“Pernah tidak kita berpikir, sebagai pemuda apa yang perlu dilakukan untuk masyarakat dan lingkungan? Tak jarang, orang dewasa banyak yang beranggapan pemuda hanyalah pembuat onar!”
Daerah perkotaan menjadi surga bagi sebagian remaja dalam melakukan tindak kejahatan. Data ini dilansir dari Liputan6.com, pada tahun 2016 Kota Makassar menjadi daerah dengan tingkat kriminalitas tertinggi se Sulawesi Selatan. Kondisi tersebut semakin memperburuk stigma masyarakat terhadap aktivitas pemuda.
Hadirnya Komunitas Pemuda Pemerhati Sosial dan Lingkungan Sulawesi Selatan (Kopsling Sulsel), seolah menjawab anggapan negatif tersebut. Salah satu pendiri Kopsling, Hasan Basri menceritakan awal berdirinya komunitas tersebut. Menurutnya, alasan didirikannya Kopsling dipicu karena maraknya kenakalan remaja di Kota Makassar.
“Pada tahun 2012 lagi maraknya begal dan geng motor. Sehingga banyak anggapan bahwa pemuda tidak ada ji guna-gunanya. Oleh karena itu, Kopsling hadir sebagai roll model pemuda yang peduli isu yang terjadi di masyarakat,” ucap Basri.

Basri melanjutkan, awal terbentuknya Kopsing saat ia mengikuti kelas ektrakulikuler siswa pecinta alam dan menggemari aktivitas lingkungan seperti mendaki gunung. Setelah tamat sekolah menegah atas, Basri bersama rekan kelasnya berpikiran membentuk sebuah komunitas untuk melanjutkan kegemarannya itu.
“Jadi sebelum resmi kami rutin mengikuti kegiatan pelestarian lingkungan atau saat libur kami medaki gunung, hingga akhirnya kami bersepakat untuk membentuk sebuah wadah” lanjutnya.
Pada tanggal 24 Maret 2012, Kopsling Sulsel pun Resmi berdiri. Dengan latar belakang para anggota yang menggemari aktivitas lingkungan, maka komunitas ini fokus mengedukasi dan mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan, serta membantu mereka yang mengalami kesulitan. Kopsling Sulsel memiliki visi membentuk insan sebagai kekuatan dalam merespon kepekaan terhadap lingkungan dan keadaan sosial.
Dalam mejalankan berbagai program kerja, Kopsling Sulsel memiliki empat divisi, di antaranya Divisi Lingkungan yang bertugas membuat kegiatan rehabilitas dan pentingnya menjaga lingkungan. Divisi Sosial berkaitan dengan keadaan sosial masyarakat, Divisi Humas, dan Divisi Kerohanian.

Komunitas yang beralamat di Jalan Sejati Kera-kera, Tamalanrea tersebut, tidak hanya membuat kegiatan di sekitar Kota Makassar, melainkan di berbagai pelosok daerah di Sulsel. Seperti Semarak Ramadan, yang dilaksanakan di kampung-kampung. Kegiatan ini mengajak masyarakat, terutama anak-anak dan remaja untuk membuat suatu kegiatan peduli lingkungan dan keagamaan di bulan Ramadan.
Namun akibat merebaknya Covid-19, kegiatan yang menjadi agenda tahunan Kopsling Sulsel tersebut tidak bisa diselenggaran tahun ini. Padahal, lokasi dan dana sudah disiapkan. “Semarak Ramadhan yang akan dilaksanakan di salah satu desa di Kabupaten Barru dibatalkan. Kemudian dana yang dikumpulkan dialihkan ke penanganan Covid,” ujar Basri.
Selanjutnya, pria yang berprofesi sebagai tenaga medis tersebut menekankan, sebelum mengedukasi masyarakat perlu untuk mengedukasi diri sendiri. Ketika masyarakat melihat ada hal positif yang kita lakukan maka dengan sendirinya akan berpartisipasi.
“Ini yang kita coba tanamkan di tengah pademi. Sulitnya membuat suatu kegiatan sehingga teman- teman kami amanahkan untuk mengedukasi masyarakat membuat kebun hidroponik di halaman rumah, dan Alhamdulillah banyak yang mau bikin karena malihat apa yang kita lakukan,” tuturnya.

Hal tersebut juga menjadi alasan Kopsling Sulsel tetap berdiri dan eksisi. Basri mengatakan tidak pernah menyangkan komunitas yang didirikan akan menjadi besar dan tersebar di berbagai kalangan pekerja, pelajar, dan mahasiswa. Bahkan pada Tahun 2019, Kopsling Sulsel berhasil melebarkan sayap dan membentuk cabang baru di Kota Kendari dengan nama Kopsling Sulawesi Tenggara (Sultra).
“Kami tidak pernah berpikir sebesar dan bertahan sampai sekarang. Mungkin karena kami mendirikan bukan hanya eksisi tapi memang peduli pada sekitar. Hingga pada tahun lalu terbentuk Kopsling Sutra,” terang Basri.
Ia menerangkan, komunitas yang berdiri sebagai organisasi independen tersebut juga sering mengalami keterbatasan finansial. Tetapi itu bukanlah masalah besar yang bisa menghalagi berjalannya kegiatan.

Komunitas yang gemar berdiskusi di Gedung Ipteks Unhas ini, selalu melakukan perekrutan anggota baru. Pendaftaran dibuka untuk masyarakat umum di Indonesia dengan batas usia 16-23 tahun, dalam keadaan sehat jasmani dan rohani.
Di akhir wawancara, Basri berharap para pemuda sadar akan tanggung jawab terhadap lingkungan dan peka akan masalah sosial. Ia yakin bahwa masalah lingkungan tidak hanya diserahkan kepada lembaga tertentu tapi kita bisa memulainya dari diri sendiri. Sebagai manusia sosial yang tidak bisa jalan sendiri harus memiliki rasa empati dan simpati terhadap sesama.
“Mari ambil peran! Masalah lingkungan bukan hanya tugas orang atau lembaga tertentu. Kita bisa berperan dari diri sendiri, bagaimana mengurangi, memilah dan mengganti benda berbahan plastik. Kemudian sebagai manusia yang tidak bisa jalan sendiri harus saling menolong, kepekaan itu harus diasah,” pungkanya.
Santi Kartini