mati itu”.
“Isinya cuma rongsokan belaka. Ia bahkan mati sebelum keinginannya kuwujudkan”, Rara menendang kerikil dengan muram. “Aku mengumpulkan kepeng dalam bentuk rongsokan sampah selama lima belas tahun bahkan sewaktu dikandung ibuku. Tapi Tuhan mengambil semuanya dalam lima belas detik, pernahkah kau membaca skenario takdir yang sekeji itu?”.
“Ya, skenariomu”
Rara mendengus dan hampir tertawa. Benar juga.
“Jika saat ini kau bertamu ke rumah Tuhan, Ia akan mencekikmu di depan pintunya”
“Mengapa?”
“Karena pada akhirnya kau selalu menyalahkan-Nya”
Rara tertawa. Ia lalu memandang berkeliling dan baru saja menyadari betapa indah suasana di sepanjang jalan itu. Dedaunan gugur dan cahaya keemasan bertaburan tersepoi angin. Begitu sepi dan damai hingga Rara melompat-lompat riang ke tengah jalan. Di sela pepohonan yang semakin renggang, dilihatnya pendar keemasan yang menerobos. Senja sepertinya sedang mengadakan lomba mewarnai dan membuat kesalahan dengan hanya menyediakan krayon emas.
“Ke mana semua orang?”, tanya Rara.
“Mereka pasti sedang berkabung atas matinya gadis kecil pengejar kereta”
Rara terdiam selama beberapa waktu.
“Tahukah kamu, mengapa aku mengurung mimpi dan hasratku ke dalam wujud tubuh Rere?”, tanya Rara.
“Tidak, aku tidak tahu”, jawabnya, berpura – pura.
“Aku ingin tahu bagaimana rasanya menjadi anak perempuan yang memakai rok berenda di dalam kereta roda empat yang sejuk. Pena yang digoreskan Tuhan telah membiarkan seorang gadis kerdil berusia lima belas tahun yang hidup seperti perempuan dewasa dengan anak kecil yang ia lindungi dalam dirinya”, cahaya keemasan kini membelai pucuk kepala Rara.
“Aku tidak berhasil menenggelamkan impian dan angan yang sesungguhnya tidak masuk akal untuk kugapai, maka kukuburkan semuanya ke dalam tubuh anak kecil dan mengumpulkan rongsokan dalam kereta agar anak kecil itu bisa tertawa dalam rok berenda”.
Setelah membisu lama, suara berkata, “Barangkali mereka punya beragam rok berenda di sana, boleh jadi mereka punya katun”, pendar keemasan mulai menyelimuti Rara hingga ke ujung kaki, “skenario yang kau dambakan mungkin menunggu di sana”.
“Di mana?”
Keabadian
Suara yang menjawab kali ini memiliki pendar mistis yang anehnya menenangkan.
Rara berhenti dan mendongak. Pintu megah dan besar terpampang kokoh di hadapannya. Baru kali itu Rara melihat ukiran pada kayu yang begitu indah dan berkilau tanpa bantuan permata. Tangannya terangkat untuk mengelusnya. Ketika hendak mengetuk, Rara teringat sesuatu. Dengan segera ia berbisik kepada suara batinnya sendiri yang menemaninya di sepanjang jalan.
“Tapi … akankah Dia mencekikku?”
Penulis, Aura Aulia Aslan,
Mahasiswa Ilmu Kehutanan,
Fakultas Kehutanan Unhas,
Angkatan 2019.
Baca Juga : Siapa Pengkhianat?