Terik matahari mulai membakar kulit jemarinya. Menghitam dan berbatas sampai ke lengan bajunya. Tetap saja Sati melaju dengan kuda besinya, melintasi beberapa daerah, tanpa peduli pada sengatan matahari. Baginya, perjalanan ini adalah perjuangan cinta. Sebentar lagi, ia akan menemui keluarga Sinta. Sebelum pulang dari rantauan, ia memang sudah merencanakannya jauh hari untuk menuntaskan janjinya kepada sang kasih.
Kepulangannya kali ini dimaksudkan sebagai kejutan untuk Sinta, hingga ia sengaja tak berkabar akan kunjungannya ke rumah kekasihnya itu. Ia ingin membicarakan tentang mimpi yang pernah dirajutnya bersama, ingin hidup dalam satu atap.
Sebelum tiba di rumah Sinta, ia bermaksud untuk menghubungi terlebih dahulu, memastikan kekasihnya tak kemana-mana, tetap di rumah. Telepon itu pun diangkat Sinta.
“Halo. Tumben menelfon. Ada apa?” terdengar suara Sinta dari balik telepon.
“Aku sekarang ada di daerahmu, rencana mau ke rumahmu,” Jawab Sati cepat-cepat.
Beberapa saat setelah Sati berkabar, suasana berubah menjadi hening. Sati memastikan telpon masih terhubung, walaupun sempat hening.
“Halo.. Halo…Halo”
Tiba-tiba kembali terdengar suara Sinta.
“Iya. Eh kok mau datang ke rumah. Ada apa sebenarnya?” tanya Sinta lagi.
Sati lalu terhenyak mendengar pertanyaan Sinta, ia seolah linglung, hingga akhirnya ia pun menjelaskan maksud kedatangannya itu.
“Aku datang untuk impian kita, Sin. Aku ingin membicarakannya dengan ibumu,” jelas Sati.
Langsung saja Sinta mengelak dengan kata-kata yang tidak pernah terpikirkan oleh Sati.
“Ini bukan waktu yang tepat. Kamu harus tahu bahwa dari dulu kita memang tidak pernah dapat restu,” kata Sinta dengan suara yang meredup.
“Jadi selama setahun lebih perjuangan ini untuk apa, Sin?” Kata Sati. Ia kembali melanjutkan ceritanya.
”Semua yang kulakukan, berangkat jauh darimu dan tanah kelahiranku, asal kau tahu, itu semua hanya untukmu. Lalu dengan mudahnya kamu bilang seperti itu?” Kata Sati, membalas perkataan Sinta.
Telepon pun ditutup. Pembicaraan berkahir.
***
Di tengah jalan, Sati pulang dengan sebongkah rasa haru. Harapannya kian pupus, dunia begitu kejam baginya saat itu. Kembali ia mencambuk kuda lebih kencang dari sebelumnya, sebagai bahasa tubuh atas sakit yang baru saja menghempasnya ke dasar jurang.
Setelah kekecewaan yang cukup dalam itu, ia memutuskan untuk kembali ke tanah rantaunya. Ia mencoba melupakan segala rasa sakit yang telah ditinggalkan mantan kekasihnya. Tiga bulan berlalu, ia kini berhasil menyembuhkan lukanya sendiri. Setelah semuanya berlalu. Sati akhirnya mencoba membuka hati untuk perempuan lain.
Suatu hari, saat sedang berada di pusat perbelanjaan, Sati menemukan sebuah dompet. Ia segera membawa dompet itu ke bagian informasi, untuk mengumumkan agar si pemilik datang mengambilnya. Namun, pengumuman selama tiga kali, tak menuai hasil. Ia akhirnya membuka dompet yang ditemukannya itu. Di dalamnya terdapat kartu identitas beserta kartu lain, dan beberapa lembar uang. Pada identitas pemilik terdapat nomor telepon. Sati akhirnya menghubungi si pemilik dompet. Setelah telepon terhubung, tiba-tiba terdengar suara perempuan.
“Halo. Maaf, sebelumnya dengan siapa?”
“Halo. Aku Sati, apa benar ini dengan Rezki Amelia?” tanya Sati.
“Ya, benar ini dengan Rezki. Ada apa yah?” jawab suara yang ada di telepon.
“Aku menemukan dompet, namanya dalam kartu identitas adalah Rezki. Apa anda merasa kehilangan?” jelas Sati.
“Iya, Rezki kehilangan dompet. Terima Kasih yah!”
“Oke. Santai saja. Kalau begitu, kapan ada waktu dan di mana untuk mengambil dompetnya? ”
Mereka pun akhirnya janjian untuk bertemu, lalu telepon ditutup.
Setelah perjanjian itu, tibalah saatnya mereka untuk bertemu. Mereka pun saling mencari satu sama lain dengan via telpon. Perjumpaan pertama diawali dengan lambaian tangan untuk saling menemukan. Mereka akhirnya berjalan menuju sebuah meja di dalam kafe, sembari berkenalan. Setelah perkenalan, Sati meletakkan dompet temuannya ke atas meja. Tak lama setelah perkenalan sekaligus penyerahan dompet itu, Sati mengakhiri perjumpaan hari itu, sekaligus kembali ke tanah kelahiran.
Perpisahan Sati dan Rezki hanyalah bagian dari pertemuan selanjutnya. Beberapa minggu berlalu, mereka kian lebih akrab dengan saling sapa-menyapa di media sosial. Hingga seiring waktu berlalu, mereka pun berjanji untuk bertemu kembali. Kebetulan ada kegiatan yang ingin dihadiri Sati. Pada kegiatan tersebut mereka janjian. Saling berbincang, sesekali tertawa bersama.
Di sela perbincangan, Sati bermaksud untuk bertemu lagi setelah pertemuan kali ini.
“Besok malam ada waktu, tidak?”
“Iya, ada . Kenapa?” jawab Rezki sekaligus bertanya.
Keduanya kembali merencanakan pertemuan.
***
Waktu perjanjian telah tiba. Ketika senja menuju malam, Sati dan Rezki jalan berdua di pinggir pantai. Di antara keramaian, Sati memulai pembicaraan. Seperti biasa, ia awali dengan pertanyaan.
“Rezki boleh aku menanyakan sesuatu” tanyanya. Rezki pun mempersilakan.
“Kapan rencana ingin membangun hubungan serius?” tanya Sati lagi.
Keadaan berubah sunyi. Keduanya terasa kaku, diam, sesekali menatap. Rezki kelihatan sesekali tertunduk, dan menggigit ibu jarinya. Ia nampak kebingungan juga kaget dengan pertanyaan yang baru saja dilontarkan Sati.
Tanpa jawaban, mereka pulang bersama. Meninggalkan pertanyaan yang belum terjawab. Hingga kini, Sati belum mengerti tentang situasi itu. Terakhir kali yang terucap dari bibir Rezki hanyalah “Terima kasih untuk malam yang indah ini, Tetaplah bersabar!” Mereka lalu berpisah, hubungan itu pun menjadi misteri.
Penulis : Bagus. WS
Penggiat Literasi dan dan Pemerhati Sosial